PWMU.CO – Kunjungi Ponpes Al-Ishlah, Taufiq Ismail membacakan puisi Palestina Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu, Kamis (16/5/2024).
Tokoh penyair Indonesia Taufiq Ismail datang di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur. Kehadirannya disambut hangat oleh Pengasuh Ponpes Al-Ishlah Drs KH Muhammad Dawam Saleh.
Dalam sesi ramah tamah istri Taufiq Ismail Esiati binti M Yatim mengawali perbincangan. “Kunjungan mendadak kami ini adalah keinginan Bapak yang ingin silaturrahim dan sekadar salaman dengan kiai dan buya Dawam. Ini mumpung ada kegiatan bersama istri mendiang Mar’i Muhammad, mantan Menteri Keuangan di era Pak Harto di Surabaya,” terangnya.
Setelah ramah tamah sejenak, kemudian tamu agung yang oleh Kiai Dawam dijuluki sebagai Raja Penyair Indonesia diajak hadir di hadapan kurang lebih 1900 santri yang saat itu sedang mengaji al-Quran usai salat ashar di masjid.
Meskipun harus didorong dengan kursi roda pria berusia 89 tahun itu nampak semangat dan antusias ketemu santri Al-Ishlah ini. Nampak dari wajahnya yang berseri-seri saat ditawari ke masjid untuk diperkenalkan ke santri.
Sesampainya di masjid, Kiai Dawam menyampaikan tamu yang hadir ini di depan santri Al-Ishlah adalah raja penyair Indonesia. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan ke bahasa asing,” ungkap kiai yang juga sudah banyak menulis puisi ini.
Nampak ribuan santri memenuhi masjid berkapasitas 2000 jamaah ini, suasana masjid saat itu begitu hening dan senyap, tak ada suara apa pun kecuali suara lantang pria kelahiran tahun 1935. Taufiq Ismail yang masih ber api-api dengan power yang tak sebanding bila dilihat dari umurnya.
Usaikan bacakan puisinya, Sajadah Panjang, dan Sabar dalam Doa, dia memberi pesan, perjuangan umat Islam masih panjang, lanjutkan perjuangan ini wahai anak muda. “Insyaallah pada akhirnya kita mendapat kemenangan,” katanya.
Usai memberikan pesan dia pun bacakan puisi.
Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid al-Quran 40 tahun yang silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi airmataku.
Palestina! Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit?!! serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka.
Tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi;
‘Allahu Akbar!’ dan ‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama, 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia:
“Doakan, doakan, doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya! yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’”
Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?
Tanahku jauh, tanah kami jauh bila diukur kilometer. Beribu-ribu kilometer jauh jaraknya, tapi adzan Masjidil Aqsa yang merdu serasa terdengar di telingaku, serasa terdengar di telinga kami, di Indonesia. (*)
Penulis Gondo Waloyo. Editor Ichwan Arif.