PWMU.CO – Dosen Burapha University Thailand kenalkan model petanian Khok Nong Na saat mengisi Eastbound Batch 5 and Visiting Lecturer.
Fakultas Bisnis Hukum dan Ilmu Sosial (FBHIS) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) sebagai penyelenggara acara ini yang diikuti oleh dosen dan mahasiswa dari empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, dan India, di Aula Mas Mansur Kampus 1 Umsida, Senin (20/5/24). Mereka berasala dari Burapha University (BUU) Thailand, Universiti Tunku Abdul Rahman (UTAR) Malaysia, dan Ajeenkya DY Patil University (ADYPU) India.
Kuliah tamu menghadirkan dosen Burapha University Thailand Asst Prof Dr Noopawan Phuengpa. Dia memperkenalkan model yang dapat menyelamatkan sektor pertanian dari dinamisnya cuaca yang membuat hasil panen tidak menentu. Modelnya disebut Khok Nong Na, berupa gundukan, kolam, dan sawah.
“Model Khok Nong Na memperluas teori baru untuk memaksimalkan penggunaan lahan dan retensi air, baik di permukaan maupun di bawah tanah, untuk produksi pertanian. Konsep ini pada dasarnya memerlukan pembangunan bendungan kecil di sebidang tanah yang berfungsi sebagai reservoir untuk mencegah banjir pada musim hujan. Selain itu juga menampung dan berfungsi sebagai sumber air pada musim kemarau,” terangnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan dengan detail model Khok Nong Na yang sedang diimplementasikan di Thailand. Khok atau yang disebut gundukan kecil dibangun dari tanah yang diperoleh melalui penggalian rawa atau substrat lain yang terkandung nutrisi di dalamnya, cocok untuk menanam tanaman buah-buahan dan pohon.
“Nong atau yang disebut kolam, membentang di sepanjang lahan dengan kedalaman yang cukup untuk menyimpan air untuk keperluan pertanian sepanjang tahun sambil memberikan kelembapan melalui luas lahan,” jelasnya.
Sedangkan Na atau yang disebut sawah merupakan budidaya padi organik dengan tujuan mengembalikan unsur hara penting ke dalam tanah. Sehingga diharapkan hasil panen bebas pestisida dan aman untuk dikonsumsi manusia.
Dia menjelaskan sasaran model ini, “Ditujukan untuk menjamin keamanan pangan dan keuangan dari unit terkecil dalam Masyarakat. Sayangnya model ini masih mengalami kesulitan untuk diterapkan karena biaya dan juga SDM pemerintah yang masih belum cukup,” jelasnya.
Munculnya Model Pertanian Khok Nong Na
Noopawan menjelaskan tentang manajemen bencana yang telah dijalankan oleh Pemerintah Thailand. Dia memberikan gambaran kepada peserta tentang kondisi alam yang ada di Thailand.
“Thailand beberapa kali mengalami banjir, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, tsunami, gelombang panas, kebakaran hutan, dan epidemi,” jelasnya di hadapan dosen dan mahasiswa FBHIS Umsida.
Di Thailand juga pernah terjadi kecelakaan kimia. Namun menurutnya banjir adalah bencana alam yang paling besar pernah terjadi di Thailand dan membuat perubahan yang signifikan bagi kehidupan masyarakat bahkan mempengaruhi perekonomian negara.
Dia memaparkan di negara gajah putih tersebut ada dua musim muson, yaitu muson barat daya yang menghasilkan kelembapan hangat dari Samudera Hindia dan hujan deras di bulan Mei. Sedangkan muson timur laut yang membawa kondisi dingin dan kering serta curah hujan yang deras dimulai sekitar bulan Oktober.
“Siklon tropis diperkirakan akan terjadi mulai bulan Mei dan seterusnya. Berbagai wilayah di negara ini dapat mengalami badai lokal atau badai musim panas selama bulan Februari hingga Maret. Badai lokal dapat terjadi di wilayah selatan dari bulan Maret hingga November dan di wilayah utara antara bulan April dan Oktober,” terangnnya.
Dengan perubahan musim tersebut beberapa wilayah di Thailand sangat rawan mengalami banjir. Selain itu mereka juga sering mengalami kekeringan yang cukup parah di beberapa waktu tertentu. Hal ini menyebabkan dampak yang buruk untuk sektor pertanian.
“Dampak dari banjir lebih banyak dari pada kekeringan, kami akan mengalami kerugian pada perdagangan, rumah, pabrik, mesin, kendaraan, jaringan komunikasi, dan hewan ternak. Sedangkan untuk pertanian tergantung seberapa cepat banjir meluas. Semakin cepat maka tanaman padi, tebu dan singkong akan mengalami kerusakan. Sehingga mendongkrak harga pangan melonjak naik,” jelasnya.
Sebaliknya dampak kekeringan tergantung pada jenis tanaman petani, “Jika tanaman agroforestri akan lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan tanaman ladang, meski hasilnya akan tetap menurun,” ungkapnya.
Menanggapi hal ini, Pemerintah Thailand membangun kembali sistem manajemen bencana. Tahun 1979 pemerintah membuat undang-undang pencegahan ancaman sebagai undang-undang komprehensif pertama di Negara Thailand.
“Hingga tahun 2002 Pemerintah Kerajaan Thailand mendirikan Departemen Pencegahan dan Mitigasi Bencana di bawah Kementerian Dalam Negeri sebagai lembaga utama untuk manajemen risiko bencana dan tanggap bencana,” ujarnya.
Masyarakat Thailand juga mendukung melalui badan amal, institusi akademis, bisnis dan perusahaan swasta. Sehingga manajemen bencana di negara tersebut bisa semakin berkembang, hingga akhirnya ditemukan model Khok Nong Na untuk mengatasi dinamisnya cuaca. (*)
Penulis Rani Syahda Hanifa Editor Muhammad Nurfatoni/MS