Ketua PWM Jatim Khutbah Idul Adha 1445: Menyerap Hakekat Berkurban

Dr dr Sukadiono MM bersama Drs Muntholib Sukandar dan lainnya (Hilman Sueb / PWMU.CO)

PWMU.CO – Berkurban tidak sekedar menyembelih binatang kurban, tetapi ada hakekat yang lebih mendalam, disampaikan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dr dr Sukadiono MM, di lapangan Sawonggaling Babat-Lamongan, Senin, (17/6/2024).

Dia memulai khutbahnya dengan memuji Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengucapkan shalawat atas Nabi Muhammad Shalallahu Alayhi was Sallam, serta mengingatkan hadirin agar bersyukur serta bertakbir kepada-Nya di hari yang mulia, Idul Adha 1445 H.

Hari ini kita berbahagia lanjutnya. Karena dapat menjalankan rangkaian ibadah hari raya Idul Adha, berupa sholat Ied dan selanjutnya penyembelihan hewan kurban sebagai perwujudan ketaatan atas perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dalam 
QS. Al Kautsar aya : 1-2,


إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat dan berkorbanlah”.
Tambah Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Dia menerangkan bahwa ibadah yang disyariatkan pasti membawa hikmah yang begitu besar bagi yang menjalankannya. Sebagaimana sholat disebutkan sebagai ibadah yang hakekatnya, seperti dalam QS. Al Ankabut ayat: 45,

… إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ.. “

“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar..”

Dia menerangkan bahwa ibadah kurban memiliki tiga hakekat yang perlu direnungkan dan dihayati lanjutnya. Adapun hakikatnya yang pertama: ibadah qurban sebagai bentuk perwujudan syukur kita kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, sekaligus momentum berbagi kebahagiaan di hari raya. Sebagaimana firman-Nya QS. Al Hajj: 34,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direjekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”

Karena itulah, seorang muslim atau setiap kita yang diberikan rezeki yang cukup atau bahkan berlebih oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka sudah seharusnya mewujudkan bentuk syukurnya dengan berusaha menyembelih qurban pada hari – hari yang mulia ini. Jelas Ketua PWM Jatim ini.

Dr dr Sukadiono MM menyampaikan Khubahnya (Hilman Sueb / PWMU.CO)

Hakikat yang kedua dari ibadah qurban, ujarnya ini adalah meneladani dalam sosok Ibrahim As. Pada diri Ibrahim As kita menemukan teladan kesabaran yang luar biasa saat menerima perintah menyembelih Ismail As, sebagai buah hatinya yang tercinta dan beranjak remaja. Dalam dirinya tergabung sifat kesabaran dalam ketaatan.

Maka sudah sepatutnya kita mengingat kesabaran Ibrahim As, dalam menaati perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala untuk menyembelih anaknya. Kita mengingat keikhlasan Ismail As, yang menerima ketetapan Allah sepahit dan seburuk apapun akibatnya. Jelasnya.

Kisah Ibrahim As

Sungguh momentum ibadah qurban ini, seharusnya “memaksa” kita untuk membuka kembali lembaran kisah Abdul-Anbiya  (Ayah para Nabi) yaitu Ibrahim As, agar kita mampu mengikuti teladan kesabaran dan keikhlasannya. al-Quran secara tegas telah mengisyarakatkan melalui QS. al Mumtahanah ayat 4,


{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ .

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang bersama dengan dia.”

Adapun hakikatnya yang ketiga disyariatkannya ibadah qurban adalah untuk membiasakan diri kita melakukan amal dengan penuh rasa ikhlas dan ihsan. Ibadah qurban yang sempurna adalah yang dilakukan dengan sepenuh ke ikhlasan dan juga ihsan. Berniat dalam berqurban hanya karena dan hanya untuk Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Ibadah qurban dilihat dari lafadznya tentu dimaksudkan untuk ber-taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, namun sejatinya mereka yang akan berqurban akan banyak menghadapi godaan dalam proses pelaksanaannya.

Betapa tidak, karena qurban adalah ibadah yang nampak, setiap orang dapat menyaksikan bahkan juga dapat memuji dan mengomentari. Atas alasan itu semua, sungguh ujian keikhlasan begitu berat di hadapan.

Jangan sampai kita berqurban karena riya dan kesombongan, jangan pula karena merasa terpaksa atau takut dicela. Dalam masalah ini sebuah ayat perlu kita renungkan dalam -dalam Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Hajj ayat 37 :

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.”

Sungguh jelas disebutkan dalam ayat tersebut, bahwa yang bisa mencapai keridhoan Allah bukanlah hewan sembelihan kita, tetapi adalah ketakwaan dan keikhlasan yang terpatri dalam hati kita.

Selain keikhlasan, ibadah qurban juga melatih kita untuk melakukan setiap amal dengan penuh ihsan. berupaya bersungguh menjalankannya dengan sempurna atau dalam bentuk sebaik-baiknya. 

Pelajaran ihsan dapat kita ketahui dari anjuran Rasullah Saw kepada umatnya agar memilih hewan qurban yang terbaik yang mampu didapatkan. Bukan hewan qurban yang asal-asalan, apalagi yang mempunyai cacat dan kekurangan. Sungguh  disebutkan dalam ayat tersebut, bahwa yang bisa mencapai keridhaan Allah.

Dengan demikian, melalui ibadah qurban ini kita mendapati pelajaran untuk tetap berbuat ikhlas dan ihsan dalam amal-amal kita selanjutnya. Baik amal yang bersifat duniawi, dan terlebih lagi amal yang bersifat ukhrowi.

Di akhir khutbahnya Sukadiono mengatakan: “semoga Allah Swt memberikan bimbingan dan kekuatan agar kita mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari ibadah kurban ini. Marilah kita syiarkan hari-hari yang mulia ini dengan memperbanyak lantunan takbir, di rumah, di masjid, setelah sholat wajib atau waktu-waktu mutlak lainnya, hingga waktu ashar hari tasyriq yang berakhir 13 Dzulhijjah 1445 H.”

Penulis Hilman Sueb Editor Azrohal Hasan

Exit mobile version