Fenomena FOMO, seperti Memberi Makan Media Sosial; Penulis: Romadhona S, Alumni Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)
PWMU.CO – Perkembangan teknologi membuat orang mudah mengakses informasi, termasuk tren tertentu. Keberadaan media sosial seakan-akan menjadi dilema bagi penggunanya. Bagaimana tidak, kehadirannya memunculkan dampak positif dan negatif.
Di balik cepatnya informasi yang mereka dapat, pengguna media sosial kerap merasa takut ketinggalan akan suatu informasi atau tren tertentu atau biasa disebut FOMO (fear of missing out).
Individu yang mengalami FOMO adalah mereka yang menggunakan media sosial secara berlebihan, misalnya sesaat setelah bangun tidur, saat makan, bahkan saat berkendara (Przybylski dkk, 2013).
Bahkan, muncul pernyataan “Instagramnya jangan lupa dikasih makan”. Yang berarti bahwa pengguna media sosial diharuskan untuk selalu update tentang informasi apapun di media sosial. Hal itulah yang bisa menimbulkan rasa FOMO.
Mengapa Istilah FOMO Lahir?
Istilah ini kali pertama muncul pada tahun 2004 oleh Patrick McGinnis. Tulisannya dimunculkan dalam koran Harvard Business School bertajuk “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two FOs”.
Dalam bukunya yang membahas tentang FOMO berjudul “Fear of Missing Out” juga menjabarkan bahwa perasaan tersebut muncul karena faktor biologis manusia yang berupa naluri untuk masuk dan menjadi anggota suatu kelompok dan mendapat pengakuan.
Penyebab lain FOMO yaitu karena budaya. Perasaan ini awalnya sering disampaikan melalui seni, teater, film, budaya pop, atau sesuatu yang aneh dan unik.
Mengapa? karena hal yang unik atau aneh, saat ini malah menjadi tren yang lebih digemari dan dianggap keren.
Sehingga hal tersebut mudah ditemui khalayak media sosial yang memancing rasa penasaran mereka dan kemudian mencoba atau mengikutinya. Dua faktor yang menjadi faktor kemunculan FOMO ditambah dengan perkembangan teknologi yang pesat membuat fenomena ini semakin menjadi-jadi.
Menurut (Asri Wulandari, 2020) (Akbar, R. S., Aulya, A., Psari, A. A., & Sofia, 2019) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang memicu timbulnya FOMO, seperti:
- Selalu memeriksa gadget. Kebiasaan memegang ponsel sepertinya tidak bisa dielakkan.
- Orang yang takut ketinggalan informasi akan terus memeriksa HP-nya bahkan saat ia baru bangun tidur karena tidak mau tertinggal berita.
- Orang yang FOMO cenderung lebih mengutamakan kehidupan dunia mayanya daripada kehidupan nyata. Hal ini mengakibatkan keinginan untuk diakui oleh orang lain di dunia virtual.
- Terus-menerus ingin mengetahui tentang aktivitas orang lain. Kadang, teman sesama pengguna media sosial lebih dulu mengikuti sebuah tren. Maka pengguna lain tentu tidak mau ketinggalan momen. Oleh karena itulah mereka stalking orang yang selalu membuat atau mendahului sebuah tren.
Membuat orang menjadi konsumtif untuk memenuhi kebutuhan tren. Bahkan peralatan yang sebenarnya tidak terlalu penting pun bisa dibeli hanya untuk kebutuhan sesaat.
Fenomena FOMO yang Sering Ditemui
Fenomena FOMO akhir-akhir ini sering ditemui, apalagi di kalangan anak muda. Mulai dari tren fashion, tempat liburan, film, gaya hidup, parenting, hingga seorang role model. Saking takutnya dengan rasa ketinggalan tren, orang-orang tersebut enggan melepas ponsel pintarnya. Mereka kerap abai akan konsekuensi dari FOMO sendiri.
Misalnya, pada tahun 2020, banyak orang membahas tentang drama Korea the World of the Married. Ditayangkan pada masa pandemi membuat orang yang masif menggunakan media sosial, membuat drama ini mudah tersebar dengan potongan-potongan scene yang beredar atau ulasannya di berbagai media sosial. Hal tersebut membuat orang lain merasa penasaran akan drama tersebut sehingga daripada ketinggalan informasi di suatu kelompok atau informasi di media sosial, orang tersebut jadi ikut menonton dramanya, terlepas dia menyukai drama Korea atau penggemar drama Korea atau bukan. Mengapa? Ya karena agar mereka tidak ketinggalan tentang suatu tren, makanya mereka suka tak suka, turut menonton drama tersebut. Saking booming-nya kdrama ini, akhirnya Indonesia me-remake series tersebut dengan judul Mendua pada tahun 2022.
Namun sisi positifnya, dari drama tersebut netizen memiliki banyak pandangan tentang suatu hubungan yang memunculkan diskusi-diskusi di media sosial. Remake dari series ini juga merupakan bukti diterimanya drama tersebut di kalangan masyarakat.
Lalu, tren fashion juga merupakan salah satu hal yang cukup banyak menyebabkan FOMO. Sebut saja munculnya pakaian berwarna pastel dibandingkan warna mencolok pada tahun 2020. Banyak orang berbondong-bondong mengoleksi model tersebut bahan hingga sekarang. Lebaran tahun 2024 pun sama, model baju berbahan shimmer mulai dikenalkan dan membuat orang juga buru-buru mengoleksi hal tersebut. Bahkan tren ini sangat viral di media sosial.
Ada satu momen lagi yang memunculkan rasa FOMO, yaitu tempat wisata. Misalnya, saat ini gunung menjadi salah satu destinasi primadona untuk mengisi liburan. Aktivitas mendaki gunung mulai ramai sekitar tahun 2016-an yang dikenalkan para influencer di media sosial. Tak ayal, hingga sekarang banyak anak muda yang FOMO akan tren mendaki gunung.
Beberapa peristiwa yang mengundang rasa FOMO pada seseorang merupakan dampak dari kecepatan perkembangan teknologi khususnya media sosial. Sebagai contoh, model hijab semakin tahun juga berubah, saat ini model yang sederhana atau hijab instan banyak digunakan oleh kawula muda.
Namun jika dilihat-lihat, model yang sederhana itu juga berisiko. Misalnya, model hijab yang mudah digunakan, juga mudah terbawa angin (biasanya pashmina instan) karena cara memakainya yang hanya disampirkan ke bahu saja. Hal tersebut membuat hijab mudah terlepas, terlebih lagi saat pengguna tidak memakai ciput atau dalaman jilbab yang digunakan untuk membantu menjaga rambut agar tidak keluar dari jilbab.
Lalu kembali ke tren mendaki gunung. Akibat FOMO, banyak dampak yang dialami oleh orang-orang. Pertama, masalah sampah. Kurang teredukasinya atau kurangnya pengetahuan tentang cara bertahan hidup di alam bebas, membuat para pendaki saat ini rentan mengalami bahaya. Misalnya, semakin banyaknya sampah yang berserakan di jalur gunung. Dengan sampah tersebut, membuat lingkungan hutan yang seharusnya dijaga kebersihannya menjadi kotor dan tercemar.
Selain itu, akibat takut ketinggalan tren, pendaki saat ini juga rentan mengalami kecelakaan atau bahaya lain di hutan akibat kurangnya persiapan dan pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa orang yang FOMO, mereka yang kecanduan “berkiblat” di media sosial, maka mereka selalu ter-upgrade dengan informasi terbaru. Secara tidak langsung, hal tersebut memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu. Tapi, dampak negatifnya, mereka tidak bisa menemukan jati dirinya dan tidak mempunyai pendirian terhadap diri mereka sendiri.
Terlalu menggantungkan diri kepada media sosial, membuat anak muda seolah-olah menjadikan media sosial sebagai “kiblat”. Generasi Z menganggap media sosial merupakan hal yang sangat penting. Mungkin saja mereka menjadikannya sebagai suatu kebutuhan hidup, sehingga menimbulkan efek kecanduan yang membuat mereka takut jika ketertinggalan informasi.
