PWMU.CO – Tiga makna fitri disampaikan Prof Dr Nazaruddin Malik SE MSi, Rektor UMM dalam Pengajian Ahad Pagi KH Ahmad Dahlan dan halal bihalal yang diadakan Majelis Tabligh PDM Kota Batu, Ahad (5/4/2024).
Nazaruddin Malik menjelaskan, Idul Fitri bagi umat muslim Indonesia adalah momen yang sangat penting karena dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan setelah melewati perjuangan panjang selama bulan Ramadhan.
”Idul Fitri adalah waktu untuk merayakan sekaligus mensyukuri nikmat dari Allah karena kita telah melalui ujian dengan menjalankan puasa selama sebulan penuh,” kata Nazaruddin yang juga Wakil Ketua PWM Jawa Timur.
Lantas dia menjelaskan tiga makna fitri atau fitrah. Pertama, fitrah itu mengisyaratkan pada umat muslim untuk terus berbuat baik dan kebaikan (al-khair).
”Ketika ada dalam diri seseorang telah merasa berbuat baik, apabila perasaan itu berkembang pesat, jangan sampai menjadikan seseorang bisa takabur,” ujar putra Abdul Malik Fadjar ini.
Kedua, kebaikan itu harus menjadi hal penting yang bukan digerakkan oleh hati nurani dan akal pikir tapi harus digerakkan oleh kekuatan pikir dan dzikir.
Maka fitrah itu bermakna ilmu (al- ‘ilm). Setelah perjuangan panjang selama Ramadan, maka sesungguhnya kita diharapkan untuk terus belajar karena ilmu adalah modal besar untuk terus meperbaiki cara kita berbuat baik.
Ketiga, makna dari al-khair dan konteks dorongan untuk terus belajar (al-‘ilm) haruslah diikuti dengan upaya keras yang digambarkan sebagai sesuatu yang indah yang jika dilihat dan dirasakan perpaduannya dalam hidup manusia, akan melahirkan rasa nyaman dan kebahagiaan. ”Itulah yang disebut dengan seni, sebuah keindahan,” ujarnya.
Karena itu, sambung dia, Idul Fitri itu sebenarnya memberi makna kebaikan, memberikan makna atau konteks bagaimana kita harus terus memperbaiki diri, belajar dan terus belajar, dan terus mempraktikkannya agar menjadikan hidup ini lebih indah.
”Inilah hakikat mengapa puasa dan Idul Fitri dapat menjadi dasar untuk melakukan konsolidasi dan muhasabah pasca Ramadhan untuk memasuki bulan-bulan berikutnya,” ujarnya.
Konteks ini juga memberikan inspirasi pada kita, bahwa jika upaya kebaikan diikuti dengan upaya belajar keras membangun kemampuan berpikir, kemudian mempraktikkannya dengan baik, maka itulah etos kerja.
”Etos kerja bagi muslim bukan sekadar tekad. Tekad itu harus diikuti dengan dorongan untuk terus berbuat kebaikan, dorongan untuk memperbaikinya dengan belajar, dan terus mencoba mempraktikkannya agar menghasilkan keindahan dengan cara yang baik, itulah hakikat dari kemuhammadiyahan yang disebut risalah Islam berkemajuan,” tuturnya.
Nazaruddin menjelaskan, modal besar untuk merenungi kefitrian kita setelah Ramadhan dan Idul Fitri adalah dengan mengasah kesyukuran kita pada Allah swt.
Ketika kita mempraktikkan ibadah maka harus diiringi dengan kesyukuran, maka syukur adalah bukti hati yang peka pada kehidupan dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, rasa syukur akan mendatangkan sikap tenggang rasa pada sesama.
Penulis Khoen Eka Anthy Editor Sugeng Purwanto