PWMU.CO – Seiring berjalannya waktu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) semakin sering disebut sebagai lembaga yang semakin liberal dan jauh dari esensi sejarah terbentuknya Pancasila. Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia, dihasilkan dari konsensus para pendiri bangsa yang mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman. Mereka merumuskan sebuah ideologi yang menghargai perbedaan tanpa mencampuradukkan keyakinan dan ibadah masing-masing agama.
Prinsip dasar Pancasila menekankan pentingnya kebebasan beragama, dengan negara yang menjamin hak setiap pemeluk agama untuk menjalankan ajaran dan keyakinannya. Salah satu prinsip utama dalam Islam, “lakum dienukum waliadien” (untukmu agamamu dan untukku agamaku), menggarisbawahi pentingnya toleransi dan saling menghormati dalam menjalankan ibadah. Hal ini sejalan dengan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama yang merupakan inti dari ajaran Islam tentang toleransi.
Namun, BPIP sering kali memunculkan pandangan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut. Salah satu contohnya adalah pandangan BPIP yang dianggap bertentangan dengan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI mengenai larangan salam lintas agama, misalnya, dianggap oleh sebagian pihak sebagai upaya menjaga kemurnian ajaran Islam tanpa mengganggu agama lain. Pandangan BPIP yang sering kali dianggap liberal menimbulkan pertanyaan tentang asal usul dan dasar pemikiran lembaga ini.
Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Baru, penafsiran Pancasila dilakukan melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang disahkan oleh Sidang Umum MPR. Penafsiran ini merupakan hasil dari proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan disepakati oleh wakil rakyat. Berbeda dengan BPIP yang hingga kini belum memiliki penafsiran baku yang disetujui oleh wakil rakyat, sehingga menimbulkan kesan bahwa BPIP berjalan dengan penafsiran pribadi yang liberal.
Pancasila sebagai landasan negara memiliki sistem tata kelola yang unik dan bersumber dari hukum serta kebiasaan yang hidup di kalangan bangsa Indonesia. Sistem ini berpusat pada sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, yang menolak liberalisme dan kapitalisme.
Sayangnya, sistem demokrasi liberal yang diterapkan dalam pemilu menghasilkan wakil rakyat yang terpilih berdasarkan modal, bukan keterwakilan. Hal ini mengakibatkan esensi keterwakilan dalam Pancasila hilang, digantikan oleh keterpilihan yang lebih menekankan pada kekuatan modal, di sini harusnya BPIP berwacana bergerak mengembalikan esensi ketatanegaraan pada sila ke Pancasila bukan malah semakin liberal dan makin jauh dari nilai dan sejarah Pancasila.
Ketidaksejalan BPIP dengan prinsip dasar Pancasila menimbulkan kekhawatiran bahwa ideologi negara ini semakin tergerus oleh pandangan-pandangan yang liberal. Kembali kepada konsensus nasional yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa kita adalah langkah penting untuk menjaga keutuhan dan kemurnian Pancasila. Penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 asli harus menjadi prioritas untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yang sejati.
Seiring dengan itu, kritik terhadap BPIP yang dinilai tidak produktif dan memboroskan uang rakyat terus bermunculan. BPIP dianggap sebagai lembaga yang tidak mampu menjaga dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara utuh, malah justru merusak dan menginjak-injaknya. Oleh karena itu, ajakan untuk mendukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah perjuangan umat Islam menjadi semakin relevan.
Fatwa-fatwa MUI, yang bertujuan untuk menyelamatkan umat, dianggap lebih mencerminkan semangat Pancasila yang sesungguhnya daripada pandangan BPIP yang semakin liberal.
Penulis Agus Maksum (Presidium Pusat Studi Rumah Pancasila) Editor Aribowo