Nasihat Hamka saat Mengadapi Manusia Gila Keagungan Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang dan sebelas judul lainnya
PWMU.CO – “Sungguh, Anda hebat andai bisa mengalahkan saya!” Sepertinya, akan terus ada orang yang akan tergoda berucap seperti ini. Hal yang demikian, bisa terjadi pada seseorang yang pada dirinya melekat tanda-tanda kebesaran. Misal, dia merasa sangat besar karena kekuasaan tak terbatas yang dipegangnya. Contoh lain, dia merasa sangat besar karena harta tak terhitung yang dipunyainya.
“Anda sangat hebat jika dapat mengalahkan saya!” Atas kalimat semacam ini, banyak yang akan bilang bahwa ungkapan tersebut bernada sombong dan menantang. Pernyataan seperti itu, sesumbar tingkat tinggi.
Selanjutnya, atas “omong besar” semisal itu jangan terlalu dimasukkan ke hati. Lebih baik, buka sejarah yang inti isinya selalu berulang di sepanjang zaman. Bukalah Al-Qur’an dan pelajari (akhir) kisah orang-orang yang congkak.
Al-Qur’an itu petunjuk yang benar. Di antara isinya, sangat banyak yang berupa sejarah. Bahkan, Surat ke-28 bernama Al-Qashash (cerita atau kisah).
Yang Diabadikan
Bukalah al-Qashash, di ayat 3, terjemahmya adalah: ”Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.”
Siapa Fir’aun? Sebagian diskripsinya ada di al-Qashash 4, yang artinya: “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Atas ayat di atas, Hamka menulis di Tafsir Al-Azhar. Fir’aun itu, “Dia jadi sombong meninggikan diri, karena merasa bahwa tidak ada lagi sesuatu kekuasaan pun yang mengatasi kekuasaan dia” (2003: 5296).
Memang, kata Hamka (2003: 5292), di Surat Al-Qashash ada dua pelajaran yang sekali-kali tak boleh kita lupakan. Dua itu, tentang Fir’aun si penguasa yang “gila kebesaran” dan Qarun si kaya yang “gila harta”. Keduanya sama saja dalam hal performa dan nasibnya.
Lihatlah Fir’aun yang tergila-gila kepada kebesaran atau kekuasaan! Dia tidak memperdulikan nilai-nilai yang diatur Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan, dirinya menganggap telah menjadi Tuhan karena dengan kekuasaannya yang sangat besar dia merasa tidak ada lagi manusia lain yang berani menantang dan apalagi mengalahkannya.
Cermatilah Qarun yang mabuk kepayang dengan hartanya yang tak terbilang. Setelah itu, dia merasa telah sampai ke puncak gelimang harta yang tidak akan ada lagi orang lain yang dapat melampauinya. Dengan congkak dia bilang, bahwa semua itu didapat semata-mata karena ilmu dan usahanya.
Potret Tragis
Bagaimana kesudahan dari kedua manusia itu? Tampak, Fir’aun dan Qarun sama-sama jatuh secara mengenaskan dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Mereka sama-sama tenggelam dan tidak dapat bangkit lagi
Fir’aun tenggelam ditelan laut. “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan” (al-Baqarah 50).
Qarun tenggelam ditelan bumi. “Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)” (al-Qashash [28]: 81).
Mengapa berakhir sangat tragis? Ini, kata Hamka, karena keduanya-yaitu Fir’aun dan Qarun-telah sama-sama berbuat sekehendak hati. Keduanya “Tegak tidak tersundak”, lanjut Hamka (2003: 5293).
Ungkapan terakhir yang dikutip Hamka di atas, yaitu “Tegak tidak tersundak”, adalah pepatah (bagian dari sastra) Minangkabau. Maksudnya, bagi Fir’aun dan Qarun, tidak ada yang akan bisa menghalangi apapun kemauan mereka.
Kesudahan keduanya sama saja, yaitu sama-sama hancur dan tenggelam. Saat telah tenggelam maka orang-orang yang tadinya berkerumun memuja dan memuji tak lagi mendekati dan apalagi menolong keduanya.
Sebagian Wajah
Bagaimana Fir’aun memerintah? Sekali lagi, cermatilah al-Qashash 4 ini: “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Bahwa, salah satu taktik pemerintah yang Fir’aun pakai ialah memecah-belah rakyat yang berada dalam kekuasaannya. Kalkulasinya sederhana, bahwa dengan berpecah-belah niscaya mudah bagi pemerintah dalam mengatur mereka.
Rakyat dipecah-belah. Satu pihak diangkat, golongan yang lain diperlemah. Perhatikan contoh lugas itu! Dulu, Fir’aun membuat aturan bagi rakyatnya: Dia membiarkan hidup anak-anak perempuan dan menyembelih anak laki-laki.
Titik Perhatian
Kepada pemerintah manapun dan kapanpun, jangan rusak masyarakat. Misalnya, dengan cara suka mencari kesalahan-kesalahan mereka. Untuk hal ini, di bagian lain dari Tafsir Al-Azhar, Hamka (2003: 6832) mengutip dua hadits yang seharusnya menjadi perhatian serius dari kita semua.
Hadits pertama: “Apabila engkau buntuti aurat mereka (kesalahan-kesalahan mereka), niscaya engkau telah merusakkan mereka atau nyarislah engkau merusakkan mereka.” (HR Abu Daud).
Hadits kedua: “Sesungguhnya seorang pemegang pemerintah apabila dia telah suka menaruhkan ragu-ragu kepada manusia, niscaya dirusakkannyalah manusia itu.” (HR Abu Daud).
Nasihat Kuat
Al-Qur’an adalah panduan hidup yang menyelematkan. Di dalamnya ada banyak kisah. Ada kisah-kisah orang yang benar karena selalu menaaati syariat Allah. Orang-orang seperti ini harus kita teladani.
Di samping itu, di dalam al-Qur’an, ada pula cerita-cerita orang yang tidak benar karena melanggar aturan Allah. Cerita tentang Fir’aun dan Qarun adalah sebagian dari kisah tentang orang-orang yang tak benar.
Oleh karena itu, sikap terbaik setelah mencermati kisah-kisah itu, adalah: Pertama, kita harus lebih meyakini ayat ini: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (al-Israa: 81).
Kedua, hati kita harus menjadi lebih mantap dengan kebenaran ayat ini: “Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan” (Yunus 81).
Sungguh benar nasihat Hamka (2003: 5296) saat mengulas al-Ahzab 3. Bahwa kaum beriman, kapanpun dan di manapun, hendaknya tetaplah berada dalam keinsyafan. Insaf, bahwa semua kesulitan yang kita hadapi akibat ulah lawan atau musuh, dulu juga dialami Nabi Musa As. Mereka mengalami kesukaran saat menghadapi Fir’aun.
Untuk itu teruslah berjuang dengan sepenuh kesabaran. Ikutilah jejak Musa AS, sang pemenang! Jauhilah sikap seperti yang dimiliki Fir’aun yang gila kebesaran. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni