Oleh: Hendra Hari Wahyudi – Anggota Majelis Pustaka Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – “Muhammadiyah yang terputus dari pemikiran dan jejak Ahmad Dahlan bukanlah Muhammadiyah”. Begitu kutipan tulisan Prof Dr Haedar Nashir yang bertajuk Memahami Kembali Ideologi Muhammadiyah di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019. Mungkin ada pula yang beranggapan “Kita Muhammadiyah, Bukan Dahlaniyah”, namun kita kembali ke kalimat awal tadi. Muhammadiyah tidak terlepas dari pemikiran dan jejak Kiai Dahlan.
Melihat hal tersebut, maka konsep berpikir dari Muhammadiyah lahir dari KH Ahmad Dahlan. Adapun berbagai perkembangan yang ada kini, merupakan sebuah ‘ijtihad’ organisasi dalam mengikuti perkembangan zaman. Tetapi terkini dengan berbagai ‘varian’ Muhammadiyah yang ada, merupakan sebuah rasa dari keberagaman dalam berorganisasi. Namun, keislaman yang juga beraneka macam, terkadang Muhammadiyah diisi oleh ideologi-ideologi yang lain.
Menilik tulisan penulis di ibtimes.id, Ideologi Muhammadiyah adalah Dahlaniyah, pada (29/07/2022) lalu. Pada tulisan tersebut penulis sudah menyampaikan berbagai indikator kenapa ideologi Muhammadiyah adalah Dahlaniyah. Namun, pada kali ini, penulis ingin meneguhkan kembali ideologi tersebut karena disisi lain, banyak sekali faktor yang menjadi isu di masyarakat kita. Seperti adanya paham lain yang masuk kedalam Muhammadiyah, seperti salafisme, bahkan yang lainnya.
Meneguhkan Kemuhammadiyahan
Pada dasarnya, pemikiran Kiai Dahlan dan ditambah ijtihad adalah ciri khas dari Muhammadiyah. Dimana ayat al-Quran di amalkan melalui aksi nyata. Kiai Dahlan telah memberi contoh kala itu melalui pengamalan surat al-Maun yang kini dikenal sebagai teologi al-Maun. Bahwa sejatinya mengamalkan al-Quran yakni pada tindakan nyata, tentunya dengan asas manfaat bagi semua, rahmatan lil alamin.
Maka tak heran lah ketika banyak amal usaha milik Muhammadiyah diberbagai daerah, hingga mancanegara. Terbaru, Muhammadiyah baru saja mendirikan lima Universitas, di Kalianda, Kuningan, Cileungsi, Cirebon, dan Tegal. Dari situlah, kita dapat melihat bahwa pemikiran Ahmad Dahlan sangat kental dan mendarah daging di tubuh Muhammadiyah, jadi tidak salah ketika Dahlaniyah menjadi ideologi dari Muhammadiyah.
Namun, Muhammadiyah yang sangat variatif dengan berbagai variannya merupakan kemajemukan yang ada pada diri Muhammadiyah itu sendiri. Akan tetapi jangan sampai mengesampingkan atau bahkan menggantikan pola pikir yang dicetuskan oleh Kiai Dahlan 112 tahun lalu, dimana kini ada pada keputusan dan kebijakan pada Persyarikatan Muhammadiyah, khususnya bab keagamaan.
Pandangan Muhammadiyah dalam berislam dan beriman, seharusnya dijadikan pedoman bagi warga Muhammadiyah dalam kehidupan.
Tetapi terkadang, masih ada saja yang mencari atau mengadopsi dari paham lain melalui media-media mainstream yang tak jarang berbeda dengan pandangan dari Muhammadiyah, misalnya soal halal-haram musik.
Muhammadiyah melalui Majelis dan Lembaga yang ada di Pimpinan Pusat, sudah memberikan panduan terkait kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal beragama. Maka, ketika kita sudah mengaku menjadi bagian darinya (Muhammadiyah), sudah selayaknya dan sepatutnya kita taat dan patuh serta mempedomaninya, dalam kata lain, sami’na wa atho’na.
Dahlaniyah Ruh Kemuhammadiyahan
Dari sinilah, kita dapat melihat dan menekankan lagi pada diri kita, bahwa pemikiran Kiai Dahlan seabad yang lalu, menjadi ‘nyawa’ dalam pergerakan Muhammadiyah dengan dasar al-Quran dan Hadits tentunya.
Memang secara etimologi, Muhammadiyah bermakna pengikut Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam, namun secara keorganisasian, pola pikir Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah sumber dari adanya Persyarikatan yang didasari dari surat Ali Imran ayat 104.
Kiai Dahlan memadukan antara keimanan dan ilmu pengetahuan dengan amaliah, sehingga lahirlah berbagai amal usaha, aksi kemanusiaan, toleransi amaliah (nyata), serta berbagai hal lainnya yang menjadi khas dari organisasi ini.
Hamzah F. (2016) dalam disertasinya, melihat pola dan cara Kiai Dahlan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rasionalitas, pragmatis, dan vernakularisasi. Rasionalitas, Kiai Dahlan adalah orang yang cara berpikirnya dipacu oleh lingkungan untuk sungguh-sungguh mewujudkan sesuatu yang sifatnya teori menjadi realistis dan itu memang nyata.
Dari sisi pragmatis, Kiai Ahmad Dahlan adalah menjadikan Islam ini sebagai agama yang solutif, tetapi cara menghadirkannya dengan ijtihadiyah dan tajdidiyah. Kemudian vernakularisasi, Kiai Dahlan punya pemikiran untuk mengkontekstualisasi sekaligus aktualisasi ajaran Islam, seperti yang dibutuhkan pada zamannya. Yang kini disebut sebagai dengan istilah ‘Islam berkemajuan’.
Kiai Haji Ahmad Dahlan telah mewariskan cara pandang dan pikir Islam seperti yang sampai saat ini kita warisi dan kita pegang teguh sebagai jalan penghambaan kepada Ilahi Robbi.
Maka, tidak salah jika Muhammadiyah itu sesungguhnya berideologi Dahlaniyah. Dalam hal cara berpikir dan menerjemahkan pola bagaimana membuat Islam itu hadir di tengah masyarakat. Dan Kiai Dahlan dalam memahami Islam yang kemudian melembaga seperti saat ini yang bernama Muhammadiyah. (*)
Editor Ni’matul Faizah