PWMU.CO – Jika sedang umrah atau haji, maka Anda akan mendapati candaan seperti ini, “Sudah tawaf di Menara Zam Zam?”. Ya, Menara Zam Zam atau lebih tepatnya bernama Abraj Al Bait adalah bangunan raksasa yang terdiri dari hotel dan mall, yang dilengkapi dengan jam raksasa di puncaknya. Letaknya persis di depan Masjid Al Haram. Begitu keluar dari King Abdul Aziz Gate, Anda akan terhubung dengan bangunan yang kini seolah menjadi ikon baru, “menyaingi” Kabah.
Bagaimana tidak, dari sudut-sudut kota Mekah, yang nampak sebagai penanda Masjid Al Haram justru Abraj Al Bait itu. Maklum bentuknya yang megah dan menjulang pada ketinggian 601 meter begitu menonjol.
(Berita terkait: Hotel 715 Dibilang 517: Beginilah jika Berhaji di Usia Senja)
Kemenonjolan menara tertinggi kedua di dunia itu bahkan bisa diperhatikan pada sajadah-sajadah produksi terakhir. Jika dulu bergambar Masjid Al-Haram dengan Kabah-nya yang khas, maka kini banyak sajadah yang bergambar Abraj Al Bait yang dipadu dengan Kabah.
Jamaah umrah atau haji khusus tentu sudah merasakan kemewahan hotel dan pusat perbelanjaan di komplek Abraj Al Bait itu. Bahkan dari hotel-hotel berbintang 5 di komplek tersebut, melihat Kabah cukup dengan membuka jendela. Maka muncul pula candaan, “Jika tinggal di hotel komplek Abraj Al Bait, shalatnya tak perlu turun ke Masjid Al Haram.”
Tapi bagi kebanyakan jamaah haji reguler, kemewahan Abraj Al Bait mengundang penasaran. “Sudah pernah tawaf ke Menara Zam Zam?” begitu gurau teman-teman sekamar, seolah menggoda saya untuk pergi ke sana. Mendapat alasan mencari ATM, saya pun akhirnya mengiyakan ketika teman-teman sekamar mengajak ke sana.
(Baca:Kedinginan padahal Suhu 41 Derajat Celsius dan Meski Berada di Saudi, Jangan Kearab-araban…)
Maka, sehabis menunaikan shalat Asar, Sabtu (26/8), kami menuju pintu King Abdul Aziz. Keluar dari pintu nomor 1 itu nampak jelas bangunan menara dan sebaliknya dari menara itu terlihat jelas Kabah. Dalam pengamatan selama sepekan, hanya dari pintu 1 itulah Kabah bisa lihat langsung dari luar masjid.
Begitu keluar pintu, terlihat jamaah berbondong-bondong memasuki Abraj Al Bait. Kami pun terbawa di dalam arus itu.
Di lantai dasar menara yang menjadi pusat perbelanjaan itu kami benar-benar “tawaf”, maksudnya berputar-putar. Bukan sedang meborong sebanyak-banyaknya belanjaan, melainkan hanya melihat dan membandingkan harga-harga.
(Baca juga: 1 Riyal = Rp 3.700 yang Bikin Kaget Jamaah Haji India)
Dan kesimpulannya: mahal. Maklum, mungkin kelasnya seperti Sogo di Plasa Tunjungan Surabaya. Saya pun sempat terkejut ketika istri membeli segelas jus jeruk yang dibandrol 16 SAR atau setara dengan 59.200 IDR dengan kurs 1 SAR = 3700 IDR.
Saat 30 menit jelang adzan Mahrib, “tawaf” kami pun usai. Dan kami sangat terkejut ketika kembali turun di lantai dasar, mall sudah penuh dengan jamaah yang membentuk shaf shalat.
“Ayo cepat keluar. Masak kita shalat di mal. Nanti kehilangan pahala 100 ribu shalat di Masjid Al Haram,” begitu ajak Joko Supriyadi, teman semaktab.
(Baca juga:3 Jam sebelum Jumatan, Masjid Alharam Sudah Penuh)
Tapi, seperti hari-hari ini, 30 menit jelang jamaah tentu sulit mencari tempat shalat, sekalipun di luar masjid. Tapi kami masih beruntung ada celah sedikit yang bisa kami masuki. “Insyallah ini masih wilayah Masjid Al Haram,” kata saya sedikit bercanda. Sebab kami berada di halaman depan pintu King Abdul Aziz, meskipun tempat itu menyatu dengan pelataran Abraj Al Bait.
Habis shalat, kami pun merenung, ah … ada saja godaan dalam menjaga kekhusukan ibadah. “Padahal, saya berniat ke sini usai menjalani prosesi haji,” kata Joko Supriyadi.
Di Mekah, ternyata ada tantangan juga di balik dahsyatnya spiritualitas.(Mohammad Nurfatoni)