Oleh: Muhsin MK- Aktivis PCM Cipedak Jakarta Selatan
PWMU.CO – Memasuki bulan Muharram sebagian orang mengatakan usianya telah bertambah. Sebagian yang lain mengatakan malah telah berkurang umurnya. Namun soal memperhatikan umur ini sedemikian urgent bagi seorang muslim. Apalagi dalam konteks mempersiapkan diri menghadapi hari akhirat (al-Hasyr:18).
Bertambahnya Umur Manusia
Umur termasuk anugerah Allah. Bukan manusia yang punyai mau, apalagi kemauan orang lain. Tapi Allah yang menentukan batasnya. Baik hari kelahiran atau saat manusia meninggal dunia (al-Baqarah:28).
Memang manusia berdoa dan saling mendoakan agar panjang usia, namun Allah jua yang memastikan panjang atau pendeknya(al-Mukmin:67).
Manusia tak perlu risau, juga bangga, jika ternyata diberikan umur panjang. Bangga bisa membuatnya lupa diri dari bersyukur. Apalagi dia merasa khawatir, apa akan ada atau tidak orang yang mau bergaul dengannya? Apa kehadirannya diterima atau di asingkan?
Lihatlah Nabi Nuh AS yang diberikan umur panjang hingga 950 tahun. Beliau tertua diantara para Nabi yang diutus oleh Allah ke bumi. Namun beliau tidak merasa khawatir dan terus saja beramal ibadah dan berdakwah. Walau pengikutnya tidaklah banyak jumlahnya (al-Ankabut:14)
Umur Ketetapan Allah
Manusia tidak bisa ikut campur tangan dalam urusan umur ini. Mereka tidak bisa menetapkan panjang pendeknya usia. Walau Raja Namrud mengatakan bisa menghidupkan dan mematikan rakyatnya (al-Baqarah:285). Namun tanpa izin Allah, tak akan bisa dilakukannya (Ali Imran:145).
Siapa.pula yang dapat memastikan bahwa usia tua itu membuat seseorang tidak memiliki anak lagi? Atau dia tidak bisa punya teman bergaul dengan orang lain? Padahal umur manusia saja adalah Allah yang telah menetapkan (an-Nahl:70).
Nabi Zakaria AS memiliki anak setelah usia tua. Sejarah mencatat beliau dalam usia 70 tahun lebih barulah memiliki anak. Saat itu istrinya pun sudah lanjut usia dan dalam keadaan mandul (Maryam:2-6).
Namun karena beliau berdoa kepada Allah dengan sungguh sungguh agar diberikan anak, Maka doanya dikabulkanNya. Beliau dianugerahkan seorang anak laki laki yang diberi nama Yahya (Maryam:7).
Orang yang lanjut usia juga tidak bermasalah dalam berkomunikasi, termasuk dengan anak remaja dan kaum muda. Nabi Ya’kub AS biasa berkomunikasi dengan anak-anaknya walau usianya lanjut hingga 122 tahun. Bahkan masih sedemikian dihormati dan disegani anak-anaknya sendiri dari istri yang berbeda-beda. Walau mereka (beberapa anak-anaknya) itu melakukan perbuatan jahat pada Yusuf (Yusuf:8-9).
Demikian pula orang yang berusia tua tidak perlu khawatir akan dijauhkan dari pergaulan dengan sesama manusia. Bahkan diasingkan atau terasing dari lingkungan masyarakat. Nabi Yunus AS menjadi bukti dalam realitas sejarah. Saat beliau melarikan diri dalam berdakwah dan naik kapal (as-Shaffat:139-140).
Memang saat Nabi Yunus AS berada di atas kapal laut, ia pun terpaksa yang harus dibuang ke laut. Namun hal ini bukan karena beliau diasingkan, tapi karena kelebihan penumpang. Saat dilakukan undian diantara penumpang beliau yang kalah dan harus dikeluarkan dari kapal. (as-Shaffat:141-142).
Allah menolong Nabi Yunus AS setelah ditelan ikan besar, dengan dikeluarkan oleh Allah dari perutnya. Nabi Yunus AS sempat jatuh sakit, namun Allah jua yang menyediakan obat dan menyembuhkannya. Setelah sehat beliau kembali melakukan dakwah. Beliau berhasil memiliki pengikut seratus ribu lebih orang beriman. Hingga usia 70 tahun beliau berkumpul bersama umatnya walau usia sudah lanjut (as-Saffat:143-148).
Jadikan Usia Bermaslahat
Mengapa para Nabi dan Rasul serta para ulama yang sudah berusia lanjut masih bisa berkomunikasi dengan orang lain. Mereka pun tidak sampai diasingkan. Beberapa faktor yang membuat demikian itu tidak terlepas dari hal hal sebagai berikut:
Pertama, mereka adalah orang orang yang melakukan dakwah Ilallah (an-Nahl:36). Sebab itu mereka selalu dekat dengan masyarakat hingga akhir hayat (as-Shaffat:147-148).
Walau dalam dakwahnya tidak semua orang memberikan dukungan, namun setidaknya mereka, seperti Nabi Nuh AS, masih memiliki pengikut. Yakni orang orang beriman yang hidup bersamanya dalam suka dan duka (Hud:48).
Kedua, mereka orang yang selalu beribadah dan berjamaah dalam hidupnya. Melaksanakan shalat malam (al-Isra’:79). Sholat berjamaah tak pernah mereka tinggalkan (al-Baqarah: 43, al-Jumu’ah:9). Mereka pun biasa berkumpul bermusyawarah (Ali Imran:158), menghidupkan kegiatan taklim dan kajian (al-Mujadilah:11).
Selain itu mereka selalu bekerja sama dalam kebaikan (al-Maidah:2). Ber amar makruf dan nahi Munkar (Ali Imran:104,110). Mereka juga berjuang di jalan Allah (al-Anfal:72). Hal itu dilakukan dalam barisan yang teratur (as-Shaffat:4).
Ketiga, mereka senantiasa beramal shaleh kepada sesama manusia dalam hidupnya yang didasari keimanan. Mereka saling memberi nasehat (al-‘Asr:1-3). Pun mereka perduli pada anak yatim (al-Maun:1-2, ad-Dhuha:9), kaum dhuafa (fakir miskin dan lain lain). Baik yang masih ada hubungan kerabat atau orang lain. Mereka tidak suka ingkar janji dan selalu bersabar dalam berbagai keadaan. (al-Baqarah:177).
Mereka juga termasuk orang orang yang dipercaya Allah menjadi pemimpin ummat manusia. Mereka berkuasa di muka bumi untuk membawa kesejahteraan dan kehidupan lebih baik di dunia dan akhirat (an-Nur:55-56, an-Nahl:97).
Keempat, mereka senantiasa berinfaq dan bersedekah di jalan Allah (al-Baqarah:261). Infaq dan sedekahnya adalah untuk kemaslahatan manusia (al-Baqarah:267,276, an-Nisa:114). Mereka melakukannya dalam keadaan susah dan senang (Ali Imran:134).
Mereka juga berusaha membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan dan kelaparan (al-Balad:13-16). Bahkan mereka berusaha dalam menegakkan keadilan dan kebenaran (an-Nisa:35, al-Maidah:8). Selain itu, mereka berusaha melakukan pemerataan dan mengatasi kesenjangan atau ketimpangan sosial (at-Taubah:60).
Kelima, mereka melakukan pengorbanan dengan penuh ketaatan menjalankan perintah Allah (al-Hajj:34, as-Shaffat:102, al-Kautsar:1-2) atas dasar ketaqwaan atau keikhlasan (al-Hajj:37). Mereka berkorban di jalan Allah untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia (al-Hajj:36).
Hal demikian itu, conttohnya dalam pembagian daging kurban dan hewan yang disembelih (al-Hajj:33). Termasuk di dalamnya bisnis ternak kurban. Sebab itu sungguh memberikan nilai dan peningkatan ekonomi dalam masyarakat.(an-Nahl:5).
Aktivitas Sosial di Masa Tua
Dengan mengamalkan berbagai aktivitas positif dan produktif, apalagi membawa maslahat, sebagaimana telah dilakukan Nabi dan Rasul serta para ulama, semuanya memberikan pelajaran berharga. Bahwasanya usia lanjut tidaklah menjadi penghalang. Orang-orang yang berusia lanjut tak perlu bersikap pesimis (putus harapan atau berkecil hati) terkait dengan usia tua.
Apalagi dengan adanya pemikiran dan perkiraan yang tidak pasti dan subjektif tentang keadaan manusia di usia tuanya, 60 tahun ke atas. Dalam usia seperti itu seakan akan mengalami masalah sosial dalam pergaulan masyarakat. Terabaikan dan terasing dari pergaulan sosial.
Padahal fakta sejarah dan tuntunan Islam justru mendorong mereka bersikap optimis (penuh harapan baik) (az-Zumar:53). Sebagaimana dialami oleh Nabi. Rasul dan para ulama terdahulu.
Mereka senantiasa optimis dalam keadaan apapun, termasuk pada masa tuanya. Kecuali hanya satu, bila dialami di masa tua. Yakni penyakit yang tidak bisa disembuhkan adalah menua dan pikun (Yasin:68, Rum:54).
Maka saat seseorang diberikan usia panjang, seperti yang dianugerahkan para Nabi dan Rasul, agar tetap sehat dan bermaslahat bagi masyarakat, tentu mau tidak mau mereka harus banyak bergerak dan beraktivitas sehari-hari. Aktivitas yang berpengaruh pada usia dan hubungan baik dengan sesama, baik orang tua, kerabat, tetangga, sahabat dan orang lain adalah silaturrahim (an-Nisa:1, 36).
Bahkan, Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan, “Barangsiapa senang diluaskan rezkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaknya ia menyambung silaturahim”. (Muttafaqun alaih).
Hidup bertetangga dengan baik juga dapat memberikan pengaruh pada kemaslahatan dalam hubungan baik pada sesama (an-Nisa:36).
Tetangga menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam harus dihormati. Sebagaimana dijelaskan dalam sabdanya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul maka muliakan tetangganya”.(HR. Bukhari 5589, Muslim 70).
Selain hidup bertetangga dengan baik dalam memperkuat hubungan sosial tanpa membeda-bedakan usia, tentu tidak akan ada orang orang yang termarjinalkan atau dimarjinalkan, agar saling bergaul, mengenal, berkomunikasi dan berinteraksi.(Al Hujurat:13)
Termasuk hidup yang rukun dan damai tanpa terjadi konflik sosial dan permusuhan dalam masyarakat (al-Hujurat:10)
Hal ini perlu direalisasikan dalam kehidupan sosial manusia, termasuk dalam ber-Muhammadiyah, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan dalam pergaulan global. Agar tercipta hidup dan kehidupan dunia yang harmonis, bahagia dan damai dalam menuju “rahmatan Lil alamin” (al-Anbiya:107). (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah