Oleh: M. Ainul Yaqin, Staf Pengajar Ilmu Falak Ponpes Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan
Pada tahun 2016, sebuah tonggak penting dalam upaya menyatukan umat Islam secara global telah tercapai melalui konferensi internasional di Istanbul, Turki. Di sana, 140 peserta dari 60 negara, termasuk wakil-wakil dari Indonesia, berkumpul untuk membahas unifikasi kalender Islam.
Salah satu keputusan utama yang dihasilkan adalah penetapan kalender Islam global unifikatif yang mengandalkan hisab, bukan rukyat, sebagai metode penentuan awal bulan Hijriyah. Keputusan ini tidak hanya membawa harapan akan persatuan umat, tetapi juga menimbulkan tantangan dan perdebatan yang menarik untuk disimak.
Hisab vs Rukyat: Mengapa Hisab?
Dalam konteks kalender Islam global unifikatif, penggunaan hisab dipandang sebagai pendekatan yang paling logis dan konsisten. Berbeda dengan rukyat yang bergantung pada pengamatan langsung terhadap hilal (bulan sabit pertama), hisab adalah metode perhitungan astronomis yang dapat dilakukan dengan presisi tinggi dan tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca atau lokasi geografis.
Ini berarti bahwa hasil perhitungan hisab dapat diterapkan secara universal. Dengan begitu, satu hari dan satu tanggal dapat berlaku di seluruh dunia, dari Amerika hingga Asia Tenggara.
Imam An-Nawawi, seorang ulama terkenal, menyatakan bahwa rukyat di satu tempat dapat berlaku untuk seluruh penduduk bumi. Hal ini mendukung prinsip bahwa hilal yang terlihat di satu bagian dunia harus dapat diterapkan secara global.
Ini menjadi salah satu landasan penting dalam argumen untuk mengadopsi kalender Islam yang unifikatif dan berbasis hisab.
Kesatuan Matlak dan Transfer Imkanur Rukyat
Konsep kesatuan matlak dalam kalender Islam global unifikatif berarti bahwa dunia dipandang sebagai satu zona waktu besar. Yakni, penampakan hilal di satu tempat dapat dianggap berlaku untuk seluruh dunia.
Misalnya, jika hilal terlihat di Amerika, tanggal tersebut harus diterapkan secara global, termasuk di Australia, Selandia Baru, Papua, dan Asia Tenggara. Prinsip ini memungkinkan adanya keseragaman dalam penentuan hari-hari besar Islam di seluruh dunia.
Transfer imkanur rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal) juga menjadi komponen penting dalam pendekatan ini. Artinya, hilal yang terlihat di satu bagian dunia, seperti Amerika, harus diterapkan di seluruh dunia. Dengan begitu, tidak ada lagi perbedaan tanggal yang signifikan di berbagai negara.
Ini berbeda dengan metode lokal yang hanya berlaku di wilayah tertentu, seperti yang diusulkan oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang menggunakan kriteria khusus untuk Asia Tenggara.
Garis Tanggal Internasional dan Tantangannya
Salah satu keputusan penting dari konferensi di Istanbul adalah penerimaan garis tanggal internasional sebagai acuan penentuan awal bulan. Garis ini sudah digunakan secara luas untuk menentukan hari-hari besar seperti Jumat.
Dengan mengikuti garis tanggal internasional, penentuan awal bulan Hijriyah dapat dilakukan secara lebih konsisten dan terstandardisasi di seluruh dunia. Namun, ada juga usulan untuk membuat garis tanggal berdasarkan bulan (Qamariah/lunar) yang secara praktis sulit diterapkan.
Meskipun sudah ada keputusan internasional tentang unifikasi kalender Islam, tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan kriteria yang digunakan oleh berbagai negara untuk menentukan awal bulan.
Kriteria yang lebih lokal, seperti yang digunakan oleh MABIMS, cenderung membuat penentuan awal bulan menjadi lebih rumit dan tidak dapat menyatukan umat Islam secara global.
Kriteria Baru dari Kongres Istanbul 2016
Kriteria yang diusulkan pada kongres di Istanbul tahun 2016 menetapkan bahwa bulan baru harus dimulai jika elongasi minimal 8 derajat dan ketinggian bulan minimal 5 derajat terpenuhi sebelum pukul 00:00 waktu standar global (UT) di bagian mana pun di dunia.
Jika kriteria ini terpenuhi, bulan baru akan dimulai secara global. Ini memastikan bahwa tidak ada lagi perbedaan signifikan dalam penentuan awal bulan Hijriyah di berbagai negara.
Sebelumnya, pada tahun 2008, sebuah konferensi di Rabat, Maroko, juga mencoba menyusun kriteria kalender Islam global. Namun, kriteria yang dihasilkan masih memiliki kelemahan dan tidak mampu mengatasi perbedaan penentuan awal bulan di berbagai negara.
Oleh karena itu, kriteria yang lebih komprehensif dan universal yang dihasilkan dari konferensi di Istanbul pada tahun 2016 dianggap sebagai langkah maju yang signifikan.
Kalender Islam global unifikatif yang berbasis hisab adalah solusi yang paling praktis dan logis untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan waktu-waktu penting dalam kehidupan beragama.
Dengan mengadopsi pendekatan ini, umat Islam dapat menghindari perbedaan penentuan awal bulan yang sering kali menyebabkan kebingungan dan ketidakseragaman.
Keputusan dari konferensi di Istanbul pada tahun 2016 menawarkan kriteria yang lebih komprehensif dan universal yang dapat diterapkan di seluruh dunia sehingga memungkinkan satu hari dan satu tanggal berlaku di seluruh dunia. Inilah saatnya bagi umat Islam untuk bersatu dan mengadopsi kalender yang dapat menyatukan seluruh umat dalam satu kesatuan yang harmonis. (*)
Editor: AS