Hal tersebut terlihat karena munculnya rasa ingin tahu tentang aktivitas atau informasi yang terhubung dengan orang lain, bahkan orang banyak. Dari FOMO juga kita bisa melihat bahwa dampak negatif teknologi mampu membuat orang lupa akan kehidupan yang sebenarnya, mereka lebih hidup di dunia maya, bahkan menganggap bahwa dunia maya itu sendiri adalah dunia yang nyata.
Memang benar, keberadaan teknologi dapat mendekatkan yang jauh, tapi juga menjauhkan yang dekat. Saat ini, manusia cenderung lebih abai dengan lingkungan sekitar. Ya walau mereka juga menjalin interaksi di dunia maya. Namun hal tersebut membuat pengguna teknologi tidak memiliki interaksi dengan lingkungan secara nyata karena FOMO, tapi mengikuti yang ada di media sosial.
JOMO, Penyeimbang FOMO
Lantas, apakah rasa takut ketinggalan informasi ini bisa diatasi?
FOMO dicirikan oleh adanya keinginan yang besar untuk tetap terus terhubung dengan informasi tentang apa yang sedang dilakukan oleh orang lain di dunia maya (Przybylski et all, 2013).
Lalu, JOMO atau joy of missing out hadir sebagai kebalikan dari FOMO. JOMO mengacu pada bagaimana manusia mengambil momentum secara sadar untuk terlepas dunia internet dan mengalami suatu hidup tanpa tergantung pada internet (Crook, 2015).
Dalam suatu artikel di majalah The New York Times, Hayley Phelan (2018) mengatakan bahwa, “JOMO is about disconnecting, opting out and being OK just where you are.” Menurutnya, suka atau tidak, manusia akan selalu membutuhkan teknologi, tapi seyogyanya mereka tidak membutuhkan sebanyak itu. Dan JOMO hadir sebagai penyeimbang hal tersebut.
Pada dasarnya, JOMO merupakan rasa puas dengan kehidupan saat ini. JOMO hadir sebagai kesempatan untuk manusia menjalani pola “slow living”, fokus dengan menjalin hubungan dengan antar manusia, menyediakan ruang untuk diri sendiri tanpa ketergantungan teknologi, dan kesempatan untuk merasakan segala emosi.
JOMO bisa dikatakan sebagai suatu usaha untuk menggapai momen tanpa campur tangan internet dan dilakukan secara sadar. Namun bukan berarti kita harus lepas sepenuhnya dengan teknologi. Karena sebenarnya kita tidak bisa mencegah perkembangan teknologi, hanya saja penggunaannya harus disikapi dengan bijak.
Referensi
- Christina, R., Yuniardi, M. S., & Prabowo, A. (2019). Hubungan tingkat neurotisme dengan fear of missing out (FoMO) pada remaja pengguna aktif media sosial. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2), 105-117.
- Rifi, R. M., & Safitri, D. (2023). FoMO (Fear of Missing Out) pada Mahasiswa Penggemar Korea. Edukasi IPS, 7(1), 27-35.
- Kiding, S., & Matulessy, A. (2020). Dari Fomo ke Jomo: Mengatasi Rasa Takut akan Kehilangan (Fomo) dan Menumbuhkan Resiliensi terhadap Ketergantungan dari Dunia Digital. Psisula: Prosiding Berkala Psikologi, 1, 173-182.
- Taswiyah, T. (2022). Mengantisipasi Gejala Fear of Missing Out (FoMO) Terhadap Dampak Sosial Global 4.0 dan 5.0 Melalui Subjective Weel-Being dan Joy of Missing Out (JoMO). Jurnal Pendidikan Karakter Jawara (Jujur, Adil, Wibawa, Amanah, Religius, Akuntabel), 8(1).
- Yulya, T. W., Ghonniyyu, D. H., Efendi, N. P., Hati, K. A. P., Larasati, A. W., Irawan, S. A., … & Anugrah, A. (2022, December). Fear Of Missing Out (FOMO) Sebagai Gaya Hidup di Era Modernisasi. In Proceeding Conference On Psychology and Behavioral Sciences (Vol. 1, No. 1, pp. 68-72).
Editor Mohammad Nurfatoni