PWMU.CO – Metode pengajaran anak autis disampaikan Sri Retno Yuliani MPsi Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (27/5/2024). . Acara digelar Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Gresik di Gedung Dakwah Muhammadiyah Gresik.
Dia menyampaikan dalam Pelatihan Program Khusus Anak Autis dan Belajar Membaca Al-Quran Isyarat bagi kader Gerakan Aisyiyah Layanan Disabilitas (GALA), Gerakan Cinta Anak Tanpa Diskriminasi (Gantari) dan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) se-Kabupaten Gresik.
Sri Retno Yuliani menyampaikan anak yang didiagnosis autisme mengalami gangguan perkembangan pada otak yang menyebabkan kesulitan perkembangan terutama dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan merespon lingkungan secara tepat.
“Anak autis cenderung tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Mereka hanya bisa berteriak,” kata dia.
Retno menyampaikan autisme tidak bisa dihindari dan tidak bisa dideteksi sejak awal. “Berbeda ketika sejak dalam kandungan anak yang mengalami gangguan, bisa dideteksi, mungkin bisa dilakukan sesuatu agar kekurangan bisa diantisipasi,” ujarnya.
Anak autis, sambungnya, mengalami kesulitan imitasi atau mencontoh, kesulitan untuk berbagi, kesulitan menunggu giliran, juga kesulitan kontak mata untuk mempertahankan kontak sosial. Selain itu anak autis kesulitan mengkomunikasikan apa yang mereka inginkan.
“Karena kesulitan berkomunikasi, anak autis tidak bisa menyampaikan apa yang mereka inginkan. Ujung-ujungnya mereka akan tantrum,” jelasnya.
“Apa yang kita lakukan jika menangani anak autis yang tantrum? Apakah memberi hukuman atau memberi dukungan positif kepada mereka?” tanya Retno pada peserta.
Salah satu peserta pelatihan, Endah Suryani dari Driyorejo menjawab pertanyaan dengan lantang. “Anak yang tantrum tidak boleh diberi hukuman. Percuma menghukum mereka, karena mereka tidak tahu bahwa yang mereka lakukan tidak tepat. Kita beri perlindungan dulu, kita buat nyaman, baru kita cermati apa yang sebenarnya diinginkan anak.”
Retno membenarkan jawaban Endah, “Anak autis cenderung egosentris, melakukan sesuatu sesuai keinginan dan minatnya yang tidak biasa. Mereka tidak bisa merasakan bagaimana reaksi orang terhadap apa yang mereka lakukan.”
Program TEACCH
Rento menerangkan, karena anak autis mengalami beberapa kesulitan—seperti kesulitan menunggu giliran, atau kesulitan kontak mata—maka perlu dilakukan pendekatan dan metode yang tepat untuk menangani mereka.
“Metode pengajaran anak autis sebaiknya metode yang bisa memberi gambaran konkret tentang ‘sesuatu’, sehingga anak dapat menangkap pesan, informasi, dan pengertian tentang ‘sesuatu’ tersebut,” jelasnya.
Retno menyebutkan program TEACCH (Treatment and Education of Autistic Children and others with Communication Handicap) dalam kegiatan yaitu pengajaran yang menggunakan berbagai pendekatan dan metode yang terbukti efektif untuk membantu anak mencapai tingkat kemandirian yang maksimal sesuai kapasitas mereka.
Dia menjelaskan, TEACCH menekankan pada lima komponen yaitu (1) menyederhanakan lingkungan fisik, (2) jadwal bermakna, (3) dikerjakan individu secara mandiri, (4) menggunakan materi secara visual, dan (5) jadwal teratur.
Retno memberi contoh anak autis yang suka bermain karet. Bagaimana jika mereka maunya hanya bermain karet, padahal ada tugas mewarnai, menggunting, menempel yang harus mereka selesaikan.
Dia mengurutkan tugas anak secara visual dan berurutan. Dimulai dari krayon disejajarkan dengan gunting, kemudian lem, dan terakhir karet. Artinya anak harus menyelesaikan dulu mewarnai dengan krayon, kemudian menggunting, mengelem dan menempel. Jika sudah selesai anak boleh bermain karet.
Urutan tersebut dibuat secara terus menerus dengan harapan anak autis paham akan rutinitas kewajiban yang harus diselesaikan.
“Dengan menyelesaikan tugasnya anak autis akan tuntas menyelesaikan kewajibannya secara mandiri,” harap Retno.(*)
Penulis Rahma Yulia Isnaini Editor Mohammad Nurfatoni