Maestro Kaligrafi dari Pasuruan yang Mendunia oleh Luqman Wahyudi, Juara II Lomba Menulis Feature Milad ke-8 PWMU.CO.
PWMU.CO – Dia dikenal sebagai penulis khat yang indah. Goresan kaligrafinya terpampang di masjid-masjid besar seperti Masjid Istiqlal Jakarta dan Masjid Al-Akbar Surabaya.
Pemegang juara 2 Lomba Khat Internasional tahun 1979 di Arab Saudi juga menulis mushaf al-Quran yang kini disimpan di Masjid Istiqlal Jakarta.
Tahun 1995 Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, melihat mushaf al-Quran karyanya itu saat singgah di Masjid Istiqlal bersama Menteri Agama Tarmizi Taher.
Dialah Muhammad Faiz Abdul Razaq sang maestro kaligrafi. Lahir di Tangerang, 11 November 1938. Besar di Malang. Lalu tinggal di Bangil Pasuruan Jawa Timur.
Bakat menulis khat atau kaligrafi indah menurun dari ayahnya, KH M. Abdul Razaq al-Muhili. Huruf pertama kali yang dikenalnya saat kecil huruf hijaiyah. Ayahnya tidak mengenalkan huruf abjad dulu.
”Setiap hari saya disuruh shalat dan mengaji. Kemudian hafalan. Kalau tidak hafal kadang dicambuk,” cerita Faiz Abdul Razaq saat dikunjungi ke rumahnya di Perum Permata Asri B-8 Gempeng Bangil Kabupaten Pasuruan.
Dia juga bercerita, pernah kena marah ayahnya ketika belajar menulis khat dia menumpahkan tinta. ”Pernah juga saya dimarahi karena penanya saya patahkan,” kenangnya.
Tapi itu menjadi kenangan indah. Kalau ayahnya tidak mendidiknya dengan disiplin dia tak bakalan menjadi penulis kaligrafi.
Dia mengakui, saat di Madrasah Ibtidaiyah tulisannya masih jelek. Sering mendapat ejekan. Bakat menulis kaligrafi terlihat ketika berumur 14 tahun. Saat SMP. Setahun kemudian Faiz sudah membantu ayahnya menulis khat kitab-kitab berbahasa Arab atau tulisan Arab pegon untuk bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan Madura.
Hinaan
Faiz bercerita, sewaktu madrasah punya pengalaman buruk. Suatu ketika dia diejek oleh murid ayahnya. Penulis khat yang bekerja di Departemen Penerangan RI Seksi Bahasa Arab.
Orang itu berkunjung ke rumahnya untuk menyetorkan tulisan kepada ayahnya. ”Dia memanggil saya. Dia meludahi tangan saya sambil berkata dengan kesal: ”kamu gak ada potongan jadi penulis khat,” cerita Faiz mengenang.
Dia sedih dengan hinaan itu. Tetapi hinaan itu menjadi pelecut baginya untuk membuktikan sebagai penulis khat yang hebat. Maestro kaligrafi.
Setelah peristiwa itu dia bersemangat belajar khat. Dia berterima kasih kepada murid ayahnya itu. Bahkan selalu mendoakan kebaikan untuknya setiap selesai shalat.
Ujian paling berat ketika sepulang dari Arab Saudi, dia menderita sakit pembuluh darah selama delapan bulan. Hartanya habis untuk berobat.
Hal ini membuat Faiz introspeksi. Teringat dengan hadits: Siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka di hari kiamat ia akan dipasangkan kendali dari neraka.
Setelah mengingat itu, dia menangis dan sadar. Ternyata selama ini tidak mengamalkan ilmunya. Setelah sembuh dia mengajarkan ilmu kaligrafi di berbagai tempat.
Murid Bedjo Dermoleksono
Maestro kaligrafi Muhammad Faiz sewaktu kecil masuk Madrasah Ibtidaiyah Raudatul Irfan di Lengkong Ulama Tangerang.
Tahun 1952 pindah ke Malang karena ayahnya keluar dari pegawai negeri, beralih menjadi penulis khat untuk penerbit Salim Nabhan Surabaya.
Faiz masuk SMP Muhammadiyah Malang yang dikepalai oleh Bedjo Dermolaksono. Dari sinilah kecerdasannya mulai tampak.
Ketika kelas 3 SMP, dia memilih Bagian Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Namun Kepala Sekolah Bedjo Dermoleksono memanggilnya.
”Faiz setelah melihat potensimu, saya punya firasat kamu itu sebenarnya tidak ada bakat di ilmu umum, kayaknya kamu punya potensi di ilmu agama,” kata Pak Bedjo.
Pak Bedjo menyarankan agar Faiz ikut ujian PGA (Pendidikan Guru Agama) saja. Padahal baru empat bulan di kelas 3 SMP. Tapi dituruti saran itu.
Ternyata firasat Pak Bedjo benar. Faiz lulus dengan hasil sangat memuaskan dan bisa meloncat dua tahun lebih cepat. Kalau sekarang disebut kelas akselarasi.
Kemudian Faiz melanjutkan studi ke Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) di Malang. Di zaman itu banyak dibutuhkan guru-guru hakim agama.
Di sini, gurunya meminta Faiz langsung ikut ujian, padahal dia baru setahun di SGHA. Para pengajar memintanya karena dia memiliki kemampuan paling menonjol di antara teman-temannya. Ternyata ujiannya lulus. Lagi-lagi dia bisa bersekolah dua tahun lebih cepat dari waktu normal.
Tahun 1958 dia lulus dari SGHA. Melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Lagi-lagi di pondok ini dia bisa menempuh studi lebih cepat dari santri lainnya. Hanya butuh waktu 2 tahun 8 bulan untuk menyelesaikan pendidikan di pondok yang seharusnya ditempuh selama 6 tahun.
Tahun 1979 Faiz mendapatkan beasiswa belajar di Universitas King Abdul Aziz Jeddah Fakultas Tarbiyah.
Di Timur Tengah ilmu khat dia matangkan. Dia belajar kepada penulis khat terkenal Sayyid Ibrahimi dari Mesir yang merupakan guru dari para kaligrafer. Faiz belajar kaligrafi dengan Sayyid Ibrahimi melalui surat menyurat.
Ketika Faiz di Jeddah, dia bekerja sebagai khattat atau desainer di Al-Farouqi Advertising, Al-Itimad Print Press, dan Deplu Kerajaan Saudi Arabia.
Faiz akhirnya bisa bertemu langsung Sayyid Ibrahimi dalam kunjungannya ke Mesir. Dia mendapatkan ijazah langsung darinya. Setelah itu mengasah kemampuan menulis khat dengan para master khat dari Turki, Iran, dan Mesir.
Karya Monumental
Karya kaligrafi Faiz sudah menghiasi banyak masjid. Seperti Masjid Istiqlal, Masjid Nasional Bengkulu, Masjid DPRD Bandung, Masjid Agung Tuban, Masjid Baitul Hamdi Pemprov Jawa Timur, Masjid Nasional Samarinda, Masjid Al-Falah Ambon, Masjid At-Taqwa Siririt Bali, Masjid Baiturrahman PKT Bontang Kaltim, Masjid Agung Nurul Falah Kaltim, Masjid Islamic Center Samarinda Kaltim, Masjid Agung Bangkalan Madura dan Masjid Al-Akbar Surabaya.
Dia juga menulis mushaf al-Quran di antaranya Mushaf Sundawi dan Mushaf Istiqlal. Tahun 1991 dia diminta ayahnya untuk menggantikan dirinya menyelesaikan proyek mushaf Istiqlal karena ayahnya sudah uzur dan sakit-sakitan.
Faiz sempat menolaknya, tetapi ayahnya bersihkukuh agar ia bisa menggantikan. Akhirnya dia melaksanakan amanah ayahnya dengan dibantu oleh lima orang khattat.
Sedangkan untuk ornamen dibantu para seniman grafis dari ITB seperti Prof Dr Ade Firus dan Drs A. Haldani. Mushaf berhasil diselesaikan dengan hasil yang indahnya.
Pria yang sekarang berusia 87 tahun ini tinggal di Perum Permata Asri B-8 Gempeng Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur.
Dia hidup bersama anaknya, Bassam, guru SMK Negeri 1 Bangil. Istrinya Hj. Hanifah berasal dari Lamongan wafat.
Bapak tujuh anak ini berusaha menghidupi keluarga kaligrafi. Bisa mengantarkan anak-anaknya kuliah sampai sarjana semua.
Menjadi pengajar kaligrafi dan bahasa Arab di beberapa sekolah. Seperti MAN Bangil, Ponpes Wahid Hasyim Bangil, Ponpes Sidogiri, Ponpes Persis Bangil, Universitas Negeri Malang.
Pernah tinggal di rumah kontrakan di Bangil bersama istri dan tujuh anaknya. Padahal pernah ditawari pemerintah Saudi dan Brunai untuk tinggal di sana dengan fasilitas rumah. Dia memilih tinggal di tanah air mengajar.
Sering menjadi juri lomba khat tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan nasional. Juga menjadi Dewan Hakim MTQ Nasional, dan Kepala Majelis Lomba MTQ Jatim XXV Cabang MKQ.
Sosoknya dikenal ramah kepada semua orang ini memiliki motto:Inti dalam menulis khat itu adalah keikhlasan, hasil karya mencerminkan jiwa sang pembuat, seindah apapun karya itu, tapi tidak memiliki ruh, maka seperti benda mati, dan ikhlas adalah ruhnya.
Menjalani masa tua, maestro kaligrafi ini selalu menerima takdir Allah seperti yang dirasakan pada saat ini. Dia merasa Allah mengurangi kenikmatan pada dirinya, dan mengembalikan seperti anak kecil.
Faiz lantas mengutip surah Yasin: 68. ”Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?”
Editor Sugeng Purwanto