Menantikan Kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi; Oleh Rifqi Ridlo Phahlevy [1]
PWMU.CO – Proses kompetisi berebut kuasa dalam Pemilu 2024 memasuki babak akhir, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Sebagai salah satu fase dalam sistem pemilu di Indonesia, PHPU disediakan untuk siapa pun yang merasa dirugikan atas keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu.
Karenanya, pihak Pemohon/Penggugat dalam PHPU di tahun 2024 ini sejatinya tidak hanya Paslon Presiden dan Wakil Presiden yang dinyatakan kalah oleh KPU. Merujuk pada laman MK, sekurangnya terdapat 273 permohonan yang diajukan oleh para kontestan Pemilu, baik dari unsur Partai maupun individual (calon DPD dan Presiden). Jumlah perkara itu sedikit lebih besar dari jumlah perkara PHPU pada edisi Pemilu 2019.[2]
Terlepas dari meningkatnya jumlah permohonan PHPU tahun ini, sebagian besar perhatian bangsa ini tercurah pada proses PHPU terkait persengketaan hasil pemilihan Presiden. Terlepas dari luasnya dampak persengketaan Pilpres bagi kehidupan bernegara, besarnya atensi publik banyak dipengaruhi oleh kuatnya narasi yang berkembang seputar penyelenggaraan Pilpres kali tahun ini.
Sejak Gibran Rakabuming lolos menjadi Cawapres melalui drama pengujian undang-undang di MK, kritik terhadap kredibilitas Pemilu dan pembusukan demokrasi gencar disuarakan. Puncaknya adalah hadirnya film Dirty Vote yang menarasikan proses curang dalam penyelenggaraan Pemilu (khususnya Pilpres) 2024.
Presumsi pembusukan demokrasi dan Pemilu curang yang dibangun dalam Dirty Vote bukan tanpa dasar. Disamping proses kehadiran Gibran sebagai Cawapres yang dinilai cacat etik (versi MKMK), kedudukannya sebagai anak Presiden Jokowi juga cukup menebalkan dugaan yang ada. Terlebih Presiden Jokowi santer dikaitkan dengan wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden. Maka muncul kecurigaan bahwa Pemilu 2024 sudah dikondisikan untuk memuluskan langkah Gibran melanjutkan agenda tiga periode.
Ketika KPU menetapkan Paslon No. 2 sebagai pemenang Pilpres dalam satu putaran, presumsi tentang kecurangan Pilpres itu seperti menemukan alat pembenarannya. Jika kita mengikuti persidangan MK, ragam argumentasi yang disajikan oleh Pemohon 1 (Paslon No. 1) dan Pemohon 2 (Paslon No. 3), berfokus untuk mendalilkan adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam proses Pemilu 2024.
Tidak ada data rekapitulasi KPU yang secara serius dan signifikan dipermasalahkan layaknya sengketa PHPU pada umumnya. Sorotan utama dari rangkaian dalil kedua Pemohon lebih diarahkan pada proses Pemilu. Bahkan secara khusus diarahkan pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Jokowi guna memuluskan langkah Paslon No. 2. Sehingga wajar jika dalam petitum Pemohon terdapat tuntutan untuk mendiskualifikasi kepesertaan Paslon No. 2 dalam Pilpres 2024.
Identitas MK sebagai Penyelesai Sengketa Pemilu
Salah satu isu yang mengemuka dalam proses penyelesaian sengketa Pilpres di MK saat ini adalah terkait kedudukan MK dalam mengadili perkara yang diajukan oleh Pemohon. Mengingat sebagian besar konstruksi argumentasi dan pokok permohonan Pemohon berada di luar keputusan KPU tentang penetapan hasil pemilihan Presiden, maka pertanyaan tentang ruang kompetensi absolut MK menjadi relevan diperdebatkan.
Di persidangan, tim kuasa hukum pihak Pemohon dan pihak Terkait (Paslon 02) beradu saksi Ahli guna meletakkan batasan kompetensi MK sesuai kepentingan mereka. Pihak Pemohon bersama saksi ahlinya mengajukan perluasan ruang kompetensi absolut MK hingga di luar penetapan hasil pemenang Pilpres. Sebaliknya, Pihak Terkait dengan tim Ahlinya, mengajukan dalil pembatasan ruang kompetensi MK sebatas sengketa hasil Pemilu.[3]
Perdebatan terkait ruang kompetensi MK dalam penyelesaian sengketa Pemilu sudah ada sejak lahirnya konsep TSM dalam proses penyelesaian sengketa Pilkada di MK, yakni dalam perkara Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jawa Timur 2008.
