Wahidul Qohar – Guru Mapel Bahasa Indonesia Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah 6 (MTs Muhsix) Sugihan, Solokuro dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah 1 Karangasem (Mamsaka) Paciran, Lamongan
PWMU.CO – Peralihan kekuasaan dalam pemerintahan seringkali membawa angin perubahan yang signifikan dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan. Ketika seorang presiden baru menjabat, harapan dan kekhawatiran muncul seiring dengan janji-janji kampanye yang mungkin menggugah semangat pembaruan atau justru menimbulkan keresahan. Di satu sisi, ada optimisme terhadap kebijakan baru yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, di sisi lain, perubahan yang terlalu drastis atau kurang terencana dapat mengganggu kestabilan sistem pendidikan yang ada.
Setiap presiden baru biasanya datang dengan visi dan misi yang segar, yang diharapkan dapat membawa inovasi dalam dunia pendidikan. Contohnya, ada janji untuk meningkatkan akses pendidikan di daerah-daerah terpencil, memperbaiki infrastruktur sekolah, serta meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan dan insentif yang lebih baik. Inisiatif seperti ini tentu saja sangat dinantikan oleh banyak pihak, terutama masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan oleh kebijakan pendidikan yang kurang merata.
Selain itu, penekanan pada teknologi dan digitalisasi dalam pendidikan sering kali menjadi salah satu prioritas dalam pemerintahan baru. Di era revolusi industri 4.0, pemanfaatan teknologi dalam pendidikan merupakan suatu keharusan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan masa depan. Kebijakan yang mendukung integrasi teknologi dalam pembelajaran, seperti pengembangan kurikulum berbasis teknologi dan penyediaan perangkat digital di sekolah-sekolah, diharapkan dapat meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia di kancah global.
Tantangan Perubahan yang Terlalu Cepat
Namun, optimisme terhadap kebijakan baru ini harus diimbangi dengan kewaspadaan terhadap potensi dampak negatif dari perubahan yang terlalu cepat dan kurang terencana. Setiap kebijakan baru pasti memerlukan waktu untuk diimplementasikan secara efektif. Jika pergantian kebijakan dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan kesiapan lapangan dan sosialisasi yang memadai, bisa jadi malah menimbulkan kebingungan di kalangan guru, siswa, dan orang tua.
Misalnya, perubahan kurikulum yang sering terjadi setiap pergantian kepemimpinan dapat menjadi dilema tersendiri. Kurikulum yang baru biasanya membutuhkan adaptasi dari berbagai pihak, terutama guru yang harus memahami dan mengajarkannya dengan efektif. Jika perubahan ini terjadi terlalu sering, maka waktu yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pengajaran malah tersita untuk proses adaptasi yang berulang-ulang.
Salah satu aspek penting yang sering menjadi sorotan dalam masa peralihan presiden adalah konsistensi kebijakan pendidikan. Kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menciptakan sistem pendidikan yang stabil dan dapat diandalkan. Ketika kebijakan berubah-ubah sesuai dengan pergantian kepemimpinan, maka tujuan jangka panjang yang seharusnya dicapai mungkin tidak terlaksana dengan baik.
Di sinilah pentingnya sebuah masterplan atau rencana besar pendidikan yang memiliki landasan kuat dan diterima oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Masterplan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat diimplementasikan secara berkelanjutan, terlepas dari siapa yang menjabat sebagai presiden. Dengan demikian, setiap perubahan kebijakan tidak akan mengganggu fondasi utama yang sudah dibangun sebelumnya.
Peran Aktif Masyarakat dan Lembaga Pendidikan
Masa peralihan presiden juga menjadi momen penting bagi masyarakat dan lembaga pendidikan untuk berperan aktif dalam proses pembentukan dan evaluasi kebijakan. Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan dan kritik yang konstruktif sangat dibutuhkan untuk memastikan kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, juga harus proaktif dalam beradaptasi dan mendukung kebijakan baru yang dianggap positif.
Dalam hal ini, transparansi dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci utama. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang luas, mendengarkan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, serta menjelaskan secara transparan setiap kebijakan yang akan diambil. Hanya dengan cara ini, kebijakan pendidikan yang baru dapat diimplementasikan dengan efektif dan mendapat dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa peralihan jabatan presiden selalu membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Sebab proses transisi ini juga menyimpan dilema dan tantangan yang perlu diatasi dengan bijaksana. Optimisme terhadap kebijakan baru harus diimbangi dengan kewaspadaan terhadap dampak perubahan yang terlalu cepat. Konsistensi kebijakan dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci utama untuk mencapai sistem pendidikan yang stabil dan berkualitas. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dan lembaga pendidikan dalam proses pembentukan kebijakan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang terjadi benar-benar membawa manfaat yang positif bagi seluruh pihak. Hanya dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, harapan untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik di masa depan dapat terwujud.
Editor Teguh Imami