PWMU.CO – Halimah Yacob, perempuan Melayu dan Muslim terpilih sebagai Presiden Singapore Periode 2017-2023. Terpilihnya Halimah ini disikapi secara berlebihan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kalau merujuk pada tipologi pemilih pada Pilpres 2014 dan Pilgub Jakarta 2017, kira-kira yang mereaksi secara berlebihan itu mereka para pendukung Jokowi dan Ahok.
Dalam pandangan mