PWMU.CO – Sebelum berangkat haji, Kemas Abdus Syukur mendapat titipan dari saudaranya untuk meng-umrah-kan kakeknya yang sudah meninggal.
Tapi ada sedikit keraguan, karena teman-teman satu KBIH-nya (Baitul Atiq Gresik) tidak ada ada yang melakukan umrah “tambahan”, selain umrah yang berkaitan dengan haji tamattuk saat awal kedatangan di Mekah.
Sementara itu dia melihat fenomena lain yang banyak dilakukan jamaah haji Indonesia, yaitu umrah berkali-kali sebelum atau setelah menunaikan ibadah haji.
Hati Kemas gundah, sebab dia sudah berjanji kepada saudaranya tersebut. Ingin mendapat kemantapan hati, Kemas mendatangi KH Musthofa Muntasam, Pembimbing KBIH As Salam Gresik, Kamis (7/9) malam, di kamar kamar 306 Hotel Alhejazi, Syisyah, Mekah.
“Bagaimana Ustadz, hukumnya meng-umrah-kan kakek saya tersebut?” tanyanya.
“Kalau umrah badal, itu ada hadisnya dan shahih—seperti haji badal. Boleh kita meng-umrah-kan, mem-badal-kan, dari keluarganya. Dan yang meng-umrah-kan itu sudah harus umrah, sebagaimana juga badal untuk haji. Orang yang meng-haji-kan sudah harus haji dulu,” jelas Musthofa.
Yang menjadi persoalan adalah, lanjutnya, kahadiran kita di sini adalah untuk haji. “Dan tidak ada contoh dari Rasul dan Sahabat, melakukan umrah berkali-kali,” ujar alumni Pondok Pesantren Maskumambang, Dukun, Gresik itu.
Menurutnya, Rasulullah saw mukim di sini (Mekah) selama 15 hari dan satu kali saja umrah. “Bahkan Abdullah bin Umar sempat 3 bulan di sini. Juga hanya umrah sekali. Tidak mengulang-ulang umrah itu,” terangnya.
Yang ditekankan oleh Rasulullah saw, jelas Musthofa, adalah memperbanyak tawaf dan shalat 2 rakaat. “Maka orang yang melakukan tawaf 7 kali putaran dan shalat 2 rakaat pahalanya setara dengan memerdekakan budak. Itu sangat besar. Dan itulah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Bukan umrah berkali-kali yang dianjurkan. Tapi malah tawaf sunahnya itu. Tawaf sunah itu gak pakai sai,” papar dia.
Soal fenomena banyaknya jamaah haji Indonesia yang melakukan umrah berkali-kali, Musthofa mengatakan bahwa niat itu bagus. “Tapi kan kita ini dalam berislam itu mesti harus ittibak, yaitu mengikuti Rasulullah saw,” ujarnya.
Menurut Musthofa, dalam urusan dunia hukum asalnya adalah halal, kecuali yang dilarang. Artinya apa saja urusan dunia boleh kita lakukan kecuali ada dlil yang melarangnya. “Adapun urusan agama dan peribadatan hukum asalnya adalah haram. Tidak boleh dilakukan kecuali ada perintah. Artinya kita tidak boleh membuat-buat sesuatu yang bersifat ubudiyah, kalau tidak ada contoh atau perintah dari Rasul saw. Selain ada contoh dari Rasul saw tidak boleh dilakukan. Karena syarat diterimanya ibadah itu selain iman kepada Allah, ikhlas, dan ittibak, mengikuti sunah Rasul saw, ” ujarnya.
Jadi, kata dia, tidak bisa umrah itu berkali-kali. “Mengikuti siapa? Kalau hanya berdalih mumpung ada di sini, kita mempertanyakan apakah kita merasa lebih baik dari Sahabat. Sedangkan Rasulullah dan Sahabat, termasuk salafusshaleh, tidak melakukannya,” jelas Musthofa.
Kalau semua berdasarkan aji mumpung, tambahnya, maka yang sunah akhirnya tidak dijalankan. “Tapi yang tidak disunahkan, malah dikerjakan,” ujarnya sambil mengutip sabda Rasulullah saw yang artinya barang siapa yang melakukan satu amalan dalam ibadah ini yang tidak ada contoh dariku maka tertolak.
Musthofa juga mengutip Surat Alhasyr ayat 7, “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
“Ini kalau kita ingin dicintai oleh Allah,” pesan Musthofa dengan mengutip surat Ali Imran ayat 31 yang artinya, Katakanlah (Muhammad), jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”
Ditanya soal umrah yang dilakukan Aisiyah saat haji, Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Palirangan, Payaman Solokuro, Lamongan itu menjelaskan bahwa hal itu tidak bisa menjadi dasar. Itu hadis digatuk-gathukan (dicocok-cocokkan).
“Aisyah radiyallahuanha tidak pernah umrah berkali-kali. Saat haji itu Aisyah menstruasi sehingga tidak bisa umrah. Karena sedang menstruasi itu maka Rasullullah saw meminta Aisyiyah untuk tidak haji tamattuk. Haji Tamattul itu umrah dulu baru tahallul,” ungkap Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Lamongan itu.
Musthafa menjelaskan, saat itu Aisyah menangis karena tidak umrah sendiri. “Akhirnya Rasulullah memerintahkan Abdurrhaman, saudaranya, untuk mengantarkan ke Tan’im untuk mengambil miqat. Kalau ini dipakai dasar umrah berkali-kali, loh ketemu teko endi (dasarnya dari mana)?” tanya Musthofa.
Kembali pada pertanyaan Kemas di atas, maka Musthofa menyarankan, jika ada rezeki, agar nanti, selepas musim haji, bisa umrah lagi dengan niat meng-umrah-kan kakeknya yang sudah meninggal itu. Soal janji yang sudah disampaikan Kemas pada saudaranya, Musthofa menjelaskan, bahwa janji dan nazar itu wajib dipenuhi, “Tapi jika itu mengajak maksiat kepada Allah, maka boleh dibatalkan.”
Kini, Kemas pun lega. Tak ada lagi beban. Alhamdulillah Pak Haji, semoga mabrur! (MN)