PWMU.CO – Cropping tajam hangatkan diskusi bertema PMWU.CO Naik Kelas bersama Redaktur Senior Jawa Pos Rohman Budijanto secara daring melalui Zoom. Anggota Dewan Pengarah PWMU.CO yang akrab disapa Roy itu menegaskan, foto berita harus eye catching.
“Kebanyakan foto yang di PWMU.CO itu perlu di-crop lebih kejam,” ungkapnya di hadapan 72 editor dan kontributor dari berbagai daerah di Jawa Timur, Sabtu (25/5/2024) malam.
Ia menyadari para editor PWMU.CO kadang-kadang kasihan kepada kontributor jika memangkas fotonya terlalu ‘kejam’. “Padahal standar jurnalisme yang lebih layak itu kadang-kadang perlu crop agak kejam,” ujarnya.
Ia lantas mengambil salah satu contoh foto berita di PWMU.CO yang tayang hari itu. “Ibu-ibu foto bagus sekali. Ibu-ibu Aisyiyah pegang empat bendera,” ungkapnya mengomentari foto karya Estu Rahayu.
Yang ia maksud, ibu-ibu Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Gresik berjajar sambil membawa empat bendera: Save the World, Palestina, Indonesia, dan Aisyiyah. Selengkapnya di: Satukan Empat Bendera Aisyiyah Dukung Perjuangan Palestina.
“Foto itu bagus. Sayang sekali crop-nya kurang kejam karena bagian atas itu ada plafon kelihatan sangat luas sekali. Itu sebenarnya kalau dibuang malah lebih bagus. Yang di depannya itu ada karpet yang agak luas yang perlu dipotong juga,” terangnya.
Menurut Roi, para editor dan kontributor PWMU.CO perlu ikut pelatihan khusus terkait foto. Seperti bagaimana cara memangkas foto dan cara mengambil angle. “Karena foto itu bagian dari setengah berita bahkan tiga per empat berita di foto itu!” terangnya.
Roy lalu menilai, sangat banyak berita PWMU.CO yang setting (lokasinya) podium. Akhirnya ia mengungkap, mestinya tidak selalu orang-orang yang ditokohkan di situ yang menjadi center spot (pusat perhatian).
“Pada saat di panggung, pada saat dia baru datang disambut itu juga bisa menarik! Pada saat beliau duduk di deretan atau sedang berbincang dengan dengan peserta lain, pada saat jeda itu juga layak muat. Jadi tidak selalu setting-nya harus di panggung!” terangnya.
Kalaupun perlu memuat foto yang di panggung itu, sambung Roy, bisa menjadi foto kedua. “Tetapi untuk teaser, untuk dibagikan itu, carikan foto yang paling menarik. Intinya itu ada point of view-nya di situ dan bernilai berita,” imbuhnya.
Terkait cropping agak kejam, Roy memberikan tips, memperhatikan sekitar fokus utamanya. “Kalau dipotong mengurangi nilai atau malah menambah?” demikian pertimbangannya.
Roy meyakini, kontributor PWMU.CO sudah sangat mumpuni dalam mengetahui perlunya foto pelengkap. Namun menurutnya yang perlu lebih dinaikkelaskan adalah bagaimana foto itu ada signature-nya. Jadi kontributor tidak perlu cerita lagi ketika memotret suatu bangunan karena foto itu telah bercerita.
“Misalnya, kita foto yang ada plangnya. Orang langsung tahu di mana. Atau misalnya ada skala manusianya ketika kita (memotret) suatu alat atau suatu benda yang jadi objek utama itu agar tahu benda ini sebesar apa. Misalnya ada orang lewat di depannya itu namanya skala manusia sehingga orang bisa langsung, oh itu benda itu sebesar itu,” terangnya.
Roy akhirnya menekankan, foto itu sangat penting. “Itu termasuk nyawanya berita!” katanya.
Praktik Cropping
Tak sekadar penjelasan satu arah, ada pula sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama datang dari Coeditor PWMU.CO Sayyidah Nuriyah SPsi. Sambil menunjukkan hasil uji cobanya memangkas foto aktivis Aisyiyah Gresik membawa empat bendera, Sayyidah bertanya, “Kalau atas-bawahnya di-crop nanti lebarnya itu kecil banget. Mungkin bisa tolong diperjelas ya Pak yang dimaksud cropping tajam itu sampai seberapa tajam.”
Kata Roy, cropping foto ini terkait teknis. Jadi butuh latihan. Melihat hasil pemangkasan Sayyidah, Roy menilai kurang kejam. “Kalau foto sifatnya landscape semacam ini memang risikonya itu tidak sesuai dengan space yang sudah kita siapkan sebelumnya,” uajrnya.
Ia menyadari dirinya lebih mudah memangkas tanpa mempertimbangkan proporsi foto karena untuk dimuat di koran. “Jadi koran itu menyesuaikan dengan fotonya, lanskap panjang,” terangnya.
Adapun area yang perlu dipangkas pada foto tersebut adalah area atas yang menunjukkan layar proyektor karena tidak ada pengaruhnya. “Ini kan malah kurang, bikin point of view foto ini menjadi terganggu. Kalau saya, ini hilang langsung. Ini yang saya sebut yang kejam. Karena di sini sudah ada signature-nya, namanya Gebyar Milad Aisyiyah,” ujarnya lalu menegaskan itu hal penting.
Ia pun mengapresiasi, tulisan di-backdrop itu sudah tepat di atas kepala orang yang berdiri atau duduk di depannya. “Kadang-kadang kan lambangnya Muhammadiyah itu ditaruh atas sendiri dengan maksudnya dihormati. Padahal itu tidak terfoto. Kadang-kadang itu terlalu tinggi atau terlalu rendah sehingga gak kelihatan. Nah, ini bagian dari pelajaran visual pembuatan backdrop,” ujarnya.
Ia lanjut menuturkan, jika di atas panggung itu ada kursi-kursi, tulisan nama kegiatan sebaiknya tepat di atas kepala orangnya agar ikut terfoto. Ia pun mengajak kontributor dan editor PWMU.CO membayangkan, misal logo dan tulisan itu terletak di pojok-pojok atas, maka akhirnya kena crop.
Untuk bagian bawah, area yang perlu dipangkas adalah sekitar 1 centimeter di bawah jariknya ibu-ibu Aisyiyah. “Kalau laki-laki (pakai celana semua), ini saya potong semua. Ini tidak perlu pakai jarik. Kalau jariknya ibu-ibu ini masih bisa dilihat, masih ada estetikanya,” jelas dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
“Coba di-crop sehingga yang depan ini kan kira-kira 10 persen atau 15 persen yang paling bawah ini kan tidak berguna. Tumbuhan ini tidak menambah informasi apa-apa. Apalagi ini samping kiri-kanannya ini. Lah kalau di sini misalnya ada anak yang sedang merangkak itu mungkin ada informasi baru yang menarik, human interest-kan. Tapi kalau kayak begini, dipotong juga tidak mengurangi. Ini malah point of view-nya lebih kuat. Jadi ibu-ibu ini wajahnya lebih kelihatan,” terangnya.
Ia juga mengajarkan, cropping foto perempuan dan laki-laki itu berbeda. Croppig foto perempuan itu lebih hati-hati karena secara visual itu tubuh perempuan estetik semua. “Kalau laki-laki itu kan hanya dibutuhkan dada ke atas. Wajahnya saja sedang tersenyum, sedang meringis, sedang apa, begitu kan. Tapi kalau perempuan itu kan diciptakan untuk dia estetik sekujur tubuhnya itu,” lanjutnya.
Oleh karena itu, kata Roy, kontributor harus mempunyai semacam kerangka berpikir yang akhirnya menonjolkan point of view-nya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni