PWMU.CO – Fikih Idul Adha dan puasa arafah dibahas di Kajian Muslim Milenial (Kammil) SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik Jawa Timur di Masjid Taqwa Spemdalas, Jumat (14/6/2024).
Di hadapan siswa putra kelas VII-VIII, pemateri Kammil Chanif Ichsan SFil menjelaskan fikih Idul Adha mencakup tata cara dan amalan-amalannya.
Dia awal materinya, dia menjelaskan pengertian Idul Adha. Kata Id adalah hari raya yang disebut juga al-mausim (musim), disebut demikian karena setiap tahun berulang.
“Disebut Id karena pada hari itu Allah Swt mempunyai kebaikan dan kemurahan yang kembali berulang-ulang dan dianugerahkan kepada makhluk-Nya setiap tahun yang membawa kegembiraan dan kepuasan,” jelasnya.
Amal ibadah dan adab menyambut Idul Adha dengan cara memperbanyak membaca tahlil, takbir, tahmid, dan mengerjakan amal shaleh. Rasulullah bersabda, ”Tiada hari hari dimana amal shalih paling utama di sisi Allah dan paling dicintai-Nya melebihi sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Perbanyaklah pada hari itu dengan Tahlil, Takbir dan Tahmid.” (HR Ahmad)
Sedangkan untuk puasa Arafah, puasa sunnah yang sangat dianjurkan atau sunnah muakkad. Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari ra, Rasulullah Saw pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya. (HR Muslim)
Berhias dengan memakai pakaian bagus dan wangi-wangian. Diriwayatkan dari Zaid bin al-Hasan bin Ali dari ayahnya ia mengatakan kami diperintahkan oleh Rasulullah Saw pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) untuk memakai pakaian kami terbaik yang ada, memakai wangi-wangian terbaik yang ada, dan menyembelih binatang kurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang) dan supaya kami menampakkan keagungan Allah, ketenangan dan kekhidmatan (HR. Al-Hakim)
Selain itu, jelasnya, tidak makan sejak fajar sampai dengan selesai shalat Idul Adha. Rasulullah Saw pada hari Idul Fitri tidak keluar sebelum makan dan pada hari Idul Adha tidak makan sehingga selesai shalat (HR At-Tirmizi).
“Dianjurkan berangkat dengan berjalan kaki dan pulang melalui jalan lain. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Nabi Saw mendatangi shalat Id dengan berjalan kaki dan beliau pulang melalui jalan lain dari yang dilaluinya ketika pergi. (HR. Ibnu Majah),” katanya.
Waktu shalat Id dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “Nabi saw biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat Idul Adha. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al- Ma’ad fi Hadyi Khair al ‘Ibad, 1:425).
Tempat pelaksanaannya lebih utama (lebih afdhal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Rasulullah saw biasa keluar pada hari raya Fitri dan Adha menuju tanah lapang. (HR. Al-Bukhari).
Pelaksanaan shalat dilaksanakan 2, tidak ada shalat sunnah qabliyah dan badiyah Id. Bahwasanya Rasulullah Saw keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fitri, lalu mengerjakan shalat Id dua rakaat, beliau tidak mengerjakan shalat qabliyah maupun badiyah ‘Id. (HR. Muslim)
Dalam pelaksanaan, lanjutnya, tanpa adzan, iqamah, dan tanpa ucapan ash-Shalaatu Jâmi’ah. Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, 12 Aku pernah melaksanakan shalat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah Saw bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqamah. (HR. Muslim).
Tata cara shalat Id, memulai dengan takbiratul ihram, sebagaimana shalat-shalat lainnya, diiringi niat ikhlas karena Allah, membaca doa Iftitah, kemudian bertakbir (takbir al-zawaid/takbir tambahan) sebanyak tujuh kali takbir, di antara takbir-takbir (takbirat zawaid) tidak ada bacaan dzikir tertentu, membaca al-Fatihah, setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dan Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan rakaat kedua.
“Kemudian bertakbir (takbir al-zawaid /takbir tambahan) sebanyak lima kali takbir -setelah takbir intiqal (bangkit dari sujud) sebelum memulai membaca al-Fatihah,” katanya.
Tuntunan Qurban
Chanif Ichsan menjelaskan, kata kurban berasal dari qaruba-yaqrubu-qurbanan yang berarti hampir, dekat, atau mendekati. Dalam bahasa Arab kata kurban disebut udhiyyah. bentuk jamak dari kata dlahiyah yang berarti binatang sembelihan, disebut juga nahr (ibadah kurban).
“Dasar hukum berkurban, Abu Hanifah dan al-Auza’iy berpendapat kurban hukumnya wajib. Dalil yang dijadikan dasar adalah maka shalatlah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (kurbanmu). (surat. al-Kautsar ayat 1-2),” katanya.
Kedua, Muhammad Ibn Ismail al-Kahlany dalam kitab Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram menjelaskan bahwa hadis di atas dijadikan dasar oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib bagi orang yang mampu.
Ketiga, Imam as-Syafi’i, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunnah muakkadah. Pendapat mereka didasarkan pada dalil hadis Nabi Saw dari Ummu Salamah binatang/hewan kurban.
“Menurut pandangan ulama bahwa yang termasuk Bahimah al-An’aam (binatang ternak) dalam surat al-Hajj ayat 34 adalah kambing (termasuk di dalamnya domba dan biri-biri), sapi (termasuk kerbau) dan unta,” katanya.
Memotong Kuku
Chanif Ichsan menjelaskan, bagaimana hukum orang berkurban memotong kuku atau rambut?
“Aku mendengar Ummu Salamah istri Nabi SAW berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan dia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah muncul, hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia berkorban,” (Hadits Muslim No 1977 Bab 39).
Dalam buku Tuntunan Iddain dan Kurban, Majelis Tarjih menganjurkan orang yang akan berkurban untuk mempersiapkan diri dengan membiarkan atau tidak mencukur rambutnya (rambut kepala, kumis, jenggot dan sebagainya) dan tidak memotong kukunya (kuku kaki dan tangan) sejak melihat hilal (permulaan) bulan Zulhijjah sampai pelaksanaan penyembelihan binatang kurbannya.
Bagaimana hukum urunan hewan kurban boleh atau tidak? Menurut Majelis Tarjih perlu ditegaskan lagi akadnya, pertama jika ingin menjadi kurban, maka harus definitif siapakah yang menjadi sahibul kurban, sehingga ke depannya harus bergilir semua anggota urunan mendapat haknya berkurban.
“Atau semua anggota urunan menghibahkan urunannya kepada salah satu orang yang menjadi sahibul kurban. Namun jika tidak mau menempuh dua ini, urunan tersebut tidak diakadkan menjadi hewan kurban,” jelasnya.
Bagaimana hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal, boleh atau tidak? Dia menjelaskan kurban untuk (atas nama) orang yang sudah meninggal dunia adalah tidak boleh.
“Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya, artinya: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya sesuai dengan surat an-Najm (53): 38-39,” katanya.
Kecuali, sambungnya, karena adanya nadzar semasa hidupnya dan wasiat dari orang yang meninggal dunia. (*)
Penulis Ichwan Arif Editor Syahroni Nur Wachid