(Bedhol Negoro, 6)
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Tamu yang lain lagi memberondong saya dengan parade pertanyaan yang bobotnya bisa membuat kepala saya retak. Sekumpulan anak-anak muda yang luar biasa: cerdas, berani menerjang, pandangannya penuh lengkungan dan lipatan dalam bulatan. Mereka bukan “anak didik Indonesia”. Mereka santrinya Tuhan. ‘Allamal insana ma lam ya’lam. Allah mengajarkan kepada mereka apa-apa yang mereka sebelumnya belum mengetahui.
Di hadapan mereka, saya menjadi orang tua dungu yang tidak efektif, sakit-sakitan sehingga sering muntah-muntah. Sementara mereka tegak berdiri dan berjalan dengan kewaspadaan terhadap masa depan. Ittaqullah waltandhur nafsun ma qaddamat lighod wattaqullah. Anak-anak muda pentaqwa Allah dengan mewaspadai kehidupan, kemudian berjalan mengarungi masa kini hingga ke depannya, tetap dengan kewaspadaan terus di setiap langkahnya.
“Buktikan apa benar Walisongo itu benar-benar ada”, salah seorang menerjang, “Beberkan kepada kami fakta bahwa Majapahit berkuasa se-Nusantara, atau bahkan se-Asia Tenggara. Sodorkan kepada saya bahwa bendera Gula Kelapa adalah sanad utama sejarah Merah Putih Indonesia Raya. Bahwa Gadjah Mada dan Sunan Kalijaga itu bukan dongeng. Bahwa Ken Arok itu bukan rekayasa kolonial, untuk membuat bangsa Indonesia merasa bahwa nenek moyang mereka memang kejam dan culas”
(Kolom terkait: Cerita Cak Nun tentang Pasukan 9 Kuda Putih yang Bikin Prabu Brawijaya Terkesima dan Cak Nun tentang Kode “Sirna Ilang”, Surat Sunan Kalijaga ke Prabu Brawijaya)
Badan saya gemetar, wajah saya pucat, otak saya buntu. Dengan gugup saya terpaksa menjawab: “Anak-anakku, maaf-maaf ya. Setelah usia Bapak meluncur di atas angka 60, Bapak semakin menemukan bahwa manusia, masyarakat, Negara dan dunia ini ternyata alam ghoib…”
“Ghoib bagaimana maksudnya, Pak?”, lainnya bertanya.
“Saya pikir saya tahu, ternyata tidak. Saya sangka saya mengerti, ternyata tidak. Ghoib adalah segala sesuatu yang saya tidak, tahu, belum tahu, gagal tahu, salah tahu, meleset tahu, terbalik tahu. Dan Indonesia adalah alam paling ghoib yang letaknya jauh di lubuk paling dalam dari kekelaman yang remang-remang…”
“Aaah, Bapak ini lebay!”
Disusul seorang lainnya: “Kita cespleng saja lah Pak…”
“Aduh anak-anakku mohon jangan terlalu keras kepada orang tua yang hatinya sudah amat ringkih. Pertanyaan anak-anakku ini seperti nge-bom semut. Bapak ini bukan siapapun untuk sanggup mempertanggungjawabkan hal Gadjah Mada, Sunan Kalijaga dan semua itu benar atau salah, ada atau tidak ada. Yang hari ini saja alam ghoib, apalagi yang dulu-dulu. Bapak ini setengah mati berusaha menguak kegelapan, menyibak alam ghoib itu, supaya nanti tidak tiba-tiba mati gelap dan buta…”
(Kolom terkait: Cak Nun tentang Kenapa Tidak Kudeta: Sunan Kalijaga yang tidak Setujui Niat Memusuhi Majapahit)
“Tapi kan Bapak mantap banget ngomongin itu semua?”
Saya tertawa. Puji Tuhan ternyata saya masih bisa tertawa. “Hidupnya Bapak ini tidak pernah mantap, anak-anak. Lha kalau omong juga tidak mantap, kan jadi sempurna ketidakmantapan Bapak”
“Untuk apa menuliskan sesuatu yang Bapak sendiri tidak tahu?”
