Wahidul Qohar (Foto: PWMU.CO)
Wahidul Qohar – Pengamat Sosial
PWMU.CO – Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) atau yang sekarang dikenal Dewan Pertimbangan Agung (DPA) memiliki sejarah panjang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga negara yang pertama kali diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, DPA bertugas memberikan nasihat kepada Presiden. Namun, setelah dilakukan beberapa kali amandemen terhadap UUD 1945, posisi dan fungsi DPA mengalami berbagai perubahan signifikan, hingga akhirnya dihapuskan pada era reformasi. Dengan munculnya wacana untuk menghidupkan kembali DPA, muncul pertanyaan kritis tentang kedudukan konstitusional dan relevansinya dalam konteks sistem pemerintahan modern Indonesia.
DPA (sebelumnya dikenal Watimpres) pertama kali diatur dalam Pasal 16 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Dewan ini bertugas memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Presiden serta berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, DPA sering dianggap sebagai lembaga simbolis tanpa kekuasaan nyata. Meskipun tugasnya penting, yakni memberikan nasihat kepada Presiden, dalam praktiknya, rekomendasi DPA sering kali diabaikan.
Reformasi 1998 yang membawa semangat demokratisasi juga berdampak pada restrukturisasi lembaga-lembaga negara. Salah satu langkah besar adalah menghapus DPA melalui amandemen UUD 1945. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa fungsi DPA dapat diintegrasikan ke dalam lembaga lain yang lebih efisien dan relevan, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Wacana Penghidupan Kembali DPA
Akhir-akhir Ini, muncul usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghidupkan kembali DPA. Alasan yang diajukan meliputi kebutuhan akan lembaga yang dapat memberikan nasihat non-partisan kepada Presiden, terutama terkait isu-isu strategis dan kebijakan nasional. Namun, usulan ini menimbulkan berbagai kritik dan kontroversi.
Lalu apa yang terjadi jika DPA lahir kembali? Tentu ini menjadi pertanyaan yang serius dalam benak kita. Berikut hal-hal yang mungkin terjadi, jika DPA memang kembali dihidupkan.
Redundansi dan Efisiensi
Salah satu hal yang utama adalah bahwa menghidupkan kembali DPA akan menciptakan redundansi dalam struktur pemerintahan. Saat ini, Indonesia telah memiliki berbagai lembaga yang menjalankan fungsi advisorial, seperti DPR, DPD, dan lembaga think tank. Dengan penambahan DPA dapat memperumit birokrasi dan memperlambat proses pengambilan keputusan. Semua ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang tengah digalakkan. Kehadiran DPA mungkin akan menambah lapisan birokrasi yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam struktur pemerintahan saat ini.
Kedudukan Konstitusional
Penghidupan kembali DPA memerlukan perubahan konstitusional yang tidak sederhana. Amandemen UUD 1945 membutuhkan proses panjang dan konsensus politik yang kuat. Mengingat dinamika politik Indonesia yang kompleks, upaya ini bisa mengalihkan perhatian dari agenda reformasi lainnya yang lebih mendesak, seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Proses amandemen yang panjang dan berbelit-belit ini justru bisa menghambat kinerja pemerintah dalam melakukan reformasi yang sudah lama dinantikan oleh masyarakat.
Relevansi dan Fungsi
Pertanyaan mendasar adalah apakah DPA masih relevan dalam konteks pemerintahan modern. Dengan adanya berbagai lembaga konsultatif dan pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), fungsi DPA bisa dianggap tidak lagi relevan. Selain itu, efektivitas DPA dalam memberikan nasihat strategis juga dipertanyakan mengingat sejarahnya yang sering diabaikan. Kehadiran lembaga-lembaga yang ada saat ini sudah cukup memadai untuk memberikan nasihat strategis kepada pemerintah tanpa perlu menghidupkan kembali DPA.
Potensi Penyalahgunaan
Ada kekhawatiran bahwa DPA dapat digunakan sebagai alat politik untuk memperkuat kekuasaan eksekutif dan membatasi ruang gerak oposisi. Bahkan hidupnya DPA bisa dianggap sebagai bentuk balas budi dengan bagi-bagi jabatan atas hasil pemilihan presiden terpilih.
Dalam sejarahnya, DPA pernah digunakan untuk melegitimasi kebijakan pemerintah yang kontroversial. Oleh karena itu, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, keberadaan DPA bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Potensi penyalahgunaan ini harus diwaspadai agar tidak merusak demokrasi yang sudah susah payah dibangun pasca-reformasi.
Biaya dan Anggaran
Menghidupkan kembali DPA tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Di tengah situasi ekonomi yang menantang, alokasi anggaran untuk lembaga baru bisa dianggap tidak prioritas. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk program pembangunan dan kesejahteraan rakyat bisa teralihkan untuk mendanai operasional DPA. Dalam situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang, pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mengalokasikan anggaran untuk program-program yang lebih berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Kesimpulannya, dengan menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan langkah yang kontroversial dan penuh tantangan. Kritik terhadap wacana ini mencakup aspek efisiensi, relevansi, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks pemerintahan modern yang berorientasi pada efektivitas dan transparansi, penghidupan kembali DPA memerlukan pertimbangan matang dan kajian mendalam agar tidak menjadi langkah mundur dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sebagai bangsa yang sedang berupaya memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan efektif, fokus seharusnya diarahkan pada penguatan lembaga-lembaga yang sudah ada serta optimalisasi peran mereka dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan kepentingan rakyat.
Editor Teguh Imami