Konsep TSM yang lahir dalam perkara itu diletakkan sebagai bagian kemerdekaan hakim dalam memaknai dan guna mewujudkan tujuan konstitusi. Dalam hal ini konsep TSM dihadirkan untuk menjembatani kebutuhan MK dalam menghasilkan suatu putusan yang berkeadilan substantif. Namun, salah satu kritik atas putusan itu adalah tercederainya prinsip legalitas, karena putusan MK saat itu bersifat ultra petita yang potensial bersifat ultra vires.[4]
Menariknya, konsep TSM yang lahir dalam proses persidangan di MK itu kemudian disudahi penggunaannya dalam proses Pemilukada selanjutnya. Penegasan MK untuk tidak lagi menerima gugatan PHPU terkait kecurangan TSM ini disampaikan oleh Prof Arief Hidayat selaku Ketua MK saat itu, menjelang proses Pilkada serentak Tahun 2015. Aspek utama yang menjadi pertimbangan MK adalah efektivitas penanganan perkara di MK, yang secara sistemis dirancang singkat, meliputi sengketa hasil, bukan prosesnya. MK saat itu menekankan sengketa TSM sebagai sengketa atas prosedur Pemilihan, yang penyelesaiannya harusnya melalui instrumen Gakkumdu (Penegakan hukum terpadu dan PTUN).[5]
Terlepas dari sikap MK di tahun 2015 tersebut, perlu juga dicatat, bahwa yurisprudensi terkait kecurangan TSM tersebut terjadi pada perkara Pemilukada, bukan pada proses Pemilu maupun Pilpres. MK dalam sengketa Pilpres Tahun 2019 juga secara konsisten mengecualikan kecurangan TSM dari obyek sengketa hasil Pilpres.[6]
Catatan ini penting, mengingat rezim Pilkada didesain berbeda dengan rezim Pemilu dan Pilpres. Kondisi tersebut tentunya memunculkan pertanyaan terkait relevansi penggunaan konsep TSM dalam proses penyelesaian sengketa Pilpres. Sehingga wajar jika Pemohon 2 ketika mendorong perluasan wewenang MK pada ranah kecurangan TSM, tidak menggunakan landasan perkara No. 41/PHPU.D-VI/2008. Pemohon 2 memilih pendekatan perbandingan hukum dengan mengetengahkan praktek pembatalan hasil Pilpres oleh MK di beberapa negara.[7]
Bagi penulis, kewenangan MK dalam penyelesaian perkara PHPU harus merujuk pada substansi dan intensi dari ketentuan Pasal 24C Ayat (1) yang rumusannya adalah “… dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”. Rumusan itu secara tegas menyatakan bahwa wewenang MK adalah dalam menyelesaikan perselisihan tentang hasil.
Pembedaan jenis perkara itu tidak terlepas dari sistem penegakan hukum kepemiluan di Indonesia yang menyediakan instrumen kelembagaan yang bersifat otonom dalam Gakkumdu, PTUN dan MK. Ketiganya memiliki peran dan Tupoksi tersendiri, yang harusnya saling bersinergi, bukan saling menumpangi apalagi bertabrakan. Dalam konteks ini, maka konsep tentang hasil Pemilu yang menjadi kompetensi MK menjadi jelas, yakni di luar sengketa proses Pemilu, yang dalam Peraturan Bawaslu No. 03 Tahun 2023, penyelesaiannya melalui Gakkumdu.
Wewenang MK dalam mengadili sengketa hasil Pemilu/Pilpres, tidak seyogyanya hanya difahami sebagai proses kalkulasi perhitungan suaranya semata. Konsep tentang hasil, harusnya dimaknai sebagai proses persidangan terkait selisih rekapitulasi, keabsahan data hasil rekapitulasi, dan legitimasi hasil pemilihan Pemilu itu sendiri. Dalam pemaknaan ini, maka peradilan PHPU MK tidak sekedar menjalankan fungsi Mahkamah Kalkulator. Mahkamah pada dasarnya boleh mengadili perihal keabsahan data hasil Pemilu dan legitimasi hasil Pemilu, yang dapat berujung pada putusan yang mengubah hasil pemenang Pemilu/Pilpres.
Peradilan harus berpijak pada data dan fakta otentik yang dapat dibuktikan secara materiil dalam peradilan. Pembuktian atas kecurangan prosedural yang dituduhkan oleh Pemohon harus dapat dibuktikan berkaitan dengan keabsahan hasil perhitungan suara dan legitimasi hasil Pemilu. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep causa verband yang menjadi syarat bagi pendalilan kerugian pihak Pemohon.[8] Jika Pemohon berpandangan bahwa terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada pemenangan Pihak Terkait, maka Pihak Pemohon harus dapat membuktikan bahwa perbuatan itu berkaitan secara langsung terhadap kekalahannya.
Beberapa dalil Pemohon terkait kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam proses kontestasi Pemilu, harusnya bisa diproses melalui Panwaslu, Kepolisian dan PTUN. Kebuntuan prosedural seperti yang dikemukakan oleh Pemohon, harus dapat dibuktikan untuk kemudian dapat direspon sebagai bagian dari catatan bagi legitimasi hasil putusan KPU.
Dalam konteks inilah MK berperan penting dalam memverifikasi kelayakan dalil Pemohon dalam mempersoalkan keabsahan dan legitimasi hasil Pemilu yang ditetapkan oleh KPU. Karena MK bertanggung jawab atas legalitas dan legitimasi hasil Pemilu/Pilpres, maka MK harus memastikan bahwa argumentasi dan putusannya berpijak pada fakta dan data yang valid dan relevan dengan issue seputar hasil Pemilu yang dipermasalahkan ke hadapannya.
MK Harus Menjadi Mahkamah Kebijaksanaan
Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of contitution) MK dituntut untuk mampu meletakkan diri sesuai dengan mandat kekuasaan yang diletakkan oleh konstitusi. Dalam konteks PHPU, eksistensi MK sebagai penjaga konstitusi harus dipahami sebagai peran dan tanggung jawab MK untuk menjamin terlaksananya amanah konstitusi dalam penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2024. untuk itu, MK perlu memastikan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 telah selaras dengan prinsip, spirit dan cita konstitusi. Untuk itu, MK perlu meletakkan standard penilaian yang tepat dalam proses penyelesaian sengketa PHPU, guna menjamin proses penegakan konstitusi tidak keluar dari koridor konstitusi itu sendiri.
Ditengah proses persidangan hingga menjelang pembacaan putusan nanti, ruang sosial masyarakat Indonesia (khususnya Sosmed), banyak diisi dengan berita yang berisi propaganda dari kubu Pemohon maupun pihak terkait dalam PHPU. Perang narasi yang masif tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk mengarahkan opini publik sesuai aspirasi politik mereka. Dalam situasi seperti saat ini, ada baiknya MK mencerna pesan Prof Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, yang menyatakan bahwa keputusan hakim tidak akan pernah membahagiakan setiap orang, akan selalu ada pihak yang kalah yang kecewa dengan putusannya. Karenanya, hakim harus berdiri pada koridor sistem hukum untuk menghasilkan keputusan yang berkeadilan.[9]
Sebagai pengadil, MK terikat oleh asas hukum acara yang memandu proses peradilan mereka. Guna mewujudkan keadilan substantif, MK terikat oleh asas audi et alteram partem dan asas independen-imparsialitas. Dengan asas tersebut, MK wajib mendengar dan mempertimbangkan pandangan, keterangan dan data yang dihadirkan para pihak secara berimbang.
Tapi perlu diingat, bahwa kewajiban mendengar itu terkait apa yang disajikan para pihak dalam persidangan, bukan yang disuarakan di media dan ruang publik. Dalam hal ini MK harus dapat menegaskan independensinya sebagai lembaga peradilan. Bahwa putusan peradilan dihasilkan melalui pembuktian atas data dan fakta, bukan berdasarkan asumsi maupun tekanan opini publik.
MK perlu mempertimbangkan wacana pembusukan demokrasi yang didalilkan oleh Pemohon dalam Persidangan. Satu kondisi yang secara sadar kita bersama rasakan adanya. Namun, penting untuk MK secara jernih menakar kadar keterkaitannya dengan hasil Pilpres yang dipermasalahkan.
Secara kualitatif MK perlu menilai kualitas pembuktian yang diajukan oleh Pemohon. Secara reflektif, Hakim MK perlu menghayati fenomena pembusukan demokrasi yang hadir dalam realitas sosialnya. Keduanya penting dilakukan, mengingat argumentasi dan pokok putusan MK disusun berdasarkan keyakinan Hakim.
Di dalam penyelesaian sengketa Pilpres ini, MK memang tidak selayaknya meletakkan dirinya sebagai ‘Mahkamah Kalkulator’, yang hanya mengakomodasi proses kalkulasi ulang selisih suara dalam pembuatan keputusannya. Namun, bukan berarti MK dapat mengesampingkan proses kalkulasi selisih perolehan suara dalam proses pembentukan putusannya. Karena bagaimanapun juga, justifikasi pemenang Pilpres ditentukan oleh selisih hasil perolehan suara masing-masing Paslon.
Karenanya, MK dalam putusannya harus mempertimbangkan fakta dan data yang diajukan oleh para pihak. Khususnya terkait dugaan kecurangan yang bersinggungan dengan validitas data hasil perolehan suara masing-masing Paslon. Berdasarkan data dan fakta dalam persidangan, MK berhak menentukan apakah hasil Pilpres sah atau tidak, apakah Pilpres perlu diulang atau tidak, dan siapakah pemenang Pilpres 2024.
Pada akhirnya, kita berharap hadir keadilan dan kemaslahatan dari putusan MK. Kondisi ideal di mana hasil Pemilu ditetapkan sesuai kadar kebenaran yang dapat diterima dengan baik oleh akal budi kita. Keputusan yang selaras dengan nilai dan cita konstitusi, serta mampu menjamin kemanfaatan terbesar bagi masa depan negara hukum dan demokrasi Indonesia. Amin. Wallahu a’lam bisshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
[1] Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Periode 2023-2027.
[2] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20176&menu=2
[3] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20194&menu=2
[4] Bambang Widjojanto, Kajian Putusan MK Tentang Pemilu & Pemilukada, Jakarta:Kemitraan, 2009, h. 6-7.
[5] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12216&menu=2
[6] https://www.hukumonline.com/berita/a/mk–dalil-pelanggaran-tsm-kewenangan-bawaslu-lt5d150b237daa7/
[7] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20185&menu=2
[8] Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007
[9] Putusan KPU Bisa Berubah oleh MK, Jimly Asshiddiqie: Semua Pihak Harus Terima (inilah.com)