“Lho, Bapak tahu, Nak. Kan saya sudah bilang: itu alam ghoib. Jangankan hal-hal besar seperti itu, sedangkan hari dan tanggal kelahiran Kakek pun Bapak tidak tahu. Bahkan Kakeknya Bapak sendiri juga tidak tahu. Kalau Bapak nulis Walisongo, justru menunggu penegasan dari anak-anakku dan siapapun bahwa Walisongo itu tidak ada. Bahwa wilayah kekuasaan Majapahit itu omong kosong. Bahwa Gula Kelapa itu tak ada kaitannya dengan bendera nasional kita. Serta bahwa Gadjah Mada dan Sunan Kalijaga itu sejenis dongeng Thok-Thok-Ugel…”
Saya rasakan anak-anak itu mulai jengkel. Dia kasih kerjaan ke saya, malah saya kasih kerjaan balik. Mereka agak bodoh karena menyangka saya pinter. Mungkin agak parah ketidaktahuannya, karena mengira saya tahu.
(Kolom terkait: Cak Nun tentang Bagaimana Wajah Gadjah Mada: Merasa Tahu dan sok Tahu dan Cak Nun tentang Wayang Indonesia: Indonesia yang Tidak Peduli pada Indonesia)
“Anak-anakku salah menentukan tuan rumah”, saya menambahi, “Kalau anak-anakku datang dengan seribu pertanyaan, maka Bapak juga siap dengan minimal sepuluh ribu pertanyaan. Sebab anak-anakku jauh lebih advanced dari saya. Kalau anak-anakku mengantongi seribu jawaban tentang masa silam bangsa kita, Bapak cukup menandingi dengan satu biji jawaban. Yakni kepastian tentang ketidakpastian. Ya alam ghoib tadi itu. Bapak sangat lama mengikuti parade ketidaktahuan, festival ketidakpahaman dan turnamen ketidakpahaman. Hasilnya aneh: sekarang Bapak justru sangat menikmati ketidaktahuan. Kalau ada tamu datang, Bapak cemas, jangan-jangan dia seorang Mursyid yang akan menguakkan alam ghoib itu, sehingga Bapak akan mulai kehilangan kenikmatan…”
Dialog kami mandeg. Karena mereka membawa seribu “tidak”, sementara saya tak punya satu pun “ya” yang benar-benar “ya”, kecuali alam ghoib itu. Saya sangat kagum kepada siapapun, orang sekolahan, orang kebatinan, yang perpustakaannya manual, digital atau bacaan-bacaan penuh cahaya di tengah gelap gulita hutan belantara – yang mampu menemukan bahwa Indonesia atau Jokowi bukan alam ghoib.
Akhirnya tanpa sengaja kami terseret ke tengah lautan antara benua “ya” dengan benua “tidak”. Memang ternyata demikianlah kehidupan. Demikian pula koordinat manusia. Ya-nya manusia tidak pernah sungguh-sungguh ya. Tidak-nya manusia tidak pernah benar-benar tidak. Hakikat hidup manusia adalah “semoga”.
Bahkan si manusia ini sendiri apakah ada atau tidak ada: termasuk alam ghoib. Apakah ya atau tidak. Ada yang bagaimana dan tiada yang macam apa. Ya menurut resolusi pandang yang mana, tidak berdasarkan spektrum pandang yang bagaimana. Manusia ini dibilang sekadar animasi, ya mungkin. Dibilang sungguh-sungguh ada, rasanya ya juga. Buktinya kita pusing kepala tatkala duduk di pantai, memandang laut luas sambil menyongsong datangnya kapal impor garam.
Kita ini dibilang subjek, sutradara, diri yang mandiri, terkadang seperti ya. Tapi di tengah rasa mandiri itu kita sangat sering menemukan momentum bahwa ternyata kita hanya diselenggarakan, diwayangkan, atau disutradarai. Sangat banyak faktor yang menunjukkan bahwa kita tidak sepenuhnya mandiri, misalnya detak jantung dan aliran darah kita. Kita tidak bisa bikin skedul harian jam berapa saja mau buang air kecil dan besar. Tidur kita tak menjamin bangun kita. Kalau jualan bebek goreng tak tahu berapa yang akan dibeli orang. Kalau narik ojek tak bisa memastikan akan dapat penumpang berapa. Kita hanya berusaha memperhitungkan, tanpa bisa memastikan.
(Baca juga: Ini Kata Cak Nun: Hinalah Aku, Jangan Islam, Please dan Cak Nun tentang Pemimpin yang “Tuhan”, Jilbab Kanjeng Ratu Kidul)
“Maha Suci Tuhan yang memperjalankan hamba-Nya di malam hari”. Tidak siang hari. Melainkan malam hari yang gelap. Kondisi tubuh kita dan istri normal dan subur, tapi sesudah tidur dengannya, ternyata belum tentu hamil. Kita tak bisa menjadwal kematian kita akan terjadi sebelum atau sesudah pensiun. Kita kredit rumah bayar 10 tahun: itu bukan kepastian, melainkan optimisme dan keyakinan. Sepulang dari kantor developer, sore harinya kita bisa dipindah ke rumah duka. Padahal tidak sakit apa-apa. Karena kematian memang tidak ada kaitannya dengan sakit atau tidak sakit.
Belum ketemu apa sebenarnya penyebab kanker. Tidak pula mampu memastikan apakah akan datang lagi makhluk ghoib yang bernama virus ini atau bakteri itu. Lantas ada tamu datang mau memastikan kepada saya tentang tinggi badan Gadjah Mada, warna kulit Sunan Kalijaga. Juga data KTP-nya Nabi Khidlir. Jenis rambut Nabi Nuh keriting atau ikal atau lurus. Berapa panjang jempol kaki Jengis Khan. Apakah Bapa Adam punya pusar. Cara Ibu Hawa memotong kuku pakai kayu tajam atau pakai gigi. Selama pelayaran bahtera Nuh, apa benar makanan mereka adalah padatan témpé. Sebab kalau tidak, bagaimana memperoleh bahan mentahnya dan masak-manualnya untuk ribuan binatang dan hampir seratus manusia. Belum lagi diganggu-ganggu oleh Iblis yang melukai Gajah sehingga keluar Cèlèng, kemudian melukai Cèlèng hingga keluar tikus.
Sedangkan saya tidak punya bahan dan jalan sama sekali untuk memastikan berapa jumlah anaknya Bung Karno. Berapa di antara mereka yang menjadi stakeholders politik dan mekanisme hukum nasional sekarang ini. Tidak bisa melacak dulu Bung Tomo tokoh utama 10 November ataukah dia hanya yang ditugasi ke Radio untuk membakar jiwa kepahlawanan arek-arek Surabaya. Berapa jumlah dukun Pak Harto tatkala berkuasa. Apa hubungan antara Jenderal Benny Moerdani dengan Gajah Putih dari Aceh. Apa beda antara Nyi Roro Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul. Yang mana yang Nawangwulan, dan mana yang Nawangsih. Mereka berdua lahir sebelum atau sesudah Yesus. Siapa di antara mereka yang di-SMS oleh Gus Dur disarankan agar pakai jilbab.
(Baca juga: Permohonan Cak Nun agar Nabi Khidlir Hadir Kembali dan Memutar Arah Istana)
Tidak ghoib sama sekali bagi Allah. ‘Alimul ghoibi was-syahadah. Tetapi saya muta’allimul ghoib, sudah setua ini baru belajar nithili layar tabir ghoib. Tapi semakin hari Indonesia semakin ghoib. Barat, Arab, pembangunan, globalisasi, bid’ah, sesat, kafir, radikal, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika tetap saja ghoib. Apalagi Cina, ghoibul ghuyub, seghoib-ghoibnya keghoiban….***
(Bersambung) Cak Nun tentang Tuhan sebagai Pelengkap Penderita: Apa Maksud NKRI Harga Mati?