Hukum Islam Santriwati Dinikahi Pengasuh Ponpes tanpa Izin Orang Tua

Alhafidz (foto: PWMU.Co)

Muhammad Al Hafidz – Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

PWMU.CO – Media sosial diramaikan oleh video seorang orang tua santriwati yang menangis setelah mengetahui anak gadisnya dinikahi oleh pengasuh pondok pesantren di Lumajang tanpa izin. Hal ini membuat orang tua santri melaporkan pengasuh ponpes tersebut ke polisi karena tidak terima putrinya dinikahi tanpa izin. Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan dan mengundang banyak komentar, terutama dari kalangan ulama dan tokoh agama.

Awalnya, sang ayah terkejut karena mendengar kabar bahwa putrinya sedang hamil. Ternyata, kehamilan tersebut disebabkan oleh pernikahan siri antara putrinya yang masih di bawah umur (16thn) dengan pengasuh ponpes. Sang ayah langsung menangis ketika mengetahui fakta tersebut. 

Hukum Pernikahan dalam Islam

Menurut hukum Islam, pernikahan memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dianggap sah. Salah satu syarat utama adalah adanya persetujuan dari wali perempuan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan tanpa wali dianggap tidak sah, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, 

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali” 

(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). 

Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan tanpa izin orang tua atau wali melanggar ketentuan syar’i.

Pandangan Ulama 

Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam salah satu ceramahnya menjelaskan bahwa pernikahan tersebut tidak sah karena tidak adanya izin dari wali perempuan serta dua orang saksi.

“Tidak sah nikah, kecuali ada izin wali dan dua saksi,” kata Ustaz Abdul Somad.

“Jadi, wahai para janda muda, jangan mau menikah tanpa wali. Jangan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Ustaz Abdul Somad juga membahas kerugian menikah siri.

“Jangan mau menikah siri, karena jika suami kalian meninggal, kalian tidak akan mendapatkan harta warisan. Tanpa surat resmi, kalian tidak bisa menuntut hak,” jelasnya.

“Jika suami meninggalkan kalian tanpa menceraikan, kalian mau menuntut ke mana?” tutupnya.

Imam Asy Syafi’i serta Imam Malik, dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan tanpa izin wali adalah batal. Mereka berpendapat bahwa peran wali sangat penting untuk memastikan kemaslahatan dan kesejahteraan pihak perempuan yang akan menikah. Wali bertanggung jawab untuk menilai calon suami dan memastikan bahwa pernikahan tersebut membawa kebaikan bagi anaknya.

Dampak dan Solusi

Kasus ini tidak hanya menimbulkan masalah hukum, tetapi juga berdampak pada citra pesantren sebagai lembaga pendidikan agama. Pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk membimbing santri dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam dengan benar. Pernikahan yang dilakukan tanpa izin orang tua dapat mencoreng reputasi pesantren dan merusak kepercayaan masyarakat.

maka dengan demikian terdapat beberapa solusi terkait hal ini yaitu

1. Pesantren perlu meningkatkan pengawasan dan memberikan pembinaan intensif mengenai adab pernikahan sesuai ajaran Islam.

2. Santri harus dipahami tentang pentingnya mengikuti prosedur hukum yang sah dalam pernikahan untuk memahami konsekuensi hukum dan sosial dari pernikahan tanpa izin.

3. Pesantren juga harus menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua atau wali santri untuk memastikan bahwa semua keputusan terkait santri, termasuk pernikahan, dilakukan dengan persetujuan wali

Kasus pernikahan santriwati dengan pengasuh ponpes tanpa izin orang tua menyoroti pentingnya pemahaman dan penerapan hukum pernikahan dalam Islam serta pentingnya menjaga integritas moral dan pendidikan di pesantren. Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, diharapkan kasus serupa dapat dicegah dan nilai-nilai Islam yang sebenarnya dapat terus dijaga. Pendapat beberapa ulama diatas menggarisbawahi bahwa pernikahan harus dilakukan sesuai syariat dan hukum yang berlaku untuk melindungi hak dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.

Editor Teguh Imami

Exit mobile version