Oleh: Edi Purwanto – Pengamat Sosial/MPID PWM Jatim
PWMU.CO – Pada suatu pagi di medio 1997, sinar mentari menyapa hangat, menyertai semangat para pesilat yang melangkah di helipad Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang. Suara gamelan dari pengeras suara menambah kesyahduan suasana, menyambut mahasiswa baru dengan khidmat.
Para anggota Tapak Suci UMM dengan gemulai memperagakan jurus-jurus merpati, gerakan yang bukan hanya melatih otot, tetapi juga menggurat filosofi hidup yang dalam. Setiap tendangan, pukulan, dan tarikan napas mencerminkan ajaran para pendekar besar Tapak Suci, menjadikan setiap gerakan penuh makna.
Sebanyak lima puluh ribu mahasiswa baru terpukau oleh ketangkasan para pesilat. Demonstrasi ini bukan sekadar pameran kekuatan fisik, melainkan pengenalan nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi setiap jurus Tapak Suci. Jurus-jurus yang diperagakan adalah cerminan perjalanan panjang Tapak Suci dalam mengembangkan seni bela diri yang mengasah otot dan budi pekerti.
Anggota TS -UMM menjalani disiplin ketat, ditempa seminggu tiga kali. Latihan mereka tidak hanya berfokus pada pengembangan fisik, tetapi juga melibatkan pembelajaran dalam berorganisasi dan beradu ide serta gagasan. Di sini, mereka didorong untuk menjadi individu yang tangguh secara fisik sekaligus cerdas dan berwawasan luas. Mereka belajar mengelola waktu, bekerja dalam tim, dan menghadapi tantangan dengan solusi kreatif.
Pada era 1990-2000, TS-UMM beberapa kali berhasil mengadakan Invitasi Pencak Silat se-Jawa Bali. Ajang ini tidak hanya menjadi sarana kompetisi tetapi juga mempererat tali persaudaraan di antara para pesilat dari berbagai daerah. Ajang tersebut mempertemukan pesilat terbaik dari berbagai penjuru Jawa dan Bali, menciptakan momen yang penuh semangat dan kebersamaan.
Lebih dari dua dekade kemudian, pada Juni 2024, generasi penerus Tapak Suci UMM melanjutkan tradisi kebanggaan ini. Mereka turut serta dalam suksesnya penyelenggaraan Asean University Games di UMM 2024. Mereka memperlihatkan kepada dunia bahwa Tapak Suci bukan sekadar seni bela diri, tetapi juga sekolah kehidupan yang mendidik anggotanya menjadi pemimpin dan penggerak perubahan.
Tapak Suci adalah kampus kehidupan, tempat belajar olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah karsa (estetika), dan olah raga (kinestetik). Di sinilah mereka menemukan jiwa sejati, berlatih keras, berjuang bersama, dan saling mendukung dalam setiap langkah menjalani kehidupan.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan pentingnya olah rasa sebagai aspek pembinaan manusia utuh. Olah rasa bukan sekadar latihan fisik atau mental, melainkan penjelajahan emosi dan perasaan yang membentuk karakter manusia.
Dalam latihan silat, olah rasa mengajarkan lebih peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain, bukan sekadar menguasai gerakan bela diri, tetapi merasakan getaran hati dalam persaudaraan.
Olah rasa mengingatkan bahwa setiap anggota memiliki cerita, perjuangan, dan harapan yang mungkin tak terucap. Ketika seorang pelatih melihat muridnya murung, olah rasa mengajarkan untuk bertanya dengan hati, mendekatkan diri secara emosional, menawarkan bahu untuk bersandar, dan mendengarkan sepenuh hati.
Ini adalah wujud nyata empati dan kepedulian yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Lebih dari hubungan antar individu, olah rasa dalam Tapak Suci juga melibatkan kepedulian sosial. Setiap anggota diajarkan peka kondisi sosial dan lingkungan sekitar. Mereka diajak menyelam lebih dalam dari sekadar lingkaran latihan dan kompetisi.
Milad Tapak Suci bukan hanya mengenang sejarah kelahiran perguruan, tetapi juga momentum merenungkan nilai-nilai pendidikan universal. Olah rasa dan olah raga harus terus dijaga dan dilestarikan keberimbangannya. Setiap jurus harus diiringi kepekaan dan kepedulian, setiap latihan harus membentuk karakter penuh empati dan tanggung jawab sosial.
Tidak hanya menjadi pesilat tangguh, tetapi juga manusia seutuhnya. Mereka ngerti, ngrasa, sebelum nglakoni. Ngerti tentang baik dan buruk, mengenal secara mendalam konsep moralitas dan etika yang menjadi landasan setiap tindakan.
Ngerti bukan hanya memahami secara teoritis, tetapi juga memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang nilai-nilai kehidupan yang luhur. Ngrasa, memahami dan merasakan pengetahuan yang diperoleh. Ini adalah tahap di mana pengetahuan yang telah dipelajari tidak hanya berhenti di akal, tetapi meresap ke dalam hati.
Perasaan ini membentuk kepekaan emosional dan empati yang mendalam. Pesilat diajak untuk merasakan dampak dari setiap tindakan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Melalui ngrasa, mereka belajar untuk menjadi manusia yang peka terhadap situasi dan kondisi di sekitarnya, mampu merasakan kebahagiaan, kesedihan, dan perjuangan orang lain.
Dan nglakoni, mengerjakan tindakan berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah dipahaminya. Nglakoni adalah wujud dari integritas dan konsistensi antara pikiran, perasaan, dan tindakan. Pesilat tidak hanya bertindak berdasarkan apa yang mereka ketahui, tetapi juga tentang kebenaran. Nglakoni berarti menjalankan kehidupan dengan penuh tanggung jawab, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi komunitas dan lingkungan.
Proses ngerti, ngrasa, dan nglakoni ini adalah perjalanan seumur hidup yang membentuk karakter manusia seutuhnya. Dalam Tapak Suci, proses ini menjadi landasan setiap latihan dan ajaran, menjadikan setiap pesilat bukan hanya ahli dalam bela diri, tetapi juga individu yang matang secara emosional dan moral.
Mereka diajarkan untuk selalu belajar, merasakan, dan bertindak dengan bijak. Dengan demikian, setiap langkah yang diambil selalu berakar pada pengetahuan, perasaan, dan tindakan yang selaras, menciptakan harmoni dalam kehidupan pribadi dan sosial. Demikianlah perjumpaanku dengan Ki Hajar Dewantara di Tapak Suci.
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
“Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung.”
Selamat Milad ke-61 Tapak Suci Putera Muhammadiyah, 31 Juli 2024. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah