(Bedhol Negoro, 4)
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ibarat Bedhol Negoro adalah kelapa, mohon izin saya merasa perlu nyicil menelusuri secara bertahap dan pelan-pelan kulit halus luarnya, sabutnya, batoknya, kerambilnya, isi cairannya, bahkan mungkin manggar, glugu dan blaraknya.
Gara-gara di tulisan saya menyebut Sunan Kalijaga, sejumlah orang menyangka saya mengerti tentang beliau. Padahal tidak ada apapun dalam hidup ini yang saya benar-benar tahu. Saya hanya merasa tahu. Dan sering sok tahu.
Misalnya saya merasa tahu sedikit mengenai sehelai daun yang mengering, tetapi 99% pengetahuan yang menyangkut asal-usulnya, sanad penciptaannya, dasar irodahnya, spesifikasi dzatiyahnya, kebijakan rububiyah diadakannya, ketentuan isimnya, posisi fi’ilnya, pilihan sifat dan wujudiyahnya, dan beribu hal lagi, sama sekali saya tidak tahu. Setiap zarrah itu tak terbatas, meskipun benda.
(Kolom terkait: Cak Nun tentang Kenapa Tidak Kudeta: Sunan Kalijaga yang tidak Setujui Niat Memusuhi Majapahit)
Apalagi tentang Sunan Kalijaga. Sedangkan kawruh saya tentang diri saya sendiri pun sedang terus saya cari, kejar, pelajari, lacak, dan masih jauh dari tahu. Para Guru mengatakan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Robbahu”. Saya sering diam-diam menggeremangkan logika dialektisnya: “man ‘arafa Robbahu faqad ‘arafa nafsahu”. Kedua-duanya saya belum pernah benar-benar tahu.
Tetapi karena sudah terjebak dan terpojok, saya wajib menjawab.
“Mbah, siapa sih sebenarnya Sunan Kalijaga itu?”
Saya mantap-mantapkan menjawab: “Sunan Kalijaga adalah Semar Bodronoyo sekaligus Panembahan Ismoyo, juga Prabu Kresna sekaligus Wisanggeni atau Ontoseno…”
“Lho ditanya tentang Sunan Kalijaga kok malah menyebut figur-figur lain”, si penanya memprotes.
Tentu saja saya kebingungan. Jawaban saya itu bukan berasal dari pengetahuan saya, melainkan sekadar membaca running text di layar otak saya.
(Kolom terkait: Cak Nun tentang Kode “Sirna Ilang”, Surat Sunan Kalijaga ke Prabu Brawijaya)
“Memahami manusia, apalagi multikarakter seperti Sunan Kalijaga, diperlukan kesabaran, karena harus tahap demi tahap. Kalau sekadar tubuh dan wajahnya mungkin tidak terlalu ruwet. Tapi andaikan saya lukis wajah beliau, apa landasannya bagi siapapun untuk percaya bahwa itu wajah Sunan Kalijaga?”
“Maksud Mbah?”
“Seperti wajah dan badan gempal Perdana Menteri Gadjah Mada yang dikenal sekarang, yang selalu digambar-gambar ulang untuk berbagai keperluan – atas dasar metodologi ilmiah apa sehingga itu disimpulkan sebagai wajah Gadjah Mada?”
“Kan semua orang yakin itu Gadjah Mada, Mbah”
“Semua orang yakin. Berarti landasannya adalah keyakinan. Apakah keyakinan bisa dibenarkan oleh prinsip ilmu yang kita anut di Sekolah-sekolah?”
“Kan tidak ada sanggahan atau penolakan dari para sejarawan”
“Apakah kebenaran menjadi benar-benar kebenaran hanya karena tidak dibantah atau disanggah?”
(Kolom terkait: Cerita Cak Nun tentang Pasukan 9 Kuda Putih yang Bikin Prabu Brawijaya Terkesima)
Si penanya tertawa. “Mbah, saya menemui Sampeyan ini untuk bertanya. Kok malah saya ditanya-tanya terus…”
“Bagaimana kalau wajah yang diyakini sebagai wajah Gadjah Mada itu ternyata wajah Nambi, Ronggolawe, Raden Wijaya, atau Damarwulan, Layang Seto kembaran Layang Kumitir, atau malahan seorang pelawak di zaman itu?”
Si penanya mulai meradang. “Yang saya tanyakan adalah Sunan Kalijaga, Mbah, bukan Gadjah Mada…”
“Bagaimana kalau ada yang menyatakan bahwa Gadjah Mada itu asli Tangbatang dekat Sumenep Madura?”, saya mengejar terus, meskipun tidak untuk mendapatkan apa-apa, “Dan Sumpah Palapa itu bunyi aslinya adalah Sumpah Lapa-Lapa. Tapi karena Gadjah Mada orang Madura maka membacanya Palapa, sebagaimana Ronto-Ronto menjadi Toronto?”
“Saya ini serius, Mbah…”
“Bagaimana kalau dulu ada seorang sejarawan memeriksa-meriksa reruntuhan patung-patung di Trowulan, kemudian menemukan seonggok kepala, yang menurut selera dia wajah semacam itulah seharusnya wajah Gadjah Mada, sesuai dengan kehebatan, kesaktian dan kepahlawanannya?”
(Baca juga: Cak Nun soal Budaya Politik Nasional: Pilih Celana atau Makanan; Korupsi atau Rasa Malu?)
Kemudian saya tertawa terpingkal-pingkal, karena running text yang saya lihat ada emoticon wajah tertawa lebar.
“Baiklah, Mbah”, katanya, “Kenapa Sunan Kalijaga dihubungkan dengan Semar, Kresna, Wisanggeni dan Ontoseno?”
“Tidak boleh kah?”
“Lha wong Sunan Kalijaga saja belum tentu nyata, kok Njenengan malah melebar ke yang lebih tidak nyata lagi. Semar, Kresna, Wisanggeni dan Ontoseno kan cuma wayang. Cuma dunia bayang-bayang…”
Mendengar pernyataan itu tiba-tiba percepatan running text meningkat. Saya agak kelabakan.
(Bersambung): Cak Nun tentang Wayang Indonesia: Indonesia yang Tidak Peduli pada Indonesia.