Setelah wuquf dan thawaf ifadhah, ada aktivitas lain yaitu melontar Jamrah, baik pada tanggal 10 Dzulhijjah (melontar jamrah aqabah) maupun tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Apa Makna dari melempar jamrah? Ketika kita melaksanakan ibadah bermalam di Mina dan melontar jamrah ula, wustha, dan aqabah.
Di sinilah kita belajar dari kisah Nabi Ibrahim a.s.. Nabi Ibrahim a.s. diperintah untuk menyembelih putranya, Ismail a.s.. Sang anak ridha atas perintah Allah tersebut, dan berkata pada bapaknya, “Duhai ayahku, lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapatiku atas kehendak Allah termasuk orang-orang yang bersabar.” (Q.s. Ash-Shaaffaat [37]: 102)
Sang anak tunduk pada perintah Allah. Begitu juga sang bunda, Hajar. Mereka kompak untuk tunduk dan patuh atas perintah yang langsung datang dari Rabb mereka. Namun, di Mina ini, Iblis merayu mereka, membujuk mereka untuk tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Lalu, apa yang dilakukan oleh keluarga Nabiyullah Ibrahim a.s. itu? Mereka melempari Iblis itu dengan batu-batu kerikil. Inilah yang kemudian Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menjadikan kisah keluarga Ibrahim a.s. sebagai bagian dari manasik haji, yaitu melontar jamrah ula, wustha, dan aqabah. Maka kita sadari, kehidupan kita di dunia ini tidak sepi dari godaan setan.
Hidup kita di dunia ini adalah pertarungan antara yang haq dengan yang batil. Hidup kita ini begitu banyak fitnah dan cobaan, terutama untuk menjaga akidah keluarga kita; menjaga lingkungan kita; menjaga umat kita dari kerusakan akhlak dan akidah. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah. Karena itu, orang yang melaksanakan ibadah haji, haruslah memiliki semangat yang tinggi untuk menegakkan kalimatullah dan menegakkan amar makruf dan nahi mungkar.
Harus berani melawan kemungkaran, melawan tirani-tirani, melawan segala bentuk kemusyrikan dan penyesatan yang ada di dalam tubuh umat ini, yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Inilah semangat yang ada dalam amaliah melempar jamrah tersebut. Rangkaian ritual terakhir dari ibadah haji adalah tahallul, yaitu mencukur rambut sebagai tanda telah selesai dari ihram, telah keluar dari apa yang diharamkan selama ibadah haji menjadi suatu yang dihalalkan.
Semangat kita untuk meniru dan memaknai amaliah tahallul ini adalah bahwa kita di dunia ini selalu dihadapkan kepada pilihan halal dan haram. Karena itulah kita harus menjauhi apa yang Allah haramkan semaksimal mungkin, dan kita harus memilih jalan yang halal dalah menjemput rezeki Allah Swt.
Inilah makna tahallul. Mengapa mencukur rambut? Karena ini adalah simbol kita untuk komitmen mencukur dan menghapus segala keburukan diri dan kemaksiatan yang pernah dikerjakan. Secepat rambut tumbuh setelah kita mencukurnya, secepat itu pula kita harus berkomitmen untuk sesegera mungkin melakukan amal shalih.
Karenanya, tidak heran kalau Allah memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, fastabiqul khairaat. Juga bersegera untuk memohon ampunan Allah, bertaubat kepada-Nya demi meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi (lihat surah Ali Imran [3] ayat 133). Inilah makna-makna dari rangkaian ibadah haji. Inilah madrasah bagi penggemblengan diri.
Bukankah Allah menyatakan tujuan kita berpuasa adalah agar kita bertakwa (Qs. AlBaqarah: 183)? Demikian pula ibadah qurban tidak akan diterima Allah kecuali dari orang-orang yang bertakwa kepadanya “innama yataqabbalullahu minal muttaqin” (Qs. Al-Maidah: 27), “lan yanalallaha luhumuha wa la dima‟uha wa lakin yanaluhu attaqwa minkum” (bukanlah daging dan darah hewan-hewan kurban itu yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan kita yang dipandang oleh-Nya, Qs. Al-Hajj: 37)(Uzlifah)