Kontan, cara berkhutbah Kiai Haiti yang di luar kebiasaan itu, mendapat reaksi keras jamaah Jumat yang memenuhi masjid. “Sejak saat itu, beliau tidak lagi diperkenankan menjadi khatib Jumat. Meski masih tetap shalat di masjid tersebut, bapak lebih memilih menjadi makmum dan meninggalkan kebiasaannya sebagai imam sholat, karena jamaah sudah tidak menghendaki beliau menjadi imam,” jelasnya.
Kewibawaannya sebagai Kiai Masjid, dengan sendirinya memudar. Kiai Achmad Haiti dengan sabar dan lapang dada, menanggalkan setumpuk gelar dan kehormatan yang sebelumnya disematkan kepadanya. Bahkan, menurut Lukman, pada puncaknya Kiai Achmad Haiti, kembali pindah tempat tinggal, karena sudah tidak nyaman berada di lingkungan masyarakat yang berbalik memusuhinya.
(Baca:Dua Kyai Lahirkan Tokoh Nasional Penerima PWI Jatim Award)
Di tempat yang baru, di Dusun Krajan Kulon, Karang Genteng, Kiai Achmad Haiti tidak surut untuk tetap berdakwah. Justru di tempat baru ini, dia semakin terang-terangnya menyebut dirinya anggota Persyarikatan Muhammadiyah. Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1971, dia merintis pelaksanaan sholat Idul Fitri di lapangan desa setempat. “Saat pertama kalinya, jamaah shalat Idul Fitri hanya 12 orang, terutama dari keluarga sendiri dan beliau yang menjadi imam sekaligus khatibnya,” jelasnya.
Dari sinilah cikal-bakal Muhammadiyah di Paleran berdiri. Setelah cukup lama menjadi Ranting Muhammadiyah Kecamatan Bangsalsari, pada tahun 2000 lalu, Paleran yang hanya nama sebuah desa, bisa berdiri Cabang Muhammadiyah, hingga menjadi PCM diantara 22 PCM lainnya di Kabupaten Jember. Semoga rintisannya tersebut menjadi amal jariyah dan mengantarkan KH Achmad Haiti dalam posisi khusnul khatimah.