Masih Ada Harapan Mewujudkan Agenda Reformasi, Oleh Anang Dony Irawan: peminat sejarah, Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sambikerep Kota Surabaya, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
PWMU.CO – Gerakan Reformasi sudah 26 tahun berlalu. Tanggal 21 Mei 1998 sebagai tanda tumbangnya Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Inilah tonggak awal dimulainya Orde Reformasi.
Setidaknya ada enam tuntutan yang disampaikan saat itu menjadi agenda reformasi di Indoneisa: (1) penegakan supremasi hukum; (2) pemberantasan KKN; (3) pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; (4) amandemen konstitusi; (5) pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan (6) pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Presiden Soeharto menyerahkan jabatan Presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie, sebagaimana dilansir dari rri.co.id bahwa alasan utama mundurnya Soeharto adalah kerasnya tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi di segala bidang, terutama tuntutan pergantian kepemimpinan nasional.
Gerakan Reformasi sebagai respon atas kondisi kebangsaan saat itu yang menginginkan perubahan. Tentu perubahan yang mengarah pada perbaikan kondisi yang ada menuju peningkatan kehidupan kebangsaan yang lebih baik di segala lini kehidupan masyarakat, mulai dari kehidupan politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.
Kembali ke Orde Baru
Perkembangannya sekarang, agenda reformasi seakan kembali ke era Orde Baru. Alih-alih untuk mengkritik atau mengontrol kebijakan pemerintah, Negara malah mempersempit ruang sipil untuk menyampaikan pendapat, bahkan bisa dikatakan mengabaikan agenda-agenda reformasi. Intimidasi kepada pengkritik pemerintah tak ayal pun dilakukan melalui aparat-aparat negara.
Agenda reformasi yang mengalami stagnasi akhirnya membuat masyarakat akan semakin sulit berperan dalam memerangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kental terasa di masa Orde Baru. Belum lagi hal ihwal terhadap tingkat kemiskinan yang semakin hari semakin meningkat dan adanya praktik komersialisasi pendidikan yang merajalela saat ini.
Kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi/uang kuliah tunggal (UKT) yang semakin menambah deretan kebijakan negara yang tidak memihak kepada rakyat. Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 31 Ayat (1) telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal.
Untuk mencapai tujuan tersebut, negara wajib menyediakan layanan pendidikan bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama dan gender. Bahwa sudah menjadi kewajiban Negara melindungi seluruh Rakyat Indonesia, termasuk kemiskinan ekstrem, dengan memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana yang sudah diatur dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 belum dapat terwujud. Hal ini jelas menandakan bahwa kondisi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Namun masih adakah asa untuk mewujudkan agenda reformasi 26 tahun lalu? Mengutip pernyataan Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI, dari Hukumonline.com Pembukaan Undang-undang Dasar dan Pancasila sudah mengamanahkan agar Negara melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, laksanakan keadilan sosial dan pelihara fakir miskin.
Dalam pelaksanaannya, kewajiban ini harus disikapi dengan serius, bersifat komprehensif, terintegrasi antar program, dan terkoordinasi antarkementerian-lembaga, sebagai kunci menjalankan amanah UUD tersebut agar efektif berkontribusi mengentaskan kemiskinan termasuk yang ekstrem. Sayangnya hal mendasar itu belum berhasil dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah.
Masih Ada Asa
Tentunya masih ada asa untuk mewujudkan agenda reformasi walau penegakan supremasi hukum belum sepenuhnya bisa karena masih banyaknya tumpeng tindih peraturan yang diterbitkan, bahkan dibentuknya aturan tersebut kadangkala ”pesanan” untuk memuluskan kepentingan golongan tertentu. Apalagi tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di Indonesia dirasa sangat minim.
Pemberantasan KKN sangat lemah, malah mengarah kepada Kembali ke era Orde Baru yang jauh dari semangat reformasi. Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya belum bisa diwujudkan hingga beliau meninggal dunia. Amandemen terhadap konstitusi sudah dilakukan sebanyak 4 kali di tahun 1999-2002 yang kemudian saat ini muncul keinginan untuk dilanjutkannya amandemen ke 5 terhadap UUD 1945.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang akrab dipanggil Bamsoet, berkeinginan untuk bertemu Amien Rais. “Barangkali kita akan bertanya kepada Pak Amien, apakah Pak Amien ketika mengubah Undang-undang Dasar ini, apakah inikah yang beliau impikan, suasana inikah yang beliau bayangkan, Indonesia akan makmur, sentosa dengan perubahan amendemen ke-4 nya,” kata Bamsoet superit dikutip Kompas.com.
Terhadap pencabutan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri) telah diterbitkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam pemberian otonomi daerah seluas-luasnya pun menjadi agenda reformasi. Prinsip dan sistem pembagian urusan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam rangka penerapan asas desentralisasi di Indonesia, tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa.” (M. Agus Santoso, 2009).
Maka, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 18 Ayat (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Di mana garis besar, sistem pemerintahan Negara Indonesia, khususnya pemerintahan eksekutif yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa, menggunakan sistem pembagian kekuasaan sesuai dengan kewenangan yang sudah dibagi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni