PWMU.CO – Perang Informasi di media sosial jadi topik menarik dalam Kuliah Tamu Internasional Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (15/05/2024).
Sejumlah 250 mahasiswa antusias mengikuti diskusi yang menghadirkan narasumber pakar media baru (new media) Aristotle University of Thessaloniki, Yunani, Mustafa Selcuk dan Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi UMM Nasrullah.
Mahasiswa berebut mengajukan pertanyaan usai kedua narasumber memaparkan materinya tentang information war di media sosial. Sebagian besar mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan media ketika terjadi perang informasi itu. Publik banyak dirugikan karena ikut terpecah dan masuk dalam konflik ketika perang opini terjadi di media.
Salah satu penanya, Sania, mengritik media banyak melakukan framing berita menggunakan cara-cara information disorder. Merespon pernyataan ini, Selcuk mengatakan subjektivitas media seringkali menjadi sumber informasi publik dan menjadikan sebagai referensi. Cara terbaik menurutnya adalah melakukan pengecekan ulang tentang kebenaran yang disampaikan media dengan cara bertanya langsung ke sumber terpercaya.
“Saya sering mendapatkan postingan di media sosial yang tidak benar. Saya berusaha menghubungi teman saya melalui video call, misalnya, untuk mengecek kebenaran informasi tersebut,” kata Selcuk yang pernah menjadi visiting lecturer di UMM tiga tahun lalu ini.
Senada Selcuk, Nasrullah menegaskan tidak ada media yang 100 persen objektif dan netral. Setiap media memiliki kepentingan yang sulit dilepaskan, baik dari sisi individu pekerja media, rutinitas, organisasi internal dan eksternal media, maupun pada tingkat ideologi.
“Media sulit tidak melakukan framing untuk mendukung opini kepentingannya. Hanya saja kita harus memastikan bahwa kepentingan publik yang lebih besarlah yang harus diutamakan,” tambahnya.
Penanya lainnya, Ghozi, menanyakan peran aktor non-militer dalam perang informasi. Ia juga mengkritisi penggunaan istilah benar dan salah melalui media oleh pihak-pihak yang berbeda. Baginya, bukankah masing-masing pihak berhak mengklaim kebenaran tanpa harus menganggap bahwa pihak lain salah. “Dengan demikian harusnya tidak ada perang informasi jika keduanya dapat dianggap benar,” ungkapnya.
Menurut Selcuk, aktor non militer memanfaatkan media sosial untuk mobilisasi. Mobilisasi di media sosial itu pada gilirannya akan berpengaruh pada mobilisasi sosial di dunia nyata.
“Seperti kasus protes di Colombia University Amerika Serikat. Pada posisi seperti ini, tidak hanya pihak kampus, pemerintah pun tidak mampu lagi mencegahnya,” tambah Selcuk.
Meski demikian, lanjut Selcuk, hoaks tidak akan menguntungkan pihak manapun. Kalau klaim kebenaran itu menggunakan hoaks, maka akan merugikan semua pihak.
Nasrullah menambahkan perang media terjadi justru karena masing-masing merasa benar dan menggunakan cara-cara jahat untuk saling menjatuhkan. Cara-cara yang tidak tepat itu misalnya misinformasi, disinformasi dan malinformasi.
“Melalui cara defamasi, ujaran kebencian, hoaks, media sosial digunakan sebagai arena perang untuk menjatuhkan pihak lain sehingga di dunia nyata juga terjadi polarisasi kelompok,” ungkap Nasrullah.
Perang informasi di media, kata Selcuk, mirip dengan perang di dunia nyata. Perang siber bisa berupa serangan virus komputer, mengganggu radar, mengenkripsi transmisi radio, dan membom pusat relai komunikasi. “Semuanya dimaksudkan untuk melindungi atau menyerang informasi atau sistem informasi lawan”.
Meski demikian, perang informasi tidak terbatas pada dunia militer, walau dapat digunakan untuk mendukung strategi militer nasional. Aktor perang juga tidak harus militer dan ditujukan ke sasaran militer.
Perang informasi bukan hanya serangan siber, tetapi juga bergantung pada kampanye media sosial untuk menyebarkan minat dan narasi aktor melalui platform media sosial.
“Misalnya, dukungan publik sangat penting untuk keberhasilan kampanye yang berlarut-larut, dan pendukung serta pencela kampanye akan berjuang melalui koran dan di televisi untuk mempengaruhi dukungan itu,” tambah Selcuk seraya mencontohkan Pegasus sebagai spywar Israel yang dirancang untuk dipasang secara diam-diam dan jarak jauh pada ponsel yang menjalankan iOS dan Android.
Nasrullah mewanti-wanti agar mahasiswa ikut mewaspadai adanya perusahaan internet yang dapat menjadi troll farm atautroll factory. Cara kerja troll factory adalah dengan cara memelihara buzzer, influencer, dan menggunakan informasi hoaks untuk menyerang lawan atau mengadu domba kelompok-kelompok agar terpolarisasi semakin tajam.
“Menurut penelitian, dari 64 negara, 30 di antaranya menggunakan troll factory untuk melakukan perang informasi. Ini sungguh sangat berbahaya jika tidak diwaspadai,” kata Nasrullah.
Troll factory bisa merusak tatanan sosial karena dengan kekuatan konten dan jaringan melalui media sosial dapat mengaduk-aduk opini publik sehingga saling membenci dan mencaci.
Wakil Rektor UMM Bidang Riset, Pengabdian Masyarakat dan Kerjasama, Salis Yanuardi, PhD mengapresiasi Komunikasi UMM mengangkat tema ini. Selain aktual, persoalan information war juga sedang hot. “Kita berada dalam masyarakat simulacrum, yang sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak,” ungkapnya.
Kuliah Tamu Internasional Komunikasi UMM merupakan salah satu program untuk menambah pengetahuan dan pengalaman mahasiswa pada sentuhan global. Sebagai Prodi yang terakreditasi internasional oleh FIBAA di Jerman, Komunikasi UMM akan terus mengagendakan forum-forum internasional baik dalam bentuk kuliah tamu, seminar, hingga pertukaran mahasiswa.
“Bulan depan kami juga mendatangkan dosen tamu dari Polandia, sementara dosen kami juga ada yang akan berangkan ke Poland untuk mengikuti visiting lecturer,” kata sekretaris Prodi, Isnani Dzuhrina. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni