PWMU.CO – Prof Biyanto menghadiri Launching dan Bedah Buku berjudul “Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, Pemersatu Umat Islam Indonesia” kegiatan yang bertema Rais Akbar Sang Pemersatu Umat Islam itu diadakan IKAPETE (Ikatan Alumni Pondok Pesantren Tebuireng) di Hotel KHAS Surabaya (16/07/2024).
Beberapa tokoh hadir sebagai pembeda buku diantaranya Prof Dr H Mas’ud Said MM Phd Ketua ISNU Jatim, Prof Dr H Maskuri Msi (Rektor UNISMA), Emil Elestianto Dardak Phd (Wakil Gubernur Jatim) serta Prof Dr Biyanto MAg (Sekretaris PWM Jatim).
Mengawali pemaparannya, Prof Biyanto memberikan apresiasinya kepada lembaga Tebuireng Institute for Islamic Studies karena telah menjadi lembaga yang membantu merancang dengan sangat serius serta kredibel. Ke depan diharapkan dapat melahirkan karya-karya yang hebat dan luar biasa.
Ia juga memuji mengenai narasi yang ada dalam buku ini. “Pada buku ini, saya sebagai orang Muhammadiyah merasa bahwa ini adalah sesuatu yang baru dalam sudut pandang kami dalam membaca Kiai besar, tetapi cara menarasikannya itu sangat manusiawi dan tidak ada bumbu-bumbu mistik,” ungkapnya
“Biasanya kalau Kiai, apalagi ini Hadratussyekh sebagai orang yang sangat luar biasa tetapi, di buku ini sama sekali tidak ada kisah-kisah klenik serta mistis seperti yang seringkali kami dengar dan baca lewat berita-berita. Jadi, tidak ada sama sekali diceritakan di buku ini Hadratussyekh itu pernah hilang atau bisa berjalan diatas air untuk menunjukkan kehebatan dan kebesaran beliau,” sambungnya
“Dinarasikan juga dalam buku ini Hadratussyekh ketika belajar juga seperti murid pada umumnya, bahwa cara untuk mendapatkan ilmu itu ya dari belajar tidak dari cara aneh-aneh. Menurut saya bagus sekali sangat manusiawi dan luar biasa,” tegasnya
Selain itu, dalam penyampaiannya kali ini Prof Biyanto juga memberikan fakta bahwa, banyak dari tokoh Muhammadiyah yang dari alumni Tebuireng, seperti Abdurrahim Nur yang juga alumni Tebuireng, lalu ada juga Kiai yang sangat terkenal yakni KH Abdurahman juga merupakan alumni Tebuireng. Selain itu, KH Afnan Ansori yang pernah menjadi ketua PDM Lamongan juga alumni Tebuireng.
“Pada saat itu saya juga mendapatkan cerita dari Kiai Abdurrahim Nur karena pada saat itu saya pernah belajar ke beliau di kampus UINSA. Pada waktu itu beliau mengajar tafsir dan bisa mengaji kitab juga dari Tebuireng,” kenangnya
“Lalu kemudian beliau berangkat ke Al Azhar. Pada saat berangkat ke Al Azhar juga masih menjadi anggota Ansor dan ketika pulang dari Al Azhar juga masih disambut dengan sambutan Ansor tetapi kemudian beliau menjadi kader Muhammadiyah,” imbuhnya
“Maka kalau mau dibuat satu buku sendiri saya kira nanti Tebuireng Institute Islami Studies bisa menginisiasi kerja sama dengan kami di Muhammadiyah untuk menulis bagaimana proses becoming dari alumni-alumni Tebuireng itu menjadi Muhammadiyah. Nanti, kampus-kampus kami bisa ikut bersinergi dalam merumuskan dan mengkaji bersama bagaimana proses Becoming mereka menjadi kader Muhammadiyah,” tuturnya
Prof Biyanto menjelaskan tiga poin utama dalam pemaparannya di acara launching dan bedah buku kali ini.
Pertama, penggambaran narasi yang diberikan oleh tim penulis sangat otoritatif. Kiai Kikin dan tim berhasil menarasikan Hadratussyekh dengan sangat manusiawi dan jauh dari kesan klenik, mistis serta magis. Hal tersebut adalah ciri khas yang dapat diperoleh dari buku ini dan berbeda dengan buku-buku lain.
Kedua, saya melihat ada titik-titik perjumpaan yang perlu di elaborasi lebih banyak, mungkin dibuku lainnya. Misalnya, mengenai perjumpaan Kiai Hasyim Asy’ari dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, namun di buku ini hanya disinggung sekilas ketika beliau berguru dengan guru yang sama di Makkah tepatnya saat mengaji ke Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, sayangnya, perjumpaan-perjumpaan lanjutan itu belum ada.
Perjumpaan-perjumpaan itu merupakan nilai positif yang bisa dipesankan kepada generasi-generasi kita masa kini terutama anak-anak muda NU dan Muhammadiyah.
Anak-anak muda harus tau betapa guru-guru mereka itu sesungguhnya merajut kebersamaan membangun bangsa ini bersama-sama dan berbagi peran, KH Ahmad Dahlan mengurusi perkotaan masyarakat urban dan KH Hasyim Asy’ari mengurusi pedesaan.
Maka, perjumpaan-perjumpaan itu menjadi sangat penting untuk dikedepankan. Maka, perjumpaan-perjumpaan dibuku ini perlu diperkaya seperti perjumpaan Hadratussyekh dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, Ahmad Dahlan termasuk juga perjumpaan antara KH Hasan Gipo dengan KH Mas Mansyur yang masih ada hubungan keluarga, dengan begitu, kedekatan-kedekatan itu penting untuk di ekspose.
Kita juga perlu membahas apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU wabil khusus Hadratussyekh dan muassis Muhammadiyah Maka, penting bagi kita untuk bisa bersinergi dan saya yakin nanti kampus-kampus kita akan menyambut buku-buku seperti ini dengan senang hati.
Ketiga, sebagai bagian dari refleksi, NU dan Muhammadiyah kalau meminjam salah satu kalimat dari PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Tohari bahwa Muhammadiyah dan NU itu adalah dua sayap burung Garuda artinya terbang setinggi-tingginya mempersatukan Islam.
“Kalau NU Muhammadiyah ini tidak rukun maka yang akan terjadi moderatisme Islam yang telah kita bangun sejak lama itu akan menjadi kacau. Mudah-mudahan kami nanti suatu saat bisa mengundang pak Kiai kikin di forum-forum Muhammadiyah begitu juga sebaliknya,” pungkasnya.(*)
Penulis Ni’matul Faizah Editor Azrohal Hasan