(Bedhol Negoro, 3)
Oleh: Emha Ainun Nadjib
PWMU.CO – Sebelum meneruskan “alur”, mohon izin saya “insert” atau “inbox” dulu. Tentang fenomena budaya dan sikap hidup “mendita”, atau “nyufi”, atau ada yang menyebutnya “mbudha”. Berabad-abad sejarah di masa silam kita, manusia sudah punya peradaban yang berdasar persepsi bahwa dunia bukanlah tempat membangun, melainkan tempat menghimpun bahan-bahan bangunan untuk kelak mendirikan bangunan sejati di kampung halaman asal-usul manusia, yakni sorga.
Bertanyalah kepada orang-orang di desa-desa, di lereng gunung, bahkan di pasar dan jalanan kota: kita hidup di dunia ini sebenarnya “ngapain” to? Semua jawabannya sama: “Mampir ngombe”. Mampir minum sejenak. Kita bukan makhluk bumi yang berjuang mencari sorga.
Kita adalah penduduk sorga yang sedang diuji sejenak di dunia. Kita bukan makhluk jasmani yang mengarungi rohani. Kita adalah makhluk rohani yang berjuang untuk tidak diperdaya oleh jasmani. Kita adalah pejuang spiritual yang berperang melawan nafsu materialisme. Berperang di ranah dan secara ilmu, mental, nurani, budaya dan peradaban.
(Kolom terkait: Cerita Cak Nun tentang Pasukan 9 Kuda Putih yang Bikin Prabu Brawijaya Terkesima)
(Kolom terkait: Cak Nun tentang Kode “Sirna Ilang”, Surat Sunan Kalijaga ke Prabu Brawijaya)
Tradisi baku para pemimpin dan pejabat di masa lalu adalah “mendita”, mem-Pandita. Substansinya sama dengan “nyufi” atau ‘mbudha”. Yakni mengambil jarak dari jabatan, kekuasaan, harta benda dan segala nafsu keduniaan. Ada yang menunggu jabatannya usai. Ada yang pensiun dini seperti Adipati Terung yang menyepi sebagai Panembahan Bodho. Perhatikan ia menyebut dirinya “bodho”. Di puncak ilmu, pengetahuan dan pengalamannya, manusia menemukan “bodho”nya. Itu tradisi “zuhud”, tidak diperbudak oleh dunia, tidak mengemis kepada dunia.
Perdana Menteri Majapahit Sang Gadjah Mada pun melewati alur ini: menyingkir dari Keraton, bergubug di pelosok, banyak anak-anak muda datang “nyantrik” sehingga menjadi Cantrik. Lainnya berdatangan “nyantri” sehingga menjadi Santri beliau. Bahkan salah seorang putra Prabu Brawijaya V diasuh oleh Gadjah Mada lelaku rohani. Latihan iktikaf. Meditasi. Kontemplasi. Bertapa. Perjalanan memasuki jagat diri sendiri.
Kebanyakan orang sekarang mencari kebahagiaan dengan melakukan perjalanan keluar dirinya, membangun gedung-gedung dan menyelenggarakan kemudahan-kemudahan hidup melalui teknologi. Orang dulu menemukan kebahagiaan sesudah menempuh perjalanan ke dalam dirinya. Menemukan kesejatian dirinya, yang berlaku abadi. Kalau bicara menyebut Tuhan, orang biasanya menudingkan tangannya ke langit. Padahal para pejalan “mendita”, “nyufi” dan “mbudha”, menemukan langit dan Penciptanya di lubuk kedalaman dirinya. Ufuk itu di lubuk, lubuk itu di ufuk.
Sunan Kalijaga bahkan sepanjang hidupnya berdomisili di ufuk lubuk atau lubuk ufuk. Ia tidak berputar melewati kekuasaan, jabatan, kursi-kursi fatamorgana di Keraton. Tidak menghabiskan waktu untuk memperjuangkan karier dan kejayaan, meskipun beliau tidak sanggup mengelakkan diri dari kemasyhuran. Kerajaan dan rakyatnya, Kesultanan dengan ummatnya, adalah bebatuan dan kerikil-kerikil yang bertempat tinggal di sahara rohani dan pepohonan cinta di dalam dirinya.
(Baca juga: Cak Nun tentang Pemimpin yang “Tuhan”, Jilbab Kanjeng Ratu Kidul)
Cobalah berpikir tentang kekuasaan politik yang komponennya adalah kekuatan, kesaktian, modal-modal untuk menguasai, serta “kepemilikan” atas massa atau rakyat. Atau sebut: kharisma, “attractiveness” dan ekspertasi. “Awu” atau kharisma, jangan tanyakan lagi. Legenda mempercayai Kalijaga muda adalah penjahat begal jalanan yang digelari Brandal Lokajaya. Apa yang membuat dia merampok harta orang kecil, padahal dia putra Bupati Tuban, yang secara ekonomi tak kurang suatu apa. Memamerkan kesaktian? Sakti apaan kalau sekadar mengalahkan pedagang-pedagang kecil di bulak-bulak?
Lebih rasional kalau yang Raden Sahid lakukan adalah memancing datangnya Sunan Bonang, seniornya, karena mengincar “Teken” atau tongkat beliau agar dipinjamkan. Untuk sewaktu-waktu kalau diperlukan bisa dijadikan tombak, pedang atau cambuk atau apa saja, tergantung musuh yang dihadapinya. Juga, di samping mereguk “karomah”nya, kalau Teken itu berpindah ke tangannya: secara psikologis itu menjadi lambang pendelegasian oleh generasi tua ke yang muda.
Dan Sunan Bonang benar-benar datang di tengah ia merampok, menaklukkan Kalijaga. Sunan Bonang menancapkan Tekennya di tepi sungai, dan memerintahkan agar Sahid menjaganya selama setahun. Maka setahun kemudian Teken itu tergenggam di tangan Sunan Kalijaga.
(Baca juga: Blak-blakan Cak Nun soal Kondisi Indonesia: Tinggal Ditolong Tuhan apa Tidak…)
Itu dari sisi inner-software charisma, di mana seniornya bisa ia pancing. Attractiveness? Kapan-kapan kita menguak kisah Kanjeng Sunan di Pandanaran Semarang, Blambangan, Mangiran, seputar Gunung Merapi dan banyak lagi. Ekspertasi? Sunan Kalijaga adalah pendekar dukdeng, budayawan ekstra-kreatif, Ulama dengan kelengkapan syar’i, tasawuf, pengetahuan alam, jam terbang pengelolaan sosial, Negarawan mumpuni, ahli pertanian, karawitan, ilusionis kelas ekstra dan macam-macam lagi.
Maka, dengan semua “sulthon” (menurut definisi Allah) itu, kesaktian, persenjataan dan akses terhadap rakyat maupun apa saja yang diperlukan untuk berkuasa: kenapa bukan Sunan Kalijaga saja yang ambil alih kekuasaan Brawijaya V, justru untuk menata kembali kekuatannya di tengah krisis? Kenapa bukan Raden Sahid ini saja mengkudeta Keraton Majapahit agar gangguan, penggerogotan dan serangan Girindrawardhana Kediri bisa dibereskan? Siapa yang sanggup melawan komponen-komponen lengkap Sunan Kalijaga untuk berkuasa?
Kenapa Kalijaga hanya meletakkan diri di pinggiran. Memandu proses transformasi. Bedhol negoro. Transmigrasi atau Imigrasi massal. Membagi wilayah-wilayah martabat semua pihak secara bijaksana. Mengkader kepemimpinan sebagian dari 117 putra Brawijaya V untuk mengayomi penduduk-penduduk Jawa dan Nusantara. Mengalihkan secara strategis wilayah pijak pemerintahan baru. Termasuk mengayomi dan menyiapkan Pesanggrahan proses “mendita”nya Brawijaya V di tlatah Gunung Lawu. Karena Raja terakhir Majapahit ini tidak mau memotong rambut panjangnya, sebagai sanepan bahwa ia tidak mau begitu saja “ditelan” atau “menelan” Islam. Melepas secara demokratis mobilitas bedhol negoro ke arah barat maupun ke timur hingga wilayah Kerajaan Klungkung, yang memang merupakan imigran perintis dari Majapahit.
(Baca juga: Keterjebakan Politik Identitas dan Harapan Cak Nun pada Muhammadiyah)
Kenapa Sunan Kalijaga tidak menyetujui niat untuk memusuhi Majapahit? Sehingga tanpa bisa dikendalikan akhirnya terjadi dua kali bentrok yang menewaskan Bapaknya Sunan Kudus. Kenapa ia mengahalangi niatan untuk mengkudeta kekuasaan Majapahit. Meskipun kemudian Sunan Kalijaga gagal melindungi Nyoo Lai Wa, Gubernur terakhir Provinsi Majapahit, yang dikeroyok oleh rakyatnya sendiri yang mengamuk karena pemimpinnya tidak mampu membangkitkan kembali kejayaan Majapahit seperti dulu.
Daripada Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya bertengkar tak habis-habis melawan Arya Penangsang yang merasa berhak atas tahta, atau ada latar belakang yang lain, misalnya Ahlussunnah vs Syi’ah. Sampai-sampai Pangeran Benowo, putra Hadiwijaya, bosan dan jijik terhadap perilaku politik nasional, sehingga menyingkir dan “mendita” dini ke daerah Banyumas dan mendirikan Pesantren – kenapa Sunan Kalijaga tidak ambil alih saja kekuasan Demak dan kemudian Pajang? Kenapa bukan Sunan Kalijaga saja yang naik tahta menjadi Pemimpin Nasional bangsanya?
Sampai-sampai keturunan ke-9 Benowo saya desak untuk naik tahta di Istana NKRI. Yakni Pangeran Abdurrahman Wahid. Dengan menyiapkan segala mekanisme politik dan strategi pemenangannya. Turunan-9 ini harus mudik ke Istana, membayar hutang kakek buyutnya Pangeran Benowo. Lain pasal bahwa kemudian yang berlangsung tidak sebagaimana yang saya bayangkan.
Jadi kenapa bukan Sunan Kalijaga saja yang menjadi Raja? Kenapa bukan Nabi Khidlir saja yang tampil menaklukkan Fir`aun? Apa susahnya bagi Khidlir untuk “nylentik” Fir`aun? Kenapa harus Musa yang melawan, yang berguru kepada Khidlir terbukti tidak lulus? Kenapa? Itu tidak rasional menurut asas dan prinsip aktivisme.
(Baca juga: Pilgub, Pilpres, Pilnab, dan Piltu Menurut Cak Nun)
Mungkin karena Negoro sudah bedhol dari diri Sunan Kalijaga. Mungkin Negara bukan arena di mana Sunan Kalijaga memperjuangkan dirinya. Negara bersemayam di ruang cinta kalbunya. Sunan Kalijaga sudah selesai dengan dirinya. Ia tidak memerlukan Negara untuk minta atau menagih hak apa-apa. Ia justru yang bertugas untuk bershadaqah kepada Negara, menyayangi rakyatnya, mengelola sebisa-bisa kadar kemashlahatan penduduknya.
Tapi kenapa bukan Sunan Kalijaga saja yang minimal “main urat leher” dan menjadi Raja? Kenapa? Apakah karena ia “zuhud”? Tidak mau mengemis kepada Negara? Ataukah ada pihak lain yang me-Raja-kan seseorang? Baik untuk maksud pelimpahan rahmat, untuk ujian, untuk peringatan, atau untuk hukuman? Atau malah ada pihak lain lagi yang me-Raja-kan seseorang untuk program penaklukan dan penguasaan.
(Bersambung): Cak Nun tentang Bagaimana Wajah Gadjah Mada: Merasa Tahu dan sok Tahu.