PWMU.CO – Cicak dan Buaya, dua simbol yang mencuat dalam kasus yang mengguncang Kepolisian dan KPK beberapa tahun lalu. Bibit Samad, Candra, dan Anggodo terjerat dalam kasus korupsi kehutanan. Kemudian, Bibit Samad dan Bambang Widjojanto menghadapi masalah serupa. Tidak lupa, insiden tragis penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
“Setting kelembagaannya perlu ditata ulang dalam pemberantasan korupsi,” kata Dadang Trisasongko, Managing Partner sebagai pembuka dalam diskusi publik yang berlangsung di Gedung G Lt. 7 UMSurabaya pada Senin, 10 Juni 2024.
“Saat ini, KPK dilemahkan oleh masalah internal yang merambah hingga ke Kejaksaan dan Kepolisian. Ironisnya, permasalahan ini bukan hal baru. Sejak zaman Presiden Soekarno pada tahun 1962, lembaga semacam ini sudah menghadapi tantangan serupa. Di Indonesia, ketika lembaga-lembaga yang dibentuk gagal memberikan hasil yang diharapkan, akhirnya nasibnya sering kali berujung pada pembubaran,” imbuhnya.
Contohnya, di Malaysia, KPK tidak didukung secara luas oleh masyarakat, namun mendapat dukungan dari sebagian politisi. Meskipun demikian, dukungan tersebut tidak begitu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan pemberantasan korupsi tergantung pada kebijakan politik yang ada.
Dalam konteks politik dan hukum, Badan Anti Korupsi di Indonesia mencatat masa antara tahun 1960-1966 sebagai periode yang tidak demokratis. Lembaga anti korupsi pada saat itu dibentuk melalui Keppres dan rata-rata hanya bertahan selama satu tahun. Pada masa tidak demokratis tersebut, dominasi Soeharto sebagai Presiden sangat kuat, dengan militer dan birokrasi menguasai periode tahun 1967-1998. Lembaga-lembaga ini dibentuk melalui Keppres dengan mandat yang hanya memberikan rekomendasi kepada Presiden. Meskipun sifatnya adalah pencegahan dan penegakan hukum, namun seringkali bertentangan dengan elit politik.
Memasuki era demokrasi setengah matang dari tahun 1999 hingga 2024, Badan Anti Korupsi Indonesia mengalami transformasi. Dasar hukumnya diperkuat dengan undang-undang, meskipun mengalami pelemahan dalam revisi UU. Mandatnya tetap fokus pada pencegahan dan penegakan hukum. Dukungan dari publik menjadi lebih kuat, sementara dukungan pemerintah relatif ada. Namun, seperti sebelumnya, elit politik tetap menjadi lawannya dalam upaya memberantas korupsi.
Pelemahan Badan Anti Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Dalam 20 tahun terakhir, rerata pertumbuhan skor CPI Indonesia adalah 0,7 per tahun. Dan dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhannya stagnan. Hingga kini, Indonesia belum mampu melampaui skor rerata global. “Partai politik mbok’e korupsi,” tambah Dadang Trisasongko.
Rapuhnya tiga pilar antikorupsi meliputi budaya antikorupsi, perilaku individu, dan sistem nilai. Ini juga mencakup sistem pencegahan dan penegakan hukum yang efektif. Namun, tak kalah pentingnya adalah keberadaan pemerintahan yang bersih dalam menjalankan fungsi-fungsi antikorupsi.
Partisipasi dalam acara ini melibatkan dosen dan mahasiswa dari Fakultas Hukum UMSurabaya, BEM UMSurabaya, dan POSBAKUM PW Aisyiyah Jawa Timur.
Di sesi tanya jawab, seorang dosen dari FH UMSurabaya, Dr. H. Agus Supriyo MSi, menyorot pentingnya pembangunan “mindset” setiap individu Indonesia dalam mencegah korupsi. “Apalagi saya mengajar mata kuliah korupsi dan good governance, apakah pola pikir yang positif dapat menjadi landasan untuk menghindari tindakan korupsi?” tanyanya dalam forum tersebut, menyoroti peran kesadaran dan etika individu sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi.
Diskusi publik yang berlangsung di kampus yang terletak di Jl. Sutorejo no. 59 ini berlangsung hingga sore hari. Para mahasiswa maupun tamu undangan yang hadir terlihat antusias dalam mengikuti proses jalannya diskusi. Ini hal yang luar biasa. Begitu antusiasnya diskusi yang mengangkat bagaimana saat ini terjadi upaya pelemahan terhadap KPK.
Penulis Anang Dony Irawan Editor Wildan Nanda Rahmatullah