Solusi Komprehensif Penyelesaian Konflik Palestina-Israel; Oleh Kumara Adji Kusuma, Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sidoarjo.
PWMU.CO – Di dalam al-Quran, sosok Nabi/Rasul atau utusan-Nya adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan dalam agama Islam. Tidaklah beriman seseorang jika tidak mengimani Nabi/Rasul. Tidaklah sah keimanan seseorang jika tidak mengimani kerasulan/kenabian dari utusan Allah tersebut. Seorang Muslim adalah sosok yang sempurna dalam beragama, karena mengimani semua nabi yang diutus Allah, lebih khusus Rasulullah Muhammad SAW. Hal inilah yang membedakan dengan agama Yahudi dan Kristen.
Agama Yahudi mengakui kerasulan hanya sebatas hingga Nabi Musa AS, tidak mengakui semua nabi/rasul setelah Nabi Musa. Agama Kristen mengakui Nabi Musa, namun untuk nabi selanjutnya terbatas hanya pada Nabi Isa AS, lebih jauh yakni memosisikan pada peringkat anak Tuhan, bahkan Tuhan itu sendiri. Kedua-duanya tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks ketauhidan, agama Kristen memiliki konsep Trinitas yang ditolak Islam, yakni mengimani Allah punya anak (Nabi Isa) dan berdampingan dengan roh kudus (Malaikat Jibril). Sedangkan agama Yahudi, meskipun memiliki tingkat ketauhidan yang sama dengan Islam, namun keimanannya tertolak ketika tidak mengakui Muhammad SAW sebagai Rasulullah.
Dengan demikian agama Islam memandang pengikut Yahudi telah kafir karena tidak mengimani kerasulan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Kekafiran pemeluk Agama Kristen adalah karena mengimani trinitas dan serta mengingkari kerasulan Nabi Muhammad.
Di dalam al-Baqarah: 285 disebutkan bahwa orang beriman atau mukimin adalah orang yang tidak membeda-bedakan di antara para Rasul (laa nufarriqu bayna ahadin min Rasulihi). Meski demikian, di antara semua Nabi yang disebutkan dalam Al Quran, terdapat nama Nabi yang secara kuantitas lebih banyak disebut dari yang lain.
Nabi Musa AS adalah nama yang paling banyak disebut, yakni 136 kali. Berikutnya adalah Nabi Ibrahim dengan penyebutan sebanyak 69 kali. Nabi Isa disebut sekitar 25 kali. Sedangkan Nabi Muhammad SAW disebutkan secara langsung dengan nama “Muhammad” sebanyak 4 kali, tetapi secara keseluruhan, nama dan gelar Nabi Muhammad disebutkan lebih dari 4.000 kali dalam berbagai bentuk seperti “Rasulullah” atau “Nabiullah”.
Fadhilah Bani Israil
Dalam konteks ini, mengapa kemudian nama Nabi Musa paling banyak disebut secara langsung dalam al-Quran. Hal ini tidak lain karena terkait langsung dengan kisah tentang Bani Israil. Bani Israil adalah keturunan dari Nabi Ya’qub AS, yang juga dikenal sebagai Israel. Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ibrahim AS melalui putranya Nabi Ishaq. Bani Israil juga dikenal sebagai “Anak-Anak Israel” atau “Umat Israel” karena mereka merupakan keturunan langsung dari Nabi Ya’qub AS.
Bani Israil ini adalah umat yang unik, karena Allah memberikan keutamaan kepada bani ini dari umat yang lain “… Wa ‘annii fadhaltukum ala alamin” (al-baqarah: 47). Diantara keutamaan tersebut adalah bahwa banyak Rasul yang dikirim Allah dari kalangan bani Israil, yakni: Nabi Musa AS, Nabi Dawud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Harun AS, Nabi Zakaria AS, dan Nabi Yahya AS. Karena itu kemudian mereka menolak eksistensi nabi selanjutnya yang berasal dari luar Bani Israil.
Pada pendiriannya, jika kita cermati bagaimana pembentukan negara Israel, adalah karena mereka diberikan privilege, keistimewaan oleh negara-negara adi kuasa Amerika Serikat dan Eropa.
Di era modern, kita mengenal banyak tokoh Yahudi seperti fisikawan dan ilmuwan terkenal sepanjang masa Albert Einsteinl; psikolog dan pendiri psikoanalisis Sigmund Freud, sutradara dan produser film Steven Spielberg; Pendiri Facebook, salah satu platform media sosial terbesar di dunia Mark Zuckerberg; Mantan Presiden Israel dan penerima Nobel Perdamaian tahun 1994 Shimon Peres; mantan hakim paling berpengaruh dalam sejarah AS Ruth Bader Ginsburg; investor, filantropis, dan aktivis politik George Soros; musisi, penyanyi-penulis lagu, dan penerima Nobel Sastra tahun 2016 Bob Dylan; Presiden Israel yang memiliki pengaruh dalam politik Israel dan masalah keamanan di Timur Tengah Benjamin Netanyahu.
Belum lagi tokoh keuangan yang menguasai ranah keuangan dunia, terutama perbankan dan bank sentral seluruh dunia, Keluarga Rothschild. Keluarga ini telah memainkan peran penting dalam sejarah keuangan Eropa dan internasional, termasuk dalam pembiayaan negara, investasi, dan pengembangan sektor-sektor ekonomi penting. Kendali keuangan dunia ada pada keluarga ini.
Pada pendiriannya, jika kita cermati bagaimana pembentukan negara Israel, adalah karena mereka diberikan privilege, keistimewaan oleh negara-negara adi kuasa Amerika Serikat dan Eropa yang memberikan dukungan penuh kepada negara yang bengis ini, bahkan anggaran untuk persenjataan yang meng-genosida Palestina.
Deklarasi Balfour: Persatuan Eropa-Amerika Serikat Via Israel
Pendirian Israel dimulai dengan Deklarasi Balfour tahun 1917 sebagai salah satu titik awal yang penting dalam perjalanan menuju pembentukan negara Israel di tanah Palestina. Arthur Balfour, kanselir Inggris pada tahun 1917, menandatangani akta bersejarah yang berkaitan dengan pendirian negara Israel. Dalam dokumen tertanggal 2 November 1917, di tengah Perang Dunia Pertama, untuk pertama kalinya pemerintah Inggris mendukung pendirian “rumah bagi orang-orang Yahudi” di Palestina.
Perjanjian Balfour telah dipandang sebagai salah satu yang mempercepat peristiwa Nakba, yakni pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 dan penjajahan yang dilakukan oleh Zionis Israel. Kala itu, kelompok bersenjata Zionis, yang dilatih oleh Inggris, secara paksa mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dari tanah air mereka.
Selama awal-awal menjalankan mandat, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang Yahudi Eropa ke Palestina secara bertahap. Hingga kemudian antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi. Dalam Deklarasi Balfour memuat peringatan bahwa “tidak boleh dilakukan apa pun yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina”.
Hubungan dengan Israel juga sering kali didorong oleh pertukaran ekonomi dan teknologi yang menguntungkan. Israel memiliki industri teknologi yang kuat dan banyak negara Barat menjalin kemitraan dalam bidang ini.
Namun, pada kenyataannya, mandat Inggris dibuat dengan cara membekali orang-orang Yahudi dengan alat untuk membangun kemandirian. Termasuk memerintah dengan mengorbankan orang-orang Arab Palestina.
Israel kemudian dianggap sebagai sekutu strategis di Timur Tengah oleh negara-negara Barat. Israel memiliki kekuatan militer yang signifikan dan dianggap sebagai “negara pulau” yang mendukung kepentingan Barat di kawasan yang sering kali tidak ramah. Dukungan terhadap Israel juga bisa dilihat sebagai bagian dari strategi lebih besar untuk menjaga “stabilitas” di Timur Tengah. Hal ini karena negara Israel bisa menjadi “proxy” bagi negara-negara di Benua Eropa dan Amerika Serikat untuk mengendalikan kawasan Timur Tengah.
Selain itu, di banyak negara Eropa dan Amerika Serikat, terdapat komunitas diaspora Yahudi yang kuat dan berpengaruh. Keterlibatan politik dan kepentingan kelompok ini sering kali memengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara tersebut terhadap Israel. Hubungan dengan Israel juga sering kali didorong oleh pertukaran ekonomi dan teknologi yang menguntungkan. Israel memiliki industri teknologi yang kuat dan banyak negara Barat menjalin kemitraan dalam bidang ini.
Politik Persatuan Umat
Sejak keruntuhan kekhalifahan Turki Usmani (Ottoman) umat Islam tidak lagi bersatu. Hal ini karena paradigma bernegara modern (sekuler) diterapkan dalam bentuk trias politica (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) di kawasan Timur. Sehingga banyak komunitas Muslim yang semula bersatu dalam satu panji kepemimpinan kemudian tercerai berai dalam konteks Negara modern.
Hal tersebut berbeda ketika konsep Negara modern yang dianut oleh Negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat). Di Negara Barat, tempat lahirnya Demokrasi, bisa menyatukan banyak bahkan hampir semua Negara Barat. Meski terlihat bersaing satu sama lain, namun mereka pun bersatu dalam satu isu yakni “Timur Tengah.” Kita lihat bagaimana mereka bersatu dalam pemberangusan kepemimpinan Negara Afghanistan, Irak, dan Negara Timur Tengah lainnya. Dalam konteks penindasan Palestina, mereka semua pun bersatu mendukung Israel yang melakukan genosida terhadap Palestina. Sementara, di Negara-negar Timur Tengah yang modern, sulit untuk bersatu.
Hal tersebut memunculkan sebuah pertanyaan krusial: Betulkah Modernisasi bisa menyatukan Negara-negara Barat, namun tidak untuk Negara-negara Timur? Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan yang perlu jawaban tersendiri.
Persatuan umat Islam di seluruh dunia memiliki potensi besar untuk memainkan peran yang positif dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dan mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Ini bisa menjadi antitesis dari Deklarasi Balfour yang menjadi titik persatuan Eropa dan Amerika. Namun, realitasnya adalah umat Islam di seluruh dunia memiliki beragam pandangan, kepentingan, dan prioritas yang dapat menyebabkan perpecahan dan perbedaan pendapat, termasuk terkait dengan masalah Israel-Palestina.
Negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim, seperti Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara lainnya, memiliki potensi untuk menjadi mediator dan perantara dalam proses perdamaian.
Terbukti hanya Iran yang kemudian memiliki pandangan pembelaan terhadap Palestina yang berani, memanfaatkan momentum serangan Israel pada kedutaan Iran di Lebanon. Arab Saudi, dan Yordania berbeda, mendukung Israel dengan menembak jatuh rudal dan drone yang dilesakkan Iran ke Israel (Ahad, 14/4/2024).
Tentu cerita akan berbeda jika persatuan umat Islam terbentuk, tidak perlu ada langkah militer. Umat Islam dapat menjadi kekuatan yang besar dalam diplomasi dan advokasi internasional. Jika umat Islam di berbagai negara dapat bersatu dalam pendekatan yang koheren dan berkomitmen terhadap solusi damai dan adil untuk konflik Israel-Palestina, mereka dapat memberikan tekanan politik dan moral yang signifikan.
Negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim, seperti Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara lainnya, memiliki potensi untuk menjadi mediator dan perantara dalam proses perdamaian. Namun, untuk itu mereka perlu mencapai kesepakatan internal dan memiliki pendekatan yang bersatu.
Persatuan umat Islam juga dapat memfasilitasi dialog dan kerja sama dengan umat Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya dalam upaya mencari solusi damai dan mengatasi mispersepsi serta konflik antaragama yang terkadang memperkeruh situasi.
Penting untuk diingat bahwa perdamaian yang berkelanjutan memerlukan kompromi dan kesediaan untuk berdamai dari semua pihak yang terlibat. Persatuan umat Islam dapat memperkuat posisi negosiasi, namun demikian, semua pihak harus siap untuk mengambil langkah-langkah konkrit menuju penyelesaian.
Solusi Komprehensif
Antara Negara di Kawasan Timur Tengah, Negara-negara Benua Eropa dan Amerika Serikat masing-masing memiliki peran yang signifikan dalam mewujudkan eksistensi bersama. Di tengah tantangan dan perbedaan pendapat yang ada, karenanya penting untuk terus mendorong dialog, diplomasi, dan kerja sama lintas-batas untuk mencapai tujuan perdamaian yang diinginkan. Hal ini membutuhkan kerja keras, kesabaran, dan komitmen dari semua pihak yang terlibat, termasuk umat Islam, pemerintah, dan masyarakat internasional secara keseluruhan.
Penyelesaian konflik ini memerlukan pendekatan politik yang komprehensif. Ini mencakup negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat, termasuk Israel, Palestina, dan negara-negara tetangga, dengan dukungan dan mediasi dari komunitas internasional. Dalam hal ini penting untuk mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, hukum internasional, dan pengakuan hak asasi manusia untuk semua individu di wilayah tersebut. Ini termasuk hak-hak warga Palestina, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan perlindungan terhadap kekerasan dan penindasan.
Karenanya diperlukan langkah diplomasi, dialog antarumat beragama, dan kerja sama antara umat Islam, umat Kristen, dan umat Yahudi dapat membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan pemahaman antarbudaya. Ini bisa dilakukan melalui forum-forum dialog antaragama, pendidikan, dan kerja sama sosial yang dilakukan oleh Komunitas internasional, termasuk negara-negara besar dan organisasi internasional seperti PBB, perlu terus mendukung upaya-upaya damai dan menekankan pentingnya solusi dua negara yang adil dan berkelanjutan.
Di atas semua itu, bagi kaum Muslim, Bani Israil merupakan ujian dan cobaan bagi umat Allah. Ini mengingatkan umat Islam bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan dan bagaimana sikap yang benar untuk melewati ujian ini.
Menegakkan prinsip nonkekerasan dan penyelesaian konflik secara damai adalah langkah penting. Ini melibatkan menolak segala bentuk kekerasan, terorisme, atau ekstremisme yang dapat memperburuk konflik dan memperpanjang penderitaan rakyat.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Palestina dan mendukung pembangunan ekonomi serta pendidikan dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan mengurangi sumber-sumber ketegangan.
Di atas semua itu, bagi kaum Muslim, Bani Israil merupakan ujian dan cobaan bagi umat Allah. Ini mengingatkan umat Islam bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan dan bagaimana sikap yang benar untuk melewati ujian ini. Diperlukan usaha atau ikhtiar yang melibatkan banyak aspek kompleks, termasuk konteks politik, sejarah, dan kemanusiaan.
Saya ingin menekankan bahwa penyelesaian konflik Israel-Palestina, selain seharusnya berfokus pada upaya damai, dialog, dan penyelesaian yang adil bagi semua pihak yang terlibat, namun juga secara internal diperlukan persatuan umat Islam yang kuat.
Wallahu’alam (*)
Editor Mohammad Nurfatoni