Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat Terkesan Mengada-ada; oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik
PWMU.CO – Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat membuat heboh menjelang pelaksanaannya.
Tapera membuat heboh dunia usaha setelah kenaikan uang kuluah tunggal (UKT) yang menggemparkan dunia kampus reda. Jika kenaikan UKT telah resmi dibatalkan oleh Kemendikbudristek, Tapera semoga juga bisa dibatalkan.
Sejumlah organisasi pengusaha di antaranya Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan beberapa serikat pekerja keberatan dengan kebijakan Tapera. Aturan Tapera dinilai Apindo semakin menambah beban baru, baik bagi pemberi kerja maupun pekerja.
Beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24–19,74 persen dari penghasilan pekerja. Beban iuran sebelum ada Tapera antara lain: jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, dan Jaminan sosial kesehatan.
Berdasarkan UU No 3/1999 Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek), Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen, dan Jaminan Pensiun 2 persebn.
Jaminan Sosial Kesehatan berdasarkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Jaminan Kesehatan 4 persen. Cadangan pesangon berdasarkan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan(PSAK) No 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.
Peraturan Pemerintah 21/2024 mengatur Tapera menarik iuran dari potongan 2,5 persen gaji pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja. Pekerja dan pemberi kerja atau pengusaha sama-sama dikenakan iuran.
Kalangan pengusaha mengusulkan agar pemerintah mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Peraturan Pemerintah No 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaa memperbolehkan aset JHT sebesar Rp 460 triliun digunakan untuk program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja.
Para pekerja swasta telah memiliki tabungan di BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, hanya saja namanya bukan tabungan perumahan. Tetapi tabungan pada BPJS Ketenagakerjaan untuk jaminan hari tua boleh dimanfaatkan untuk perumahan pekerja.
Sedangkan jika membuat lembaga tabungan baru dikhawatirkan jadi kamuflase sekedar untuk menarik dana masyarakat pekerja dan dunia usaha yang dananya bisa digunakan untuk beragam kepentingan.
Budaya Utang
Tabungan pemilikan rumah atau usaha memiliki rumah dengan menabung bukan budaya kelas menengah. Budaya yang telah lama berkembang di kalangan pekerja kelas menengah baik negeri atau swasta adalah berutang dengan jaminan pendapatan atau gaji bulanan ditambah jaminan aset rumah yang diangsur.
Sedangkan jika menabung hampir mustahil bagi kelas menengah untuk bisa memiliki rumah, kecuali yang tiba-tiba dapat rejeki besar atau warisan bernilai signifikan sehingga tidak perlu berutang.
Tren berutang untuk pemilikan rumah dimulai sejak tahun 1974 dengan hadirnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Perumnas. Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional atau biasa disingkat menjadi Perumnas adalah sebuah badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang pengembangan perumahan.
Berdampingan dengan BUMN Bank Tabungan Negara (BTN), pemilikan rumah bagi masyarakat pekerja kelas menengah relatif menjadi mudah dengan skema yang terkenal: KPR-BTN (Kredit Pemilikan Rumah Bank Tabungan Negara). Selanjutnya model bisnis Perum Perumnas dan Bank BTN banyak dipakai pengembang swasta dan bank-bank BUMN serta swasta.
Rumah atau papan sebagai kebutuhan primer bersama sandang, pangan relatif lebih sulit didapatkan hingga dimiliki karena harganya yang tinggi. Meskipun demikian banyak kalangan masyarakat menganggap memiliki rumah sendiri sebagai prioritas ke sekian setelah sandang, pangan, kendaraan, pendidikan dan kesehatan tercukupi. Maka berutang untuk memilki rumah dengan skema pembiayaan terjangkau menjadi pilihan mayoritas kelas menengah di Indonesia.
Kehadiran bank syariah ikut mewarnai bisnis pemiliikan rumah bagi kalangan pegawai negeri, TNI, Polri hingga pegawai swasta dan wiraswasta. Jenis akad yang umum digunakan dalam pembiayaan kepemilikan rumah secara syariah adalah akad jual beli atau akad murabahah, akad musyarakah mutanaqisah (kerja sama–sewa) dan akad istishna, ijarah muntahiyah bit tamlik (IMBT).
Tapera yang memungut dengan nilai sangat kecil yaitu 2,5 persen dari penghasilan pekerja ditambah 0,5 persen dari pemberi kerja perlu dikaji kemampuannya mengejar kenaikan inflasi termasuk kenaikan harga tanah dan bangunan.
Sedangkan rata-rata angsuran rumah dalam kredit atau pembiayaan pemiliikan rumah para pegawai rata-rata mengalokasikan 20 persen sampai 40 persen dari nilai penghasilan, tergantung besarnya penghasilan dan nilai rumah yang diangsur.
Berdasarkan kenyataan dan budaya para pekerja kelas menengah berutang demi memiliki rumah, kebijakan yang sangat diharapkan dari pemerintah adalah kemudahan akses ke lembaga keuangan serta pengendalian laju inflasi tanah dan bangunan.
Kebijakan bunga atau bagi hasil pinjaman yang murah juga bisa membantu mempermudah pemilikan rumah untuk pekerja kelas menengah. Jangka waktu pembiayaan yang lebih panjang dari rata-rata 15 tahun seperti sekarang juga bisa meringankan beban angsuran bulanan.
Paling penting kebijakan yang harus ditunaikan pemerintah adalah penyediaan lapangan kerja dan penghidupan layak bagi kemanusiaan, agar semakin mudah bagi masyarakat bisa bekerja, berpenghasilan, menabung secara mandiri atau mengangsur untuk bisa memiliki rumah. Tapera meskipun sudah dibuatkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah masih bisa diralat sebagaimana kenaikan UKT perguruan tinggi negeri. Wallahualambishawab (*)
Editor Mohammad Nurfatoni