Adnan Prayuwono – Alumnus Magister Kajian Sastra dan Budaya UNAIR
PWMU.CO – Jumat, 14 Juni 2024 Presiden Joko Widodo sempat menyinggung bahaya perubahan iklim semakin ekstrem yang disampaikannya saat Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2024 di Istana Negara. Jokowi menyebut bencana ini sebagai ‘Neraka Iklim’, sesuatu yang mengerikan dan patut diwaspadai oleh semua orang. Sebagaimana judul buku Elizabelt Kolbert, “The Sixth Extinction” (Kepunahan Keenam), sebuah kepunahan massal yang mengancam umat manusia yang juga disebabkan oleh ulah manusia. Manusia mempercepat hari penghukumannya dengan membawa Neraka turun ke Bumi. Bumi akan menjelma menjadi neraka, menjadi tempat penghukuman umat manusia akibat ulahnya sendiri.
IPPC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengingatkan bahwa manusia masih berkesempatan menundah kepunahan dengan membatasi pemanasan suhu bumi di angka 2°C. Jika manusia tidak melakukan apa-apa, kemungkinan naiknya akan sampai di angka 4°C bahkan bisa sampai 6°C. Berdasarkan AR6 (Assesment Report 6) IPCC yang diterbitkan pada Agustus 2021 mengatakan bahwa suhu global telah meningkat sebesar 1,1° C sejak abad ke-19 dan hal ini berkaitan dengan aktivitas manusia. Maka benar, bahwa tidak lama lagi neraka itu akan turun ke bumi jika manusia tidak benar-benar melakukan apa-apa untuk mengatasi krisis iklim. Lantas bagaimana umat manusia dapat menunda kedatangan kiamat itu?
Pertama, adalah dengan memahami hubungan ontologis relasi antara manusia dan alam. Sebagaimana Sarasdewi (2015) yang mendekati persoalan tersebut dengan fenomenologi lingkungan, sebagai upaya untuk memecahkan problem disekuilibrium relasi antara manusia dengan alam. Menurut Sarasdewi (2015) “ontologi adalah akar bagi segala bentuk perbaikan sistem politis, sosial, maupun ekonomi menyangkut alam.
Perubahan ontologis dapat diartikan sebagai perubahan radikal dalam memahami problem relasi manusia dengan alam. Perubahan ontologis ini akan berdampak pula terhadap perubahan pemaknaan etis dan juga epistimologis terhadap alam”. Secara sederhana artinya melalui perenungan ontologis ini, manusia dapat melakukan perubahan etis melalui tindakan etis bukan hanya karena paksaan, norma atau kebijakan negara melainkan karena hasil dari perenungan ontologis itu sendiri.
Bagi Sarasdewi (2015) untuk menyeimbangkan kembali relasi tersebut, dapat ditempuh jika manusia menyadari betapa istimewanya bumi, dan bernilainya bagi kehidupan. Sikap meremehkan bumi adalah problem utama kondisi disekuilibrium yang saat ini mewujud ke dalam bencana Krisis Iklim.
Kedua, adalah dengan menyadari diri bahwa apa yang kita lakukan sebagai manusia untuk mengatasi problem krisis iklim ini tidaklah mungkin sempurna, dalam arti ada hal-hal yang di luar kontrol bisa ditinggalkan (sementara). Meski belum sempurna, penting untuk selalu berusaha menjadi lebih baik setiap harinya.
Afutami dalam bukunya Menjadi: Seni Membangun Kesadaran tentang Diri dan Sekitar (2022), membagi solusi ini ke dalam skala prioritas: (1) mengurangi jejak karbon diri sendiri, ini seperti menghemat listrik dan menanam pohon, secara umum bisa dengan mengadopsi gaya hidup minimalis dan juga mengurangi berbelanja pakaian dan gawai baru; (2) bergerak bersama komunitas, dan menyebarkan kesadaran mengenai isu-isu tersebut ke orang-orang tedekat; (3) mendesak pemerintah untuk menjalankan aksi iklim, seperti mendorong untuk memperluas dan melindungi area konservasi sambil mendorong investasi di energi bersih.
