PWMU.CO – Lulusan SPEAM (Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah) Kota Pasuruan mengikuti Haflah Akhirussanah di Aula Rumah Makan Kebon Pring, Ahad (12/5/2024).
Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Pradana Boy ZTF hadir sebagai pembicara.
Dalam pemaparannya Pradana Boy mengutip surat ar-Rum ayat 20.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ اِذَآ اَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُوْنَ
Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah menciptakan manusia dari tanah kemudian mereka bertebaran di atas muka bumi.
“Saat ini kita hidup dalam era yang disebut dengan global village. Dan itu bukan barang baru, karena 20 tahun yang lalu hal tersebut sudah dipopulerkan. Pada hari ini semuanya bisa diakses dengan teknologi informasi yang pada 20 tahun lalu masih merupakan bayangan. Tapi hari ini kita bisa dengan nyata melihat hal tersebut,” ujarnya.
Pada surat ar-Rum ayat 20 ini, sambung Pradana, Allah memerintahkan manusia untuk bertebaran atau berdiaspora di atas muka bumi.
“Basyarun tantasyirun dalam bahasa kerennya adalah manusia yang berdiaspora,” jelasnya.
Untuk itu, lanjutnya, tantangan bagi orang tua masa kini harus siap melepaskan anaknya untuk berdiaspora.
“Supaya anak kita bisa berdiaspora maka perlu bekal yang cukup,” tegasnya.
Bekal pertama adalah bahasa. Bahasa internasional seperti Arab dan Inggris itu pasti dan tidak bisa ditawar.
Kedua adalah kesadaran untuk hidup bersama-sama dengan budaya yang berbeda-beda.
Karena harus hidup bersama dengan orang yang memiliki budaya yang beragam, Pradana mendorong para santri dan lulusan SPEAM untuk memiliki kompetensi berdiplomasi.
“Masa depan anak-anak ini ke depannya adalah berdiaspora. Karena berdiaspora maka harus punya kemampuan multikultur,” ujarnya.
Dalam bahasanya Kiai Ahmad Dahlan, kata Pradana, multikultur adalah ojo gampang gumunan.
Ketiga, mental. Generasi saat ini menurut banyak orang adalah generasi yang gampang putus asa, atau disebut dengan strawberry generation.
“Kelihatannya meyakinkan tapi kenyataannya tidak punya mental yang cukup kuat,” ucapnya.
Generasi stroberi, ujar Pradana, hanya fokus pada hasil tapi tidak mengetahui prosesnya. Cenderung instan. Padahal keberhasilan para tokoh-tokoh terdahulu tidak dicapai dalam satu atau dua malam, tapi bertahun-tahun.
Oleh sebab itu, Pradana berujar, diaspora harus diiringi dengan kemampuan yang tidak hanya standar. Tapi dibekali dengan kemampuan yang di atas standar.
Gairah Keberagamaan di Dunia Barat
Pradana juga mengomentari rencana pembelian gereja di Spanyol oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur senilai 50 miliar.
Ia tidak meragukan kemampuan Muhammadiyah membeli gereja tersebut. Yang justru ia pertanyakan adalah setelah gereja tersebut dibeli akan diisi dengan apa.
Lantas ia bercerita tentang kisahnya terlibat dalam penelitian agama dan politik di Eropa yang pusatnya di Brussel, Belgia.
Pernah suatu ketika dia ditanya oleh koleganya sesama peneliti dari Bulgaria. Baginya pertanyaan tersebut terasa aneh karena ia menanyakan apakah dirinya mempraktikkan ajaran agamanya.
Dosen UMM itu pun menjawab dirinya mempraktikkan Islam.
Ketika Pradana bertanya balik kepadanya dengan pertanyaan yang serupa temannya menjawab pada kartu identitas dirinya tercatat penganut Kristen tapi ia tidak tahu di mana gerejanya.
Fenomena tersebut menurut Pradana adalah akibat sekularisasi di Eropa. ”Orang Eropa mulai meninggalkan gereja. Hal yang sama juga terjadi di benua Australia. Banyak gereja dijual. Tetapi gejala tersebut (orang meninggalkan geraja) tidak terjadi di Amerika. Gairah keberagamaan di sana meningkat,” katanya.
Oleh sebab itu dulu Donald Trump terpilih menjadi presiden karena disupport oleh sentiment agama.
Pertanyaan kedua yang dikemukakan oleh koleganya adalah apakah al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menyebutkan tentang kekerasan.
Pradana menjawab: “Iya.”
”Jadi benar Islam mengajarkan kekerasan?” tanyanya lagi.
”Tidak. Islam tidak mengajarkan kekerasan,” tegas Pradana.
Kolega Pradana kebingungan karena jawaban Pradana dianggap tidak konsisten. Pradana menjelaskan al-Quran menyebut kekerasan bukan berarti mengajarkan kekerasan.
Ia lalu memberikan contoh bahwa dalam al-Quran terdapat kisah peperangan antara Musa dan Firaun, tapi hal tersebut bukan berarti al-Quran mengajarkan kekerasan.
Dari pengalaman di atas, Pradana bermaksud supaya pembelian gereja di Spanyol bukan sekadar difungsikan sebagai masjid atau tempat beribadah. Tapi harus bisa menjadi Islamic Center.
”Kalau menjadi Islamic Center maka harus siap membina jamaah dari berbagai negara,” ujarnya.
Ia mencontohkan tahun 2017 bertemu dengan Shamsi Ali, penceramah diaspora Indonesia di Jamaica Islamic Center yang berlokasi di sudut kota New York.
Di sana ia melihat Shamsi Ali melayani jamaah yang berasal dari berbagai negara di dunia. Seperti dari India, Pakistan dan Bangladesh.
Penulis Dadang Prabowo Editor Sugeng Purwanto