PWMU.CO – Din Syamsuddin: Bangsa Indonesia Alami Demoralisasi Terselubung. Hal itu dia sampaikan saat khotbah Idul Fitri 1445 di Pelataran Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Rabu (10/4/2024). Begini khotbahnya (bagian kedua):
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu Prof Dr M Din Syamsuddin MA mengatakan. Islam menuntut umatnya untuk mampu merebut kemajuan dan keunggulan dalam berkebudayaan dan berperadaban. Untuk itu al-Quran sudah menunjukkan jalan sebagaimana firman Allah
“Mereka (umat Islam) akan ditimpa oleh kehinaan dalam mereka membangun kebudayaan dan peradaban kecuali jika mereka dapat mengembangkan hubungan dengan Allah (yang berkorelasi positif dengan) hubungan dengan sesama manusia, dan mereka juga ditimpa oleh kemiskinan.” (Ali Imran 112)
Ayat ini menjelaskan, umat Islam akan ditimpa oleh kehinaan dan kemiskinan kecuali jika mereka mengembangkan hubungan vertikal dengan Allah atau hablun minallah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia atau hablun minannas. Sebagai mafhum mukhalafah, dapat dikatakan, keterpurukan dan kemiskinan yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah karena ketidakmampuan mereka dalam mengembangkan hablun minallah dan hablun minannas dalam korelasi positif, dinamis dan efektif.
Maksudnya, bahwa antara keduanya haruslah terjalin hubungan integral yang membawa dampak positif, dinamis dan efektif. Maka solusi terhadap fenomena keterpurukan dan kemiskinan umat Islam dewasa ini adalah dengan mengembangkan kedua hubungan tadi secara terintegrasi, bahwa yang pertama (hablun minallah) haruslah membawa dampak positif dan efektif ke dalam yang kedua (hablun minannas).
Integrasi hablun minallah dan hablun minannas secara positif dan efektif dapat dilakukan jika ibadat-ibadat yang kita lakukan dapat membawa dampak sistemik ke dalam perilaku bermoral dan beretika, sehingga kita dapat mengembangkan kebersamaan dalam membangun kebudayaan dan peradaban utama. Hal ini dapat terwujud jika umat Islam, sebagai Khairu Ummah atau umat terbaik, terdiri dari individu-individu yang berkepribadian suci dan kuat.
Memang umat Islam dinyatakan Allah SWT sebagai khairu ummah atau umat yang terbaik, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an:
“Kalian menjadi umat terbaik yang dihadirkan kepada segenap manusia, (untuk itu) kalian tetap selalu menyerukan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah SWT…” (Ali Imran 110).
Menjadi umat yang terbaik bersifat definitif dan tentatif. Bersifat definitif mengandung arti sudah merupakan suatu kepastian bahwa umat Islam adalah umat terbaik karena al-Islam berdasarkan wahyu Ilahi yang paripurna.
Sedangkan bersifat tentatif mengandung arti, perwujudannya sangat tergantung kepada pemenuhan syarat-syaratnya, yaitu melakukan amar makruf nahyi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Jika kedua prasyarat tersebut tertinggalkan maka predikat umat terbaik akan tertanggalkan.
Prinsip amar makruf nahyi munkar atas dasar keimanan kepada Allah SWT menjadi sangat sentral dan penting dalam kehidupan umat manusia dewasa ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kehidupan umat manusia selalu ada kelompok yang cenderung melakukan kerusakan (al-fasad) yang membawa dampak sistemik terhadap kerusakan peradaban atau kehidupan bersama, maka harus ada kelompok yang melakukan perbaikan (al-ishlah).
Al-Ishlah, ini baik dalam pengertian mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa maupun melakukan perubahan dan perbaikan, merupakan salah satu kriteria ummathan wasathan (umat tengahan atau umat jalan tengah). Ada kesalahpahaman terhadap Islam, seolah-olah Islam hanyalah agama moderasi, sehingga umatnya harus moderat dan toleran terhadap pihak-pihak lain, yang pada ujungnya menampilkan sikap lembut dan lembek terhadap kemungkaran.
Wasathiyyat Islam memang membawa ajaran tasamuh atau toleransi dan bertenggang rasa terhadap perbedaan, namun wasathiyyat Islam juga mengajarkan al-i’tidal (berlaku adil dan menegakkan keadilan), dan al-ishlah(mengatasi silang sengketa dan melakukan perbaikan serta perubahan dalam kehidupan masyarakat).
