Cinta Ulama kepada Ilmu dan Buku, Ekspresif! Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit 2024) dan sebelas judul lainnya
PWMU.CO – Buku, teramat penting keberadaannya. Buku, salah satu media penyampai ilmu paling menonjol. Bahwa buku itu stategis, sampai ada hari khusus dalam “memperingati”-nya.Di Indonesia, ada Hari Buku Nasional yang dirayakan tiap tanggal 17 Mei. Penetepatan Hari Buku Nasional bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya membaca buku.
Abdul Malik Fadjar patut dikenang dalam hal ini karena selaku Menteri Pendidikan pada peride 2001-2004, dia-lah pencetusnya. Bahwa, pada tahun 2002, mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu menetapkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan saat berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yaitu pada 17 Mei 1980 (https://tirto.id/).
Sementara, masyarakat internasional menjadikan 23 April sebagai Hari Buku Sedunia. Tanggal itu diperingati untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca.
Apa dasar pemilihan tanggal itu? Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) memilihnya untuk menghormati sejumlah penulis terkenal yang wafat pada 23 April. Mereka, seperti William Shakespeare (penulis dan sastrawan), William Wordsworth (penyair), David Halberstam (jurnalis, penulis, sejarawan), dan Inca Garcilaso de la Vega (penulis sejarah dan penulis berita).
Untuk menghormati para penulis legendaris tersebut, pada 1995 UNESCO-Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa-menyepakati perayaan Hari Buku Sedunia tiap 23 April. Selanjutnya, Pada 23 April 1997, Hari Buku Sedunia kali pertama dirayakan di Irlandia serta Inggris untuk menggerakkan kaum muda agar mau membaca buku (https://m.kumparan.com/amp/).
Berabad-abad Lalu
Lihatlah, tujuan diadakannya Hari Buku Sedunia dan Hari Buku Nasional. Keduanya, sama, yaitu agar masyarakat mau membaca (buku).
Mari, cermatilah! Dunia menyadari nilai penting membaca pada 1995 dan Indonesia pada 2002. Sementara, umat Islam telah dibangunkan kesadarannya tentang keutamaan membaca lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu.
Membacalah! Bahkan, ini adalah perintah Allah yang pertama. Seksamailah ayat ini: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (QS Al-‘Alaq [96]: 1).
Perintah itu, menunjukkan keutamaan aktivitas membaca bagi manusia. Di sini, setidaknya ada dua aspek terkait. Pertama, dengan membaca maka ilmu kita akan bertambah. Kedua, saat akan membaca kita perlu media yang bisa kita baca.
Menjawab kebutuhan yang disebut terakhir di atas, kita memerlukan bahan bacaan. Ternyata, itu ada dua yaitu tertulis dan tak tertulis. Termasuk yang tertulis adalah buku. Adapun yang tak tertulis, seperti semua pengalaman kita (sendiri atau orang lain), kejadian alam, dan lain-lain.
Doa Menggugah
Perhatikan ayat ini: “Dan, katakanlah: ‘Yaa Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (Thaha 114).
Doa Nabi Saw ini, kata Hamka, penting sekali artinya. Bahwa, di samping wahyu yang dibawa oleh Jibril, Nabi Saw diminta selalu berdoa kepada Allah agar untuknya selalu diberi tambahan ilmu (2003: 4497). Ilmu-ilmu itu, lanjut Hamka, bisa berasal dari pengalaman karena pergaulan dengan manusia. Bisa pula, misalnya, berasal dari pengalaman di pemerintahan, dan lain-lain.
Memohon tambahan ilmu, seperti yang dilakukan Nabi Saw, seyogyanya dituruti oleh segenap umat Islam yang beriman. Sungguh, ilmu Allah amat luas. Saat kita mengetahui suatu cabang ilmu, itu akan menambah keyakinan kita akan kebesaran Allah.
Ilmu adalah pembawa manusia ke pintu iman. Keteraturan alam ini menjadi bukti atas kemahakuasaan Allah. Juga, bukti betapa tak terbatas luas ilmu-Nya. Dengan bertambahnya ilmu kita, bertambah pula keyakinan bahwa yang dapat kita ketahui hanya sejumput kecil saja.
Lihatlah, ahli pengetahuan yang bijak akan memegang keyakinan bahwa bahwa ilmu yang dipunyainya sudah sampai pada tingkat tertinggi atau terakhir. Hal ini, karena aka nada yang lebih tinggi dan baru.
Dengan demikian, Hamka menekankan (2003: 4498). sangat tepat doa yang diajarkan Allah kepada Nabi Saw di QS Thaahaa [20]: 114 ini: “Yaa Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.
Ilmu dan Buku
Terkait tema tulisan ini, ada buku bagus, judulnya adalah “Gila Baca ala Ulama”. Penulisnya, Ali bin Muhammad Al-‘Imran. Siapa dia?
Nama lengkapnya, Ali bin Muhammad bin Hussein Al-’Imran. Pendidikan S1 dan S2, dia selesaikan di Universitas Madinah. Adapun S- nya di Universitas Omdurman – Sudan.
Dia banyak belajar kepada banyak ulama. Sekadar menyebut Sebagian guru-gurunya adalah Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid.
Sebagai ulama, dia ulama yang produktif dalam menyusun karya tulis. Banyak karya bukunya, antara lain Al-Jaami’ li Sirah Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Jaami’ li Sirah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Khilal Sab’ati Quruun, dan Munjidu al-Muqri’in wa Mursyidu ath-Thaalibin li Ibnul Jauzi (https://yufidstore.com).
Mari buka buku “Gila Baca ala Ulama” (2016). Ibnu Qayyim berkata, Thaha 114 adalah bukti kemuliaan ilmu. Bahwa, Allah memerintahkan Nabi-Nya agar meminta tambahan ilmu pengetahuan.
Penulis buku ini, Ali bin Muhammad Al-‘Imran, mengutip sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak pernah memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta tambahan dalam suatu perkara kecuali dalam perkara ilmu (h 24- 25).
Sahabat-Sahabat Hebat
Di keseharian, para Sahabat selalu memperhatikan semangat dan antusiasme Nabi Saw terhadap ilmu. Mereka pun mengikuti jejaknya sehingga menjadi contoh hebat dalam menekuni ilmu dan berkorban untuknya. Mari, ikuti setidaknya tiga kisah Sahabat Nabi Saw ini.
Lihatlah Abdullah bin Mas’ud Ra. Apabila dia membaca firman Allah ini yaitu“Yaa Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”, maka Ibnu Mas’ud akan berdoa: “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu, keimanan, dan keyakinan”.
Ibnu Mas’ud juga sangat tekun dalam mencari ilmu. Mengenai hal ini, dia berkata: “Demi Allah yang tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang diturunkan, melainkan aku mengetahui di mana diturunkan. Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang diturunkan kecuali aku mengetahui kepada siapa diturunkan. Seandainya aku tahu ada orang yang lebih mengerti al-Qur’an selain diriku sedangkan untaku mampu menjangkaunya, niscaya akan kukendarai ke sana” (h 28).
Cermatilah Abu Hurairah Ra. Dia orang yang paling banyak hafalannya dari kalangan Sahabat. Nabi Muhammad SAW menyifatinya sebagai orang yang antusias pada ilmu.
Al-Bukhari mencatat dalam kitab shahihnya, tentang antusiasme Abu Hurairah terhadap Hadits. Bahwa, ada fragmen Abu Hurairah bertanya kepada Nabi Saw tentang manusia yang paling bahagia dengan syafaatnya.
Nabi Muhammad Saw pun bersabda kepadanya: “Wahai Abu Hurairah, saya yakin tidak akan ada orang yang lebih dahulu menanyakan hadits ini selain kamu, sebab saya mengetahui kesungguhanmu dalam menerima hadits” (h 28-29).
Perhatikan Jabir bin Abdullah Al-Anshari Ra. Dia menempuh perjalanan dari Madinah ke Mesir selama sebulan dengan mengendarai unta untuk mendengarkan satu Hadits. Dia khawatir meninggal sebelum mendengar hadits tersebut (h 28-29).
Sang Penerus
Ulama-ulama setelah generasi Sahabat, meneruskan semangat mencari ilmu yang tinggi. Lihatlah, performa dari murid-murid Abdullah Ibnu Mas’ud Ra di Kufah. Di antaranya adalah Alqamah dan Al Aswad. Apabila mendengar hadits dan ilmu dari guru mereka, maka hal itu belum dapat mengobati rasa ingin tahu di dalam dada mereka. Mereka lalu menempuh perjalanan ke Madinah untuk mencari tambahan ilmu lain. Mereka sangat tekun dalam mencari ilmu mereka sangat tekun dalam mencari ilmu dan belajar langsung kepada para ulama,
Yahya bin Sa’d Al-Qaththan berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih banyak hafalannya selain Sufyan Ats-Tsauri (w.161 H). Apabila saya bertanya kepadanya mengenai masalah atau hadits yang tidak dia ketahui, dia lalu merasa terbebani (h 30-31).
Perhatikanlah gambaran menakjubkan yang menunjukkan keluasan ilmu Ibnu Taimiyah. Bahwa, “Ibnu Taimiyah itu seperti kubah batu besar yang penuh buku dan memiliki lidah untuk berbicara”.
Setelah kita kagum dengan penampilan para Sahabat dan ulama-ulama setelahnya yang sangat gigih dalam mencari ilmu, sekarang kita dengar catatan penulis buku yaitu Ali bin Muhammad Al-‘Imran. “Tidak diragukan bahwa berbagai macam ilmu tadi tidak dapat diperoleh dengan bersantai-santai saja. Akan tetapi, beragam ilmu hanya dapat dihimpun dengan sedikit tidur, memaksimalkan usia, dan sering membaca buku,” kata dia (h 32-33).
Pesan sang Imam
Perlu usaha tak kenal lelah untuk meraih ilmu. Butuh pengorbanan besar bagi didapatnya ilmu. Untuk itu, baik kiranya kita dengar pendapat Imam Syafi’I berikut ini.
Bahwa, kata Imam As-Syafi’i, ilmu itu hanya akan didapat dengan enam hal: 1). Kecerdasan. 2). Ketamakan (terhadap ilmu). 3). Kesungguhan. 5). Harta. 6). Bimbingan guru dan dalam waktu yang Panjang (h 48).
Sampai Akhir
Adalah Ibnu Malik, pengarang Alfiah. Dia, yang pakar ilmu Nahwu dan wafat pada 672 H, sibuk mengajar dan belajar. Sedemikian rupa, sampai-sampai saat sudah dekat menjelang kematiannya, dia sempat menghafal lima syair (h.44).
Senada, Ibnul Jauzi (w. 597 H). Dia ulama yang menguasai banyak bidang ilmu dan memiliki banyak karya. Di akhir usianya, 80 tahun, dia belajar qiro’ah asyrah kepada Ibnu Baqilani bersama anaknya – Yusuf (h.66).
Demikianlah, sekadar sedikit contoh performa beberapa ulama yang sangat mencintai ilmu dan buku. Mereka sebegitu ekspresif dalam menunjukkan kesukaannya kepada ilmu dan buku.
Terakhir, sungguh mengesankan salah satu nasihat dari Ibnul Jauzi berikut ini. Sebuah nasihat yang ditujukan kepada orang alim dan segenap pencari ilmu. Bahwa, sebaiknya, kita punya tempat khusus di rumah masing-masing untuk menyendiri. Di sana kita bisa membaca lembaran-lembaran buku dan menikmati indahnya petualangan pikiran. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni