Oleh: Muhsin MK
PWMU.CO – Sejarah Nabi Ayyub ‘alaihisallam tetap menginpirasi umat manusia yang berhubungan dengan ilmu kesehatan dan perawatan. Nabi Ayyub yang sakit sebagai pasien karena cukup lama mengalami penderitaan hingga 18 tahun lamanya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Istrinya benar-benar menjadi perawat yang baik pada suaminya. Dia wanita yang Shalihah. Wanita Shalihah demikian patuh dan taat pada Allah dan suaminya. (an-Nisa: 34)
Namun kenapa istri Nabi Ayyub ‘alaihisallam yang sudah merawat dengan baik, masih salah juga. Ternyata bukan soal perawatannya. Tapi dia tidak izin memotong dan menjual rambutnya untuk membeli makanan. Hukumannya pun tidak berat dan diberikan bersifat mendidik. (Shad: 44).
Namun istri Nabi Ayyub ‘alaihisallam tetap dikenal sebagai suri teladan baik karena termasuk seorang istri yang sabar dalam merawat suaminya yang sakit menahun. Ini juga menjadi pendidikan dan pengajaran bagi para perawat dalam merawat dan melayani pasien.
Sejarah ini pun menjadi pelajaran berharga bagi perawat yang bertugas di rumah sakit dan lembaga kesehatan lain dalam melayani dan merawat pasien. Perawat yang berpendidikan dan berpengalaman sejatinya, semakin lama mereka bertugas, tentu semakin membaik dan berkualitas dalam memberikan perawatan dan pelayanan, bukan sebaliknya.
Hendaknya tidak sampai terjadi, pada awal menjadi perawat begitu besar perhatian dan kasih sayangnya pada pasien. Namun lama kelamaan semakin terkikis jiwa dan hati nuraninya dalam menghadapi pasien. Dia tidak lagi bersikap penuh perhatian, sopan santun, ramah tamah dan lemah lembut.
Perawatan dan pelayanan yang diberikan mulai kaku, kasar dan keras suaranya. Ketika akan memberi obat pada pasien saat baru jadi perawat sedemikian sopan santun dan lemah lembut. Namun lama kelamaan, apalagi sudah lama bekerja dan naik jabatan, terjadi perubahan sikap dan tindakannya.
Pada saat keluarga pasien bertanya tentang ruang parawatan, awalnya diantar dengan baik, senyum dan ramah tamah. Setelah lama bertugas sudah tak mau lagi mengantar. Mereka hanya menunjuk dengan jari dan suaranya.
Tentu berbeda manakala perawat itu orang yang shalih dan shalihah. Dirinya tetap bersikap baik, sopan santun, lemah lembut dan ramah tamah pada pasien. Selain itu, sikap dan pelayanannya tidak berubah pada orang-orang yang menunggu dan datang membesuk.
Karena itu perawat yang shalih dan shalihah benar-benar akan sedemikian dihargai tugasnya, karena sikap dan pelayanan yang baik dan beradab pada pasien dan orang lain. Ini seharusnya yang perlu dimiliki setiap perawat pada saat bertugas di mana saja, tanpa membedakan siapapun.
Kesalihan dan adab ini sepatutnya telah ditanamkan sejak mereka menjadi siswa sekolah atau mahasiswa perguruan tinggi keperawatan. Termasuk bagi mereka yang sudah bekerja di rumah sakit dan pusat kesehatan lainnya, untuk selalu dibimbing dan dibina kesalihan dan adab- adabnya.
Bagi Muhammadiyah, sekolah dan perguruan tinggi keperawatannya tentu para siswa dan mahasiswanya telah dididik, ditanamkan dan diajarkan adab dan akhlakul karimah. Selain itu materi etika dan kode etik perawat kepada pasien yang tengah dalam masa perawatan di rumah sakit juga menjadi acuannya.
Apalagi Rumah Sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah khususnya, dan rumah sakit Islam pada umumnya. Para perawatnya diharapkan benar-benar terpilih dari mereka yang memiliki kepribadian yang shalih dan shalihah.
Mereka yang memiliki keshalihan ini baik individual atau sosial, diharapkan dapat melayani pasien dengan baik, sopan santun, ramah tamah dan lemah lembut dalam setiap keadaan. Sikap seperti ini akan membuat pasien dan pembesuknya merasa senang dan nyaman di rumah sakit, sehingga lekas sembuh dan bahagia tatkala pulang kembali ke rumah.
Selain para perawat dapat mencontoh istri Nabi Ayyub dalam kesetiaan dan ketekunan dalam merawat suami sebagai pasien, juga meneladani istri Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah Radhiyallahu Anha.
Bagaimana Khadijah merawat dan melayani Rasulullah di saat demam dan menggigil ketika menerima Wahyu. Dengan penuh perhatian, kesabaran dan kasih sayang, sikap sopan santun, ramah tamah dan lemah lembut telah menjadikan suaminya berangsur-angsur pulih dan kembali tenang.
Mungkin ada yang berpikir bahwa hal itu terjadi karena hubungan baik antara istri dan suaminya. Sementara para perawat di rumah sakit melayani bukan suami atau istrinya.
Mereka bisa belajar dari keshalihan dan pengalaman Rufaidah Al Aslamia bin Sa’ad Al Bani Aslam Al Kharaj Radhiallahu anha, sebagai ahli bedah dan perawat para pejuang yang terluka di medan perang. (Nur Aini, Detik.com.2024)
Ayahnya, Sa’ad bin Aslamia Radhiyallahu ‘anhu seorang dokter, tempat Rufaidah belajar ilmu kesehatan dan perawatan. Tugasnya membantu perawatan dan pelayanan bagi pasukan yang terluka di medan perang dan mendirikan rumah sakit lapangan.
Ketika perang, Rufaidah Radhiyallahu anha diizinkan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan tenda kesehatan di samping masjid demi merawat prajurit yang terluka dengan sabar dan penuh kasih sayang.
Rufaidah Radhiyallahu anha juga mengajarkan konsep baru dan islami tentang keperawatan pada wanita-wanita lain, yakni merawat dengan kasih sayang, kenyamanan dan dukungan moral dan spiritual. (Emma Green, Detik.com.2024)
Disinilah betapa pentingnya mendidik dan mengajar calon-calon perawat yang shalih dan shalihah. Di samping membimbing dan membina secara profesional dan berkelanjutan kepada mereka yang sudah bertugas agar semakin baik di dalam memberikan perhatian, pelayanan dan perawatan pada pasien, pembesuk dan orang lain. Wallahu ‘alam. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah