Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Literasi Lingkungan Hidup
PWMU.CO – Dalam filosofi Jawa, terdapat konsep “Adigang”, “Adigung”, dan “Adiguna” yang mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan penggunaan bijaksana dari kelebihan yang dimiliki. Meskipun berasal dari tradisi kuno, konsep ini sangat relevan dalam konteks kehidupan modern kita yang sering kali dipenuhi dengan penyalahgunaan kekuasaan, kesombongan kekayaan, dan arogansi intelektual.
Adigang: Penyalahgunaan Kekuasaan
Adigang menggambarkan orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan besar dalam masyarakat. Di zaman sekarang, kita sering menyaksikan bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan politik, ekonomi, atau sosial. Penyalahgunaan kekuasaan ini bisa berupa korupsi, penindasan, atau kebijakan yang merugikan rakyat banyak demi kepentingan segelintir orang. Filosofi Jawa mengingatkan kita bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan keadilan. Pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat dan tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau memperkaya diri sendiri.
Dalam dunia modern, kita sering melihat para pemimpin yang menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok mereka, merugikan banyak orang. Korupsi dan nepotisme menjadi hal yang biasa, menggerogoti fondasi moral masyarakat dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Adigang mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi. Pemimpin sejati adalah mereka yang memimpin dengan hati nurani, adil dalam tindakan, dan bijaksana dalam keputusan.
Adigung: Kesombongan Kekayaan dalam Kehidupan
Adigung merujuk pada kesombongan yang timbul dari kekayaan, keturunan, atau status sosial. Di era globalisasi dan kapitalisme ini, sering kali kita melihat orang-orang yang merasa superior karena kekayaan dan status sosial mereka. Kesombongan ini dapat memicu kesenjangan sosial yang semakin lebar, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas. Orang-orang yang adigung cenderung memamerkan kemewahan mereka tanpa peduli pada penderitaan orang lain.
Kita sering menyaksikan gaya hidup mewah dan pamer kekayaan di media sosial, yang memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Mereka yang memiliki kekayaan melimpah sering kali lupa bahwa kekayaan itu adalah titipan dan bukan untuk dibanggakan secara berlebihan. Filosofi Jawa mengajarkan kita untuk melihat kekayaan sebagai alat untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kekayaan seharusnya digunakan untuk membantu sesama, bukan untuk memupuk kesombongan. Dengan kekayaan, kita bisa membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Kekayaan juga bisa digunakan untuk mendukung program-program sosial yang membantu mereka yang kurang beruntung.
Adiguna: Arogansi Intelektual dan Dampaknya
Adiguna menggambarkan orang yang sombong dengan kecerdasan dan kemampuannya. Di dunia modern, di mana pengetahuan dan informasi sangat dihargai, sering kali kita menemukan individu yang merasa lebih baik dari orang lain karena kecerdasan atau prestasi akademis mereka. Arogansi intelektual ini dapat menciptakan jarak dan ketidakpercayaan antara orang-orang yang seharusnya bekerja sama untuk kemajuan bersama.
Dalam dunia akademis dan profesional, kita sering menemui individu yang meremehkan kontribusi orang lain atau menganggap diri mereka lebih superior karena gelar atau prestasi yang dimiliki. Mereka yang adiguna cenderung meremehkan pendapat orang lain dan sulit diajak bekerja sama. Filosofi Jawa mengingatkan kita bahwa kecerdasan seharusnya digunakan untuk menginspirasi dan memberdayakan orang lain, bukan untuk menonjolkan diri sendiri. Dengan kerendahan hati, kecerdasan dapat menjadi alat untuk memecahkan masalah bersama dan menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi banyak orang.
Refleksi dan Khitaman
Konsep Adigang, Adigung, dan Adiguna memberikan kita kerangka kerja yang berharga untuk mengevaluasi perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari. Kelebihan yang kita miliki, baik itu kekuasaan, kekayaan, atau kecerdasan, seharusnya tidak menjadi alasan untuk bersikap sombong atau meremehkan orang lain. Sebaliknya, kita harus menggunakan kelebihan tersebut dengan bijaksana, untuk kebaikan bersama, dan dengan kesadaran penuh bahwa semua itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, penting bagi kita untuk selalu introspeksi diri dan menjaga kerendahan hati. Dengan menghindari sifat adigang, adigung, dan adiguna, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan saling menghargai. Filosofi Jawa ini tidak hanya relevan bagi mereka yang hidup dalam budaya Jawa, tetapi juga memberikan pelajaran universal yang dapat memperkaya nilai-nilai kemanusiaan di seluruh dunia.
Setiap individu, dari berbagai latar belakang budaya, dapat belajar dari ajaran ini untuk menjadi lebih baik. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita bisa membangun komunitas yang lebih inklusif dan mendukung, di mana setiap orang merasa dihargai dan diakui tanpa melihat kekuasaan, kekayaan, atau kecerdasan mereka. Prinsip-prinsip ini mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang tidak hanya memikirkan diri sendiri tetapi juga memikirkan kesejahteraan orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.
Editor Teguh Imami