Kekagumanku pada Gus Dur dan Sulitnya Melahirkan Penggantinya
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy *)
PWMU.CO – Sejak masih kecil saya sangat mengagumi Gus Dur. Tentu kekaguman saya tetap dalam kapasitas Gus Dur sebagai manusia biasa, yang mempunyai sisi kelebihan dan kelemahan.
Kekaguman saya terlebih pada dua hal. Pertama, gaya atau langgam Gus Dur dalam menyikapi rezim penguasa Orde Baru. Langgamnya sangat mengasyikkan. Tarik ulurnya dalam menyikapi penguasa Orde Baru bak bermain tarik tambang: kadang diulur, kadang ditarik. dan tarik ulurnya indah.
Gus Dur benar-benar memerankan diri sebagai seniman politik dan politik dijadikan sebagai seni.
(Baca: KH Ahmad Dahlan, Muhadjir Effendy dan Pembaruan Pendidikan)
Tengok misalnnya langgam Gus Dur dalam menyikapi deideologisasi partai politik dan ormas keagamaan yang berujung pada pemaksaan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal. Gus Dur paham betul bahwa rezim Orde Baru sangat menghendaki Pancasila menjadi asas tunggal.
Guna merealisasikannya, segala cara dilakukan untuk memecah belah kekuatan umat Islam saat itu, termasuk NU. Mula pertama rezim melakukan pecah belah NU yang ada di PPP terkait Daftar Calon Tetap (DCT) PPP untuk DPR RI Pemilu 1982 dengan menggunakan tangan Naro yang memang sejak awal disetting oleh rezim untuk menguasai PPP.
Seperti diketahui, DCT ini banyak merugikan kiai sepuh NU dan sebaliknya, menguntungkan banyak kader muda NU. Akibat DCT ini di tubuh PPP terjadi konflik hebat, antara Naro yang didukung oleh rezim dan kader muda NU dengan kalangan kiai sepuh NU.
Konflik yang awalnya bermula di tubuh PPP menjalar ke tubuh NU. Di sini rezim termasuk berhasil menciptakan konflik di tubuh NU. NU terpecah menjadi dua faksi, yaitu Faksi Cipete (identik dengan tempat tinggal KH Idham Cholid, politisi) dan Faksi Situbondo (identik dengan kediaman KH As’ad Syamsul Arifin).
Konflik ini menjadi pintu masuk bagi rezim untuk memaksakan asas tunggal Pancasila kepada NU. Setelah melalui perdebatan, baik pada Munas Alim Ulama 1983 maupun Muktamar Situbondo 1984, akhirnya NU menerima asas tunggal Pancasila.
(Baca juga: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)
Yang penarik dari penerimaan NU terhadap asas tunggal itu bukan soal penerimaannya itu sendiri, tapi timing penerimaannya. NU menerima asas tunggal jauh sebelum UU Keormasan disahkan tahun 1985. Bagi saya timing penerimaan ini merupakan kejelian politik Gus Dur. Dengan menerima asas tunggal lebih awal, maka upaya rezim untuk mengacak-acak NU lebih dalam tak lagi terjadi. Terbukti pasca Muktanar 1984 hubungan NU dengan rezim, setidaknya hingga menjelang Muktamar 1989 sangat mesrah.
Untuk diketahui bahwa selain KH Ahmad Sidik, Gus Dur menjadi aktor penting di balik penerimaan NU terhadap asas tunggal. Pada Muktamar 1989 di Yogyakarta posisi Gus Dur mulai digoyang oleh rezim, selain sempat muncul mufarraqah dari Kiai As’ad. Tapi di Muktamar 1989 Gus Dur masih dengan mudah terpilih kembali setelah menjadi calon tunggal, karena pada tahap pencalonan, calon lainnya KH Yusuf Hasyim gagal memenuhi suara minimal 40 suara.
Pada Muktamar Cipasung 1994, tentangan rezim terhadap Gus Dur semakin eksplisit. Muktamar pun berlangsung panas. Lagi-lagi, Gus Dur pun terpilih kembali sebagai Ketua Tanfidziyah. Pasca Muktamar Cipasung hubungan Gus Dur dengan Presiden Soeharto sangat buruk. Baru pada acara Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) di Genggong Probolinggo 1996 Gus Dur dan Soeharto bersalaman, yang kemudian dikenal dengan “salaman Genggong”. Saat menjelang lengser, Gus Dur termasuk salah satu tokoh yang diundang Soeharto ke Istana.
Gus Dur tidak hanya seperti tengah bermain tarik tambang, tapi juga kalau ibarat petinju itu seperti Muhammad Ali. Footworknya bagus, menari-menari terus di atas ring, untuk menghindar pukulan lawan sambil sesekali melancarkan jab, hook, dan pukulan mematikan.
Gaya “bertinju” Gus Dur ini yang membuat rezim Orde Baru emosi dan frustasi. Nah, saat ini rasanya sulit menemukan “seniman politik” dan “petinju” seperti Gus Dur.
Kedua, Gus Dur itu sangat kontroversi. Sampai saat ini rasanya tak ada tokoh sekontroversi Gus Dur. Tapi sekali lagi kontroversinya mengasyikan dan tidak kampungan. Bandingkan dengan misalnya beberapa kontroversi yang dilakukan oleh segelintir tokoh agama yang terjadi belakangan ini gayanya begitu memuakkan dan super kampungan.
Dalam menyikapi soal Wahabi dan Syiah misalnya, Gus Dur sangat kritis. Namun sikap kritis Gus Dur tak kemudian membuat para Ayatullah atau mereka yang duduk di wilayatul faqih marah. Begitu pun Kerajaan Saudi Arabiyah tak juga tersinggung. Iran dan Saudi tetap menghargai dan menghormati Gus Dur.
Bandingkan dengan sikap sebagian tokoh agama yang begitu norak dan kampungan. Satu sisi mengolok-olok Wahabi tapi memuji dan memuja Syiah atau sebaliknya. (*)
Tol Cikunir, 9/9/2017.
*) Ma’mun Murod Al-Barbasy adalah Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