Kebetulan pemilik dan pengasuh pondok, masih kerabatnya yang juga berasal dari Banyumas. Di pondok pesantren inilah Achmad Haiti menempa diri dengan belajar agama dan memperdalam kitab-kitab klasik ala pesantren, seperti Kitab Sulam dan Safinah, serta kitab-kitab klasik lainnya.
Bermukim di pondok dan tanpa subsidi-bantuan dana dari orang tuanya, tidak menjadikan Achmad Haiti berkecil hati. Dia menjalani hidup prihatin, bahkan hari-harinya lebih banyak dilalui dengan berpuasa sunnah. “Untuk menyambung hidup selama di pesantren, beliau rela bekerja apa saja, termasuk menjadi buruh petik buah kelapa, karena di kawasan Wuluhan saat itu memang menjadi pusat pembudidayaan tanaman kelapa,” jelas Lukman.
Selepas dari Pondok Pesantren, Achmad Haiti memilih bermukim di Paleran, Umbulsari. Di tempat ini, dia mengabdikan ilmu yang diperolehnya selama di pondok pesantren kepada para santrinya. Selain mengajar mengaji di masjid dan mushalla, Kiai Achmad Haiti juga sempat mendirikan madrasah ibtidaiyah.
(Baca:Dua Kyai Lahirkan Tokoh Nasional Penerima PWI Jatim Award)
“Santri Bapak cukup banyak. Kalau pagi, beliau mengajar di madrasah yang didirikannya, dan sore harinya mengajar ngaji santrinya di masjid. Selebihnya, beliau lebih banyak tinggal dan mengurus di masjid. Sesekali, beliau mengisi pengajian, hingga keluar wilayah kecamatan, ” jelas Lukman, anak kedua yang sempat merawat ayahnya hingga akhir hayat.
selanjutnya halaman 04 …