PWMU.CO – Dalam riuh rendah perdebatan di media sosial yang selalu berisik, perjalanan sejarah menorehkan satu lagi babak lagi. Presiden Joko Widodo, dalam langkahnya yang tak terduga, menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.
Sebuah kebijakan Presiden yang di dalamnya, terdapat ketentuan yang mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) untuk mengelola lahan pertambangan. Sebuah regulasi yang tampaknya sederhana, namun menyimpan pertanyaan besar: apa yang terjadi ketika agama, ekonomi, dan kekuasaan bertemu di perempatan jalan?
Peraturan ini, tertuang dalam Pasal 83A, menyebutkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WUIPK) dapat diberikan secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan. Kesejahteraan umat menjadi alasan, atau setidaknya demikian yang tertulis. Namun, di balik kata-kata yang tersusun rapi itu, ada spektrum yang lebih luas, di mana visi dan misi bertemu dengan realitas dan pragmatisme.
Muhammadiyah, organisasi yang telah berdiri tegak sejak 1912, menghadapi tawaran ini dengan kebijaksanaan yang sama tuanya dengan usianya. Kepada kantor berita Antara, Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa keputusan mengenai konsesi tambang ini tidak akan diambil dengan tergesa-gesa.
Tersurat ada kehati-hatian yang mendalam, seolah organisasi ini tengah menimbang setiap butir batu bara yang terangkat dari dalamnya perut bumi.
“Keputusan sepenuhnya berada di tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis, tetapi melalui badan usaha disertai persyaratan yang harus dipenuhi,” kata Abdul Mu’ti dikutip dari Suara Surabaya, Minggu (9/6/2024).
Pernyataan ini mengandung makna yang dalam. Muhammadiyah, dengan segala kiprah sosialnya, memahami bahwa tambang bukan sekadar sumber daya alam. Ia adalah medan pertempuran bagi kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Mungkin ada yang beranggapan, apa salahnya jika organisasi keagamaan turut serta dalam ekonomi tambang? Bukankah ini kesempatan untuk memberdayakan umat? Namun, seperti yang ditegaskan oleh Abdul Mu’ti, keputusan semacam ini memerlukan kajian yang menyeluruh. Tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga dari sudut pandang sosial, lingkungan, dan bahkan etika.
Sejarah mencatat bahwa Muhammadiyah selalu mengedepankan ikhtiar untuk menyelamatkan semesta. Melalui gerakan amal kebajikan dan berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan, organisasi ini telah menunjukkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan bisa dicapai tanpa harus mengorbankan prinsip dan nilai-nilai menjaga lingkungan.
Seperti dilansir laman Muhammadiyah, data terbaru menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki 35 Pimpinan Wilayah, 475 Pimpinan Daerah, 3.947 Pimpinan Cabang, dan 14.670 Pimpinan Ranting. Di bidang pendidikan, terdapat 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA), dan di sektor kesehatan, terdapat 122 rumah sakit dan 231 klinik. Jumlah sekolah/madrasah mencapai 5.345, dan aset wakaf tersebar di 20.465 lokasi dengan luas tanah mencapai 214.742.677 m².
Namun, jumlah dan data ini hanya sebagian dari cerita. Yang lebih penting adalah bagaimana organisasi ini terus mengedepankan misi kemanusiaannya. Dari Palestina hingga Rohingya, dari Nepal hingga Sudan, Muhammadiyah hadir dengan semangat yang sama: menyelamatkan semesta, bukan sekadar mengelola sumber daya.
Hadiah konsesi tambang dari Jokowi mungkin menantang Muhammadiyah untuk menguji batas-batasnya. Mampukah sebuah organisasi yang berbasis pada nilai-nilai keagamaan dan sosial mengelola sumber daya alam yang kerap membawa konflik dan kerusakan? Abdul Mu’ti mengatakan bahwa Muhammadiyah akan mengkaji semuanya dari berbagai aspek dan sudut pandang yang menyeluruh. Ini adalah janji yang tak bisa diingkari, karena sekali melangkah, jalan kembali dari kerusakan alam mungkin tidak akan sama lagi.
Di tengah gemuruh alat-alat berat tambang yang akan terus menggali perut bumi, mungkin ada baiknya kita merenung sejenak. Mengingat bahwa di balik setiap keputusan besar, ada tanggung jawab yang lebih besar lagi.
Bagi Muhammadiyah, menerima konsesi tambang mungkin bukan sekadar urusan ekonomi. Ini adalah ujian dari waktu dan sejarah, apakah mereka bisa tetap setia pada prinsipnya, sambil menavigasi kompleksitas dunia yang terus berubah.
Muhammadiyah boleh menerima tentu dengan catatan. Saham perusahaan tambang yang dimiliki Muhammadiyah harus juga dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Satu warga Muhammadiyah dapat selembar saham. Satu orang warga Indonesia bisa membeli saham perusahaan tambang milik Muhammadiyah.
Jadi, Muhammadiyah boleh menerima konsesi tambang. Tentu ada syaratnya: menjaga integritas, menimbang dengan bijak, dan selalu mengingat bahwa tujuan akhirnya bukan sekadar kesejahteraan materi, tetapi keselamatan semesta.
Seperti dalam setiap langkahnya selama 111 tahun terakhir, Muhammadiyah harus melangkah dengan hati-hati, menjaga agar langkah ini tak mengaburkan jalan menuju misi yang lebih besar, yakni menyelamatkan semesta. Demikian syarat Muhammadiyah boleh menerima konsesi tambang dari Jokowi.
Penulis Edi Purwanto Editor Azrohal Hasan