Ketiga, adalah dengan kembali lagi ke tanah sebagaimana Gabe Brown dalam Film Dokumenter Kiss The Ground (2020), memulihkan kembali kesehatan tanah dengan menerapkan 4 prinsip kesehatan tanah: (1) Meminimalisir pembajakan tanah (atau bahkan tidak sama sekali) karena hal ini dianggap merusak ekosistem tanah yang telah tebentuk; (2) Menutup tanah dengan tanaman (cover crops), sehingga tanah tidak langsung terpapar oleh matahari untuk mengurang penguapan air di dalamnya; (3) Menanam tumbuhan perenial dan pepohonan; (3) Melakukan pengomposan yang terintegrasi—salah satunya dengan hewan, hal ini agar kotoran hewan tidak menjadi limbah dan sekaligus, mengembalikan nutrisi ke dalam tanah sehingga semua menjadi saling terkoneksi.
Jika tanah kembali sehat, banyak masalah teratasi. Tanah subur menghasikan tumbuhan sehat, hewan sehat, manusia sehat, air sehat dan iklim yang sehat. Solusi ini dapat diterapkan mulai dari skala besar seperti pertanian, peternakan dan skala kecil sesederhana berkebun di lingkungan rumah
Keempat, adalah dengan merevisi –atau bahkan mengganti— sistem ekonomi saat ini yang jelas-jelas tidak berkelanjutan dan merusak lingkungan. Sebagaimana Magdof dan Foster (2018) menjelaskan bahwa akumulasi kapital itu tidak terbatas, sedangkan alam itu terbatas. Kapitalisme juga memutus hubungan antara manusia dengan sesama manusia, masyarakat dan alam. Setiap aktifitas ekonomi, niscaya selalu terkait dengan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan.
Magdof dan Foster (2018), juga menjelaskan “jika output dunia terus bertambah dan setiap orang di negeri berkembang berusaha mencapai standart hidup negara-negara kapitalis kaya, sementara negara-negara kapitalis kaya sendiri berusaha mempertinggi kekayaan perkapitanya yang telah besar, tak hanya polusi yang akan bertambah melebihi yang dapat diserap bumi, tetapi juga akan kehabisan sumber daya tak terbarukan yang terbatas itu”.
Lorenzo Fioramonti dalam bukunya Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di balik angka Pertumbuhan Ekonomi (2013) memberikan contoh menarik bagaimana masyarakat sipil memikirkan ulang pilar-pilar ekonomi arus utama, artinya seperti cara-cara kita berproduksi, mengkonsumsi dan peran uang. Fioramonti memberikan contoh yang dillakukan oleh Rob Hopkins pada awal tahun 2000an di Kinsale, Irlandia. Hokpins juga berfokus pada ‘Permakultur’ untuk mendesain rancangan ekologis yang selaras dengan alam.
Hopkins juga mempelopori lahirnya ‘Gerakan Transisi’ yang telah tersebar di banyak kota di seluruh dunia (salah satunya adalah Transition Town Kinsale), yakni sebuah gerakan yang membangun ulang masyarakat menuju berpertumbuhan negatif (Degrowth Society) yang lebih ramah dan selaras dengan alam.
Manusia tidak cukup memiliki banyak waktu untuk menanggulangi bencana krisis iklim ini. Solusi-solusi di atas tidak harus dijalankan secara sempurna, minimal sebagai seorang manusia setidaknya kita sudah berusaha mencoba melahan laju peningkatan suhu global ini, sebisa mungkin, selemah-lemahnya iman sesederhana membuat kompos dari sampah dapur dan memanfaatkannya kembali untuk menutrisi tanah atau sekedar hanya menanam pohon di lingkungan rumah. Namun tetap saja, pemerintah sebagai pemangku kebijakan negara punya peran yang cukup sentral untuk mengatasi masalah krisis iklim, utamanya membuat kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Membangun lingkungan yang sehat adalah investasi terbaik untuk anak cucu kelak. Sebagai penutup, mengutip Jared Diamond dalam bukunya Collapse (2017): “Kebanyakan orang yang punya anak menganggap mengamankan masa depan anak-anak kita sebagai prioritas tertinggi sehingga kita mencurahkan waktu dan uang kita untuk itu.
Kita membayar demi memperoleh pendidikan, makanan, dan pakaian untuk mereka, menulis surat wasiat untuk mereka, dan membeli asuransi jiwa untuk mereka, semuannya dengan tujuan membantu mereka menikmati hidup yang menyenangkan 50 tahun dari sekarang. Tidak masuk akal bila kita melakukan hal-hal yang merusak dunia yang akan ditinggali anak-anak kita 50 tahun dari sekarang”.
Editor Teguh Imami