PWMU.CO – Hikmah pramugari bermata biru dan rektor di Amerika mengemuka dalam kajian rutin bulanan Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah yang dikemas dalam Gerakan Perempuan Mengaji (GPM) edisi April 2024.
Kegiatan dilaksanakan secara hybrid: luring di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Yogyakarta dan Aula Institute Tabligh Muhammadiyah (ITM) PP Muhammadiyah Yogyakarta serta daring melalui Zoom yang disiarkan secara langsung melalui channel YouTube PP Aisyiyah, Sabtu (26/4/2024)
Prof Dr Masyitoh Chusnan MAg, narasumber pada GPM edisi April yang bertemakan “Hikmah Syawal: Memperkokoh Komitmen dan Ghirah Berjuang” menceritakan tentang kisah anekdot pramugari bermata biru dan pesan rektor Amerika.
Dia menceritakan dalam sebuah penerbangan maskapai Rusia—negara yang dulu bernama Uzbekistan, tempat kelahiran Imam Bukhori sang ahli hadits—seorang wartawati Muslimah berjilbab berdialog dengan pramugari Muslimah bermata biru dari Uzbekistan.
“Namamu bagus, Aminova Gulnora. Nama itu berasal dari Aminah ibu Rasulullah,” ucap sang wartawati.
“Siapa Rasulullah itu? Dan siapa Aminah itu?” sang sang pramugari bermata biru.
“Bukankah Anda sudah bersyahadat sebagai seorang Muslim?” sang wartawati bertanya kembali.
“Apa itu syahadat?” tanya sang pramugari.
Hikmah Cerita Pramugari
Dari kisah anekdot itu, Masyitoh menyampaikan betapa mirisnya mendapati seorang yang berasal dari negeri di mana para ahli hadits dan tokoh Muslim dunia berada, dia tidak mengenal Rasulullah dan tidak paham syahadat.
“Ini kelihatannya sederhana, barangkali kita juga merasa bahwa keluarga kita sudah betul-betul taat tapi ternyata karena kita kurang dalam melakukan pengawasan dan perhatian, kita yakin bahwa mereka di jalan yang benar namun tidak kita perhatikan pergaulannya seperti apa sehingga menjadi seperti Aminova Gulnora,” jelasnya.
Masyitoh lalu memaparkan kisah dalam sebuah hadits tentang ahli ibadah yang menjadi perbincangan di kalangan sahabat. Pada suatu kesempatan, Nabi bertanya, “Siapakah yang paling baik ibadahnya?”
Si ahli ibadah menjawab, “Saya,” hingga tiga kali pengulangan dijawab sama.
Nabi lalu memerintahkan “Siapa yang mau membunuh orang itu? Aku melihat goresan setan.”
Abu Bakar yang maju duluan, tidak berhasil membunuh karena si ahli ibadah sedang rukuk dengan khusyuk. Pun, Umar bin Khattab, dia tidak berhasil membunuh karena mendapati si ahli ibadah sedang sujud dengan khusyuk. Terakhir, Ali bin Abi Thalib juga tidak berhasil membunuh karena si ahli ibadah tidak bisa ditemukan lagi.
“Jika kalian bisa membunuhnya maka umatku kelak tidak akan terpecah belah,” ucap Nabi menyampaikan prediksinya.
Masyitoh menjelaskan, lepas dari status haditsnya, pesan dari hadits itu patut kita pikirkan. Pertama, sifat ujub, takabur, sombong, riya’ itu sangat di benci Allah. Kedua, sebaik apapun ketakwaan dan keshalehan kita, jika terdapat kesombongan maka kita menjauh dari Allah.
Pesan Rektor di Amerika
Masyitoh melanjutkan manusia ibarat turis, bisa tersesat. Agar tidak tersesat maka harus patuh pada guide dan guidebook.
“Siapa guide kita? Yaitu rasul. Dan apa guidebook kita? Al-Quran,” terangnya.
Dia menyebutkan juga mengenai puluhan rektor di Amerika yang berkumpul dalam sebuah konferensi menyampaikan bahwa mereka menyadari lulusan universitas mereka meraksasa dalam iptek, namun merayap dalam etik. Maka dibutuhkan pendidikan etik atau akhlak.
“Sekarang ini banyak orang pinter, orang cerdas, tetapi sulit mencari orang jujur. Ini senada dengan keprihatinan para rektor di Amerika tadi. Maka penting untuk memberikan pendidikan spiritual rohaniah yang mengisi akal dan emosinya. Pendidikan bukan hanya transfer of knowledge namun juga transfer of value,” ujarnya. (*)
Penulis Nurul Hidayah Editor Mohammad Nurfatoni