PWMU.CO – Beberapa teman saya di Facebook yang berbahasa Inggris mungkin belum mengetahui tentang organisasi modern ini (Muhammadiyah).
Tentang Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama. Ia memiliki lebih dari 60 juta anggota di seluruh dunia dan telah berkembang setidaknya di tiga puluh negara, termasuk Indonesia. Fokusnya selalu pada kesejahteraan, keadilan sosial umat Islam, dan masyarakat Indonesia. Muhammadiyah berada dalam kerangka Islam Sunni, yang didasarkan pada surat al-Maun sebagai prinsip teologis. Sayap wanitanya adalah Aisyiyah.
Keuskupan ini (struktur pemerintahannya) mempunyai 35 keuskupan agung (Pimpinan Wilayah) di 35 provinsi (saat ini Indonesia terbagi menjadi 38 provinsi).
Ke-35 keuskupan agung tersebut terbagi menjadi 475 keuskupan (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) di 475 kota dan atau kabupaten. Kemudian 475 keuskupan dibagi menjadi 3947 cabang (kecamatan) di 3947 daerah besar atau kecil. (Saya menggunakan istilah eklesiologi Kristen di sini untuk memudahkannya. Sistem pemerintahan di Muhammadiyah hampir bersifat episkopal tetapi kepemimpinannya selalu bersifat kolegial kolektif).
Kemudian 3947 cabang tersebut terbagi menjadi 14670 ranting yang berada di kelurahan dan/atau desa (sementara itu di Indonesia ada 17514 pulau). Terdapat 30 cabang khusus yang berada di 30 negara di luar Indonesia. Di tingkat Pusat ada 31 badan (Majelis dan Lembaga) sebagai pembantu biro pusat. Ada sayap otonomi lain selain Aisyiyah, yaitu Nasyiatul Aisyiyah, Organisasi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Pencak silat Tapak Suci, dan Hizbul Wathan pramuka Muhammadiyah. Salah satu yang termuda adalah organisasi difabel, Hidimu, tempat saya aktif saat ini.
Sampai saat ini (Muhammadiyah) mempunyai 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (82 perguruan tinggi, 53 institut, 36 lainnya). Muhammadiyah juga mempunyai 122 rumah sakit (RS), sementara ini sekitar 20 dalam pembanguann (saya melahirkan putri saya di rumah sakit muhammadiyah). Ada 231 klinik dan 5.345 sekolah. Mempunyai bisnis sosial sebanyak 1.012 unit. Dan banyak panti asuhan serta panti jompo.
Wakaf Muhammadiyah ada di 20.465 tempat (termasuk wakaf hibah kakek buyut saya). Muhammadiyah mempunyai tanah dengan luas total 214.742.677 m², setara dengan empat kali luas Pulau Bali.
Berbeda dengan apa yang dipikirkan dan dibicarakan banyak orang tentang Muhammadiyah yang biasanya dikaitkan dengan Wahabisme, justru sangat berwarna-warni organisasinya. Saya telah mengumpulkan beberapa saksi lisan bahwa banyak anggota pertama dan pendiri Muhammadiyah di keuskupan agung masing-masing adalah penganut sufi. Buya Hamka yang pernah menjadi pemimpin juga seorang ulama tasawuf. Kakek buyut saya juga seorang sufi, dan ayah saya juga seorang ulama sufistik.
Menurut saya, saat ini Muhammadiyah sebenarnya seperti tarekat sufi modern, hanya saja tanpa silsilah barakat , melainkan kepada Sayid Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis ) sang pendiri, hanya saja dengan upacara dan pesta yang sangat sederhana (sehingga lebih banyak waktu bekerja untuk orang-orang miskin, kelompok lemah, yang terpinggirkan, yatim piatu, orang-orang sakit, anak-anak, lanjut usia dan orang orang yang membutuhkan).
Tentang Gayatri
Raden Ajeng Gayatri atau Gayatri Wedotami atau Wedotami Muthari atau Syekhah Hefzibah, adalah perempuan kelahiran Jakarta, 4 September 1979.
Putri dari sastrawan dan guru besar Prof Abdul hadi WM ini mendeklarasikan dirinya sebagai dekalogis. Ia mendapat pendidikan pertamanya di TK Aisyiyah 21 dan SD Muhammadiyah 24 Jakarta. Selain itu, Gayatri pernah mengikuti pendidikan tari Bali di Lembaga Saraswati asuhan I Gusti Kompyang Raka.
Pada tahun 1989, dia pernah menjadi model sampul untuk sisipan majalah Ayahbunda. Gayatri merupakan sosok penyair, filsuf, feminis, aktivis HAM di bidang antar iman dan kebebasan beragama, serta mentor Tarekat Daudiyah yang pertama di Indonesia.
Pada tahun 2020, Gayatri mengambil kaul brahmakarya permanen sebagai Pengantin Elia dan mendapat nama baru: Hefzibah.(*)
Penulis Dr Aribowo MS Editor Wildan Nanda Rahmatullah