Demoralisasi Terselubung
Din Syamsuddin mengatakan, bangsa Indonesia yang besar dan memiliki modal sosial dan budaya yang tinggi sekarang mengalami pergeseran dan perubahan, dan bahkan pada tingkat tertentu mengalami demoralisasi terselubung.
Pertama, jika dulu bangsa dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, sekarang sebagian anak bangsa cenderung pemarah, mudah tersinggung, dan menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tega menghilangkan nyawa orang lain hanya karena harga diri dan persoalan sepele. Sebagian anak bangsa terjebak ke dalam fanatisme buta dalam membela kepentingan duniawi dari pada bersaing secara sejati.
Kedua, bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa pejuang, sehingga mampu bertahan tiga setengah abad terhadap penjajahan. Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia dikenal tidak kenal lelah dan pantang menyerah terhadap segala macam tantangan. Inilah yang terpantul dari pepatah “sekali layar terkembang pantang mundur ke belakang”.
Namun sekarang daya juang itu mulai berkurang, tergerus oleh zaman. Sebagian anak bangsa cenderung menjadi pecundang. Mereka tidak tahan terhadap ujian dan cobaan, sehingga mengambil jalan pintas menerabas hukum dan undang-undang, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Daya juang pun berkurang ketika anak-anak bangsa tidak siap bersaing dan bertanding, bahkan terjatuh pada kecenderungan membanggakan bangsa-bangsa lain yang dianggapnya maju dan modern. Anak-anak bangsa kehilangan jati diri dan tidak bangga terhadap bangsa sendiri.
Ketiga, bangsa Indonesia juga terkenal sebagai bangsa yang gandrung bergotong-royong. Mereka bahu-membahu dan saling membantu dalam berbagai persoalan dan kegiatan. Sudah menjadi tradisi di desa maupun di kota antarsesama warga masyarakat bekerja sama menyelesaikan tugas bersama dalam prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Tapi sekarang etos kegotongroyongan mulai mengendur tergerus waktu. Semangat kegotong-royongan tergantikan oleh kecenderungan hidup bernafsi-nafsi (sendiri-sendiri) untuk hidup dan selamat sendiri. Jika dalam semangat kegotong-royongan terdapat keikhlasan dan ketulusan untuk membantu sesama seperti terdapat dalam peribahasa “sepi ing pamrih rame ing gawe”, sekarang segala sesuatu diukur dari sudut materi atau bendawi.
Keempat, lebih memprihatinkan lagi adanya gejala sebagian masyarakat lebih mengedepankan hak dari pada kewajiban. Mereka menikmati kebebasan sebagai hak asasi dengan melupakan kewajiban atau tanggung jawab asasi.
Sebagai akibatnya, mereka merasa bebas untuk berdagang walau secara curang, dan kemudian berkacak pinggang di atas penderitaan orang lain dalam perekonomian yang senjang. Kebebasan itu juga mengejawantah dalam hasrat berkuasa atau mempertahankan kekuasaan walau mengabaikan etika. Menghalalkan segala cara merupakan fenomena dalam perjuangan untuk takhta, ketika suara rakyat tidak lagi menjadi suara Tuhan, tapi suara yang tergadaikan dengan uang demi untuk menang.
Pesan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan menjadi barang mewah yang tak terusik, karena tergantikan oleh budaya politik yang cerdik yang mengubah demokrasi menjadi oligarki dan kleptokrasi yang licik. Sebagai akibatnya, demokrasi sebagai jalan kesejahteraan dan kemajuan tersandera oleh persaingan untuk kekuasaan dan demi kekuasaan itu sendiri.
Demoralisasi terselubung inilah yang dewasa ini menjelma dalam kehidupan bangsa. Ketika bangsa alpa dan abai terhadap berbagai bentuk kekerasan, pembunuhan, perzinaan, pencurian, korupsi, dan pemakaian narkoba. Sampai kepada penyalahgunaan dan penyelewengan amanat jabatan, serta ketakjujuran, ketakadilan, dan kelaliman.
Semuanya itu menunjukkan terjadinya kerusakan moral dalam masyarakat. Yang melanda tidak hanya anak-anak dan remaja, tapi juga orang-orang dewasa, tidak hanya di tingkat rakyat tapi juga di kalangan pemangku amanat.
Demoralisasi terselubung ini merupakan masalah besar bagi bangsa, dan bahkan dapat meruntuhkan kehidupan bangsa di masa depan. Pepatah Arab mengatakan, “Dengan akhlak sesuatu bangsa berdiri tegak, jika akhlak runtuh bangsa itu menjadi rapuh.”
Amar Makruf Nahyi Munkar
Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini terjadi hampir bersamaan dengan pelaksanaan agenda demokrasi, yaitu Pemilihan Umum. Harus diakui, bangsa dan umat Islam mengalami keterbelahan. Perbedaan aspirasi dan afiliasi politik terutama terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah menciptakan perpecahan tajam dan dalam di tubuh bangsa.
Saatnya sebagai khairu ummah, umat Islam bangkit melakukan amar makruf nahyi munkar. Namun, dalam suasana demikian nurani bangsa nyaris padam kala terhadap kemungkaran banyak yang memilih diam. Diam terhadap kemungkaran adalah selemah-lemahnya iman, dan mendiamkan kemungkaran hanya akan mendorong kemungkaran itu berkelanjutan.
Dalam kaitan inilah, kriteria amar makruf nahyi munkar bagi Khairu Ummah menjadi penting dan genting. Adalah penting adanya kekuatan yang secara serius menyerukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.
Dalam hal ini ada pesan Ilahi yang patut direnungkan. Pertama, Al-Maidah ayat 78-80. “Allah melaknat Bani Israil yang melampaui batas, mereka tidak bersungguh-sungguh melakukan nahyi munkar (kemarin mereka melakukannya tapi sekarang sudah bersama orang-orang yang melakukan kemungkaran itu). Maka Allah turunkan adzab atas mereka.”
Selain itu, Hadist Riwayat al-Bukhari: “Suatu bangsa bagaikan para penumpang sebuah kapal yang berlayar ke pulau cita-cita, ada yang bertempat di bagian atas dan ada di bagian bawah. Mereka yang di bawah, yang harus mengambil air ke atas, bermaksud baik agar tidak mengganggu mereka yang di atas maka mereka ingin melubangi bagian mereka sendiri di bawah.”
“Jika dihalangi melubangi kapal, maka mereka akan selamat dan semua penumpang lain akan selamat pula. Namun, jika mereka dibiarkan melubangi tempat sendiri, maka mereka dan semua penumpang akan celaka.”
Ketiga, Hadist Riwayat Turmudzi: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, hendaknya kalian menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau Allah SWT akan menurunkan adzabNya dan kalian berdoa kepadaNya memohon perlindungan, maka doa kalian tidak akan terkabulkan.”
Dari tiga pesan suci tadi, jelas pentingnya Umat Islam sebagai Khairu Ummah melaksanakan amar makruf nahyi munkar. Jika tidak ada manusia yang mau dan mampu melakukannya maka alam yang akan mengambil alih. Hukum Allah dalam kehidupan akan bergerak melakukan keseimbangan dalam bentuk bencana alam, dan bencana itu tidak hanya akan menimpa kaum aniaya saja, tapi menimpa semua umat manusia.
Ajaran amar makruf nahyi munkar, sebagai kriteria penting Khairu Ummah, adalah quasi sine qua non atau prasyarat mutlak bagi terwujudnya Khairu Ummah itu sendiri. Dan pada giliran berikutnya, Khairu Ummah memiliki kewajiban moral dan sosial untuk melakukan amar makruf nahyi munkar untuk terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang terbaik pula.
Sebaliknya, menurut mantan Syaikh al-Azhar Sayyid Thanthawi, perpecahan dalam masyarakat terjadi karena lemahnya amar makruf nahyi munkar. Jika amar makruf nahyi munkar tidak terlaksana maka perbedaan dan perpecahan masyarakat akan menguat.
Oleh karena itu, momentum perubahan kedua bagi kaum beriman yang telah selesai menunaikan pelatihan Ramadhan dan berhasil meraih predikat Khairu Ummah, adalah melakukan perubahan terhadap kehidupan bersama yang mengalami kerusakan. Kita dituntut melakukan kewajiban dan tanggung jawab melakukan amar makruf nahyi munkar terhadap kehidupan bangsa yang masih diliputi kemungkaran struktural, yaitu kediktatoran konstitusional.
Dengan demikian, umat Islam sebagai Khairu Ummah dapat berperan dalam mewujudkan cita-cita nasional yakni Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat dan bermartabat. (*)
Din Syamsuddin: Bangsa Indonesia Alami Demoralisasi Terselubung; Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni