Salah satu “musuhnya” dalam berdakwah adalah para tokoh aktivis partai komunis (PKI) di wilayah Paleran dan sekitarnya. Untuk menghalang-halangi langkah dakwah Kiai Achmad Haiti, anggota PKI tidak segan-segan melakukan tindakan licik dan tidak pantas. “Bapak terpaksa mengalah dan memindahkan kegiatan dakwahnya ke masjid kampung sebelah, setelah masjid yang dipakai ngaji tempat wudhunya diberi kotoran manusia oleh anggota PKI,” ujarnya.
Selanjutnya, Achmad Haiti menempati sebuah masjid di Timur Sungai, Karang Genteng. Justru di masjid “Darun Najah” ini kegiatan pengajian dan madrasah yang didirikannya berkembang pesat. Santrinya cukup banyak, bahkan Achmad Haiti menjadi Kiai Masjid dan tokoh masyarakat yang cukup disegani. Hampir seluruh kegiatan keagamaan di Masjid dan juga di kampung, selalu dipimpin oleh Sang Kiai. “Beliau dianggap Kiai Keramat yang sangat disegani,” lanjut Lukman.
(Baca:Dua Kyai Lahirkan Tokoh Nasional Penerima PWI Jatim Award)
Tentunya, faham keagamaan yang dianut Kiai Acmad Haiti, seperti umumnya Kiai Salaf yang memimpin masjid di kampung-kampung di Tanah Air. Selain ngaji kitab-kitab klasik, juga memimpin doa tahlil, memimpin manakib, dan kegiatan keagamaan pada umumnya.
Orientasi keagamaan Kiai Achmad Haiti berubah sedikit demi sedikit setelah aktif dalam Partai Masyumi. Kekagumannya pada sosok M. Natsir, membuat Kiai Haiti, mengkaji ulang pemahamannya terhadap kitab-kitab klasik yang lama dipelajarinya dan membandingkan dengan isi kandungan Al Quran.
KH Achmad Haiti kemudian memberanikan diri mengubah kebiasaannya saat membacakan khutbah Jumat di masjid. Kalau biasanya dia berkhutbah dengan membawa tongkat, saat itu dia mencoba untuk tidak memakai tongkat. “Bahkan, beliau juga tidak membaca teks kutban berbahasa Arab, yang biasa dibaca oleh para khatib saat naik mimbar,” tutur Lukman.
selanjutnya halaman 06 …