PWMU.CO – Disuguhi menu ala Pondok Pesantren Al Ishlah Sendangagung, tamu dari Muhammadiyah Boarding School (MBS) Madinatul Ilmi SMA Muhammadiyah 1 (Smamsatu) Gresik mengaku terkesan dan kagum.
Kunjungan MBS Madinatul Ilmi Smamsatu Gresik ke Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung, Paciran, Lamongan, Jawa Timur dalam rangka studi tiru, Senin (3/6/2024).
Rombongan tiba di Pondok Al-Ishlah pukul 12.10 WIB, mundur 1 jam dari jadwal semula (pukul 11.00 WIB). Rombongan dipimpin oleh Mudir MBS Madinatul Ilmi, Muhammad Naufal Lc MSI, didampingi oleh Hadiyatan Wasilah SPd MPd, Maria Ulfa, Ria Desi Kusumaningrum SPd, dan Eko Nazarudin Latif SPd.
Pertemuan berlangsung di kediaman Pengasuh dan Pendiri Ponpes Al Ishlah, Drs KH Muhammad Dawam Saleh. Nuansa gayeng nampak terlihat hingga tak terasa masuk waktu asar baru selesai. Pertemuan diakhiri dengan keliling ke dapur putra dan dapur putri.
Turut menyambut tamu-tamu tersebut adalah Ketua Yayasan Al-Ishlah, H Ahmad Thohir, Pengasuh Ponpes Al Ishlah Dra Hj Mutmainah, Bendahara Dra Hj Ariningsun, Staf Pembina santri putra Agus Susilo Lc, dan Staf Pembinaan santri putri Aida Ayu Lestari.
Sambil menikmati makan siang masakan ala menu santri Al-Ishlah siang itu, acara pertemuan berlangsung penuh keakraban dan kekeluargaan. Pasalnya, Mudir MBS Madinatul Ilmi (Ustadz Naufal) adalah sekawan dengan Agus Susilo saat di Al Azhar Mesir lulus tahun 2013.
“Sengaja kami suguhkan menu ala pondok, supaya mereka langsung bisa belajar dan menikmatinya. Maka obrolan tentang menu santri dan perdapuran langsung mengalir secara non formal,” ucap Dra Hj Muthmainnah atau yang akrab disapa Bu Nyai Dawam.
Ahmad Thohir pun menceritakan sejarah berdirinya Pondok Al Ishlah secara singkat. Dia menjelaskan keberadaan perdapuran santri saat pertama berdiri atau masa perintisan. Saat itu Pondok belum mampu untuk dikelola oleh orang lain dengan berbagai pertimbangan.
“Sehingga keluarga lah orang terdekat yang bisa membantu untuk mengelola keuangan dan memasakkan santri yang jumlahnya masih sedikit (14 santri) saat awal berdiri,” ucapnya.
Terapkan Manajemen Kalbu
Sementara Muthmainnah menyampaikan tentang manajemen dapur Santri Al- ishlah yang dikelola dengan manajemen kalbu.
“Istilah ini saya gunakan karena manajemen di Ponpes Al-Ishlah tidak menerapkan seperti pada umumnya, tidak seperti sistem manajemen yang mungkin diberlakukan di organisasi lain,” terang wanita asli Pekalongan yang menikah dengan Kiai Dawam pada tahun 1988 ini.
Dia menceritakan, untuk kebutuhan memasak dapur santri (kurang lebih 2200 santri) dikerjakan oleh tukang masak 8 orang. Ini terbagi 4 orang di dapur putra dan 4 orang di dapur putri.
“Pengelolaan keuangan makan santri perbulan saat ini Rp 410.000 dengan makan 3 kali sehari. Rata-rata per makan harganya Rp. 4500. Untuk pelayanan makan santri di dapur diatur oleh staf dan pembina dapur serta Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Al-Ishlah (OPPI) bagian dapur,” imbuh Ariningsun.
Setelah mendengar dan melihat area dapur, rombongan MBS Madinatul Ilmi mengaku kagum dengan 2200 santri yang hanya dimasakkan oleh 8 pekerja dapur. Hebatnya para juru masak ini perempuan semua.
“Mungkin sulit menemukan seperti di Al-Ishlah. Pondok ini masih ditopang oleh orang-orang yang bergabung di pesantren dengan dedikasi tinggi, berjiwa pejuang, dengan ikhlas siap membersamai merawat dan membesarkan Al-Ishlah,” ucap salah satu tamu di hadapan petinggi Ponpes Al-Ishlah. (*)
Penulis Gondo Waloyo Editor Nely Izzatul