Syarat agar Cinta Datang dari Sesama Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit 2024) dan sebelas judul lainnya.
PWMU.CO – Boleh jadi, cinta adalah salah satu yang kata yang paling sering disebut. Kata itu berkali-kali disebut di keseharian, di berbagai keperluan. Misal, di sebuah keluarga, kata cinta dipakai untuk mengungkapkan kasih-sayangnya kepada sesama anggota keluarganya.
Sekadar menyebut lagi, kata cinta bertebaran di syair, di lagu, di novel, dan lain-lain media pengungkapan perasaan. Bahkan, seorang Imam Al-Ghazali, turut menjelaskannya di kitabnya (2010: 182). Kata Sang Hujjatul Islam itu, seseorang mencintai orang lain karena beberapa hal.
Pertama, karena ia rupawan dan memiliki kepribadian yang menyenangkan. Kedua, orang itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan di luar dirinya dan tujuan itu berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dunia.
Masih kata Imam Al-Ghazali, ketiga, orang itu merupakan sarana untuk meraih keuntungan di akhirat. Keempat, seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah dan di Jalan Allah serta bukan untuk mendapatkan dunia atau akhirat, tapi karena orang itu merupakan salah seorang hamba Allah.
Barangsiapa yang menyukai sesuatu, dia akan menyukainya dari saudaranya. Inilah persaudaraan di jalan Allah SWT. Hal ini, lanjut Imam Al-Ghzali, sebagaimana dikatakan oleh Majnun bin Amir lewat sebuah syair:
Aku melewati rumah, rumah Laila
Aku mencium dinding ini dan dinding ini
Bukan cinta kepada rumah yang melanda hatiku
Tetapi cinta kepada yang menempati rumah
Tentu, uraian ringkas Imam Al-Ghazali di atas adalah bagian sangat sedikit dari renungan orang di dunia ini tentang cinta atau kasih-sayang. Di luar itu, sangat mudah bagi kita mendapatkan kajian (baik popular ataupun ilmiah) terkait dengan masalah cinta.
Sebagian Penjelasan
Al-Qur’an juga berbicara tentang cinta atau kasih-sayang. Perhatikan ayat ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih-sayang” (Maryam 96).
Terhadap ayat di atas, mari buka sejumlah referensi. Pertama, tentang sebab turunnya ayat tersebut. Dalam suatu riwayat, dikemukakan bahwa ketika Abdurrahman bin Auf hijrah dari Mekkah ke Madinah, dia merasa kesepian.
Hal itu karena dia meninggalkan sahabat-sahabatnya di Mekkah yang antara lain bernama Syaibah, Utbah anak Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf. Ketiganya adalah kafir Quraisy. Sementara, Abdurrahman bin Auf seorang Mukmin.
Atas kejadian itu, maka turunlah ayat itu yaitu al-Qur’an Surat ke-19 yang bernama Surat Maryam 96. Ayat tersebut menegaskan bahwa kaum beriman yang beramal-shalih akan mendapatkan sahabat yang saling mencintai. Riwayat di atas, dari Ibnu Jarir dan bersumber dari Abdurrahman bin Auf (Shaleh, 1995: 319).
Kedua, di Ensiklopedia Al-Qur’an karya Prof Wahbah Zuhaili (dan kawan-kawan), ada ditulis penjelasan atas ayat itu. Bahwa, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan beramal-shalih dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka Allah yang Maha Pemurah akan menjadikan orang lain mengasihi mereka dan mereka akan mendapatkan ridha-Nya” (2007: 313).
Ketiga, mari buka Tafsir Al-Furqan karya A.Hassan. Guru Utama Persis itu, menulis tafsir atas ayat itu sebagai berikut. Bahwa, “Allah akan jadikan mereka orang-orang yang disayangi dan disukai oleh-Nya dan oleh makhluk-Nya, juga Allah akan adakan pada mereka sifat kasih dan cinta kepada Allah dan makhluk.” (1985: 592).
Buah Kuat
Hamka mengurai tema ini dengan amat menarik. Di Tafsir Al-Azhar, ada subjudul “Iman Menimbulkan Cinta” (2003: 4377). Kajian Hamka itu untuk menguraikan atau menjelaskan tiga ayat yaitu Maryam 96, 97, dan 98.
Di tulisan ini, hanya berkonsentrasi pada penjelasan Hamka atas ayat 96. Hamka mengajak mencermati pangkal ayat 96: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih”. Bahwa, iman dan amal shalih harus selalu ada pada saat yang sama. Jika seseorang mengaku beriman, dia harus taat mengerjakan amal-shalih. Jika seseorang melakukan amal-shalih, maka dia harus mengerjakannya karena dorongan iman.
“Pertemuan di antara iman dan amal-shalih itu menyebabkan pribadi Mukmin bersih luar-dalam,” kata Hamka. Apa yang ada di dalam batinnya itulah yang terbukti pada sepak terjang kehidupannya, lanjut Hamka.
Iman itu menimbulkan spirit bahkan cahaya dalam batin seorang Mukmin yang beramal-shalih. Cahaya batin itu melimpah keluar dan terpancar di wajah, di mata, di rambut, dan di sekujur badannya: Itulah cahaya yang menimbulkan cinta (Hamka, 2003: 4378).
Untuk menguatkan paparannya, bahwa cahaya batin itulah yang menimbulkan cinta, Hamka bersandar kepada hadits berikut ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Sa’ad bin Abu Waqash dan Abu Hurairah. Bahwasanya, Nabi Saw bersabda: “Apabila Allah telah mencintai seseorang hamba, dipanggilnyalah Jibril: ‘Sesungguhnya Aku telah mencintai Si Fulan maka cintai pulalah dia’. Berkata Nabi Saw, maka menyerulah Jibril itu di langit. Kemudian turunlah kepadanya cinta itu pada penduduk bumi. Itulah maksud firman Allah ‘akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih-sayang’.
Kemudian, apabila telah benci Allah kepada seseorang hamba, dipanggil-Nya pula Jibril: ‘Aku telah benci kepada Si Fulan’, maka diserukannya pulalah di langit, kemudian turunlah kepadanya kebencian itu ke atas bumi”.
Ada pula Hadits, kata Hamka, yang dirawikan Abu Bakar bin Sabiq Al-Amawi dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan kepada orang yang Mukmin itu rasa dekat dan muka jernih serta rasa cinta dalam hati orang-orang yang shalih dan malaikat-malaikat”.
Hamka lalu melengkapi dengan dua ungkapan indah berikut ini. Pertama, Ibnu Abbas menceritakan tentang kecintaan orang kepada orang yang beriman dan beramal shalih itu, dengan mengatakan: “Dijadikan Allah dalam hati hamba-hamba Allah rasa sayang kepadanya. Tidak bertemu dengan dia seorang yang ada iman pula, melainkan terus merasa hormat. Bahkan orang-orang musyrik dan munafik pun terpaksa membesarkannya.”
Kedua, Haram bin Hayyan, berkata: “Apabila seseorang telah menghadapkan hatinya kepada Allah, Allah pun akan menghadapkan hati orang-orang yang beriman pula kepadanya, sehingga dia mendapat rezeki dengan cinta mereka dan kasih-sayang mereka (2003: 4379).
Bersiap Buktihan!
Demikianlah! Anda ingin dicintai oleh sesama kaum beriman? Anda juga ingin mendapat kasih-sayang dari segenap penduduk bumi tanpa kecuali?
Apa ketentuan Allah untuk mendapatkan keinginan mulia di atas? Syaratnya, beriman dan beramal shalih-lah! Sungguh, penuhilah “syarat sederhana” itu. Selanjutnya, rasakanlah buktinya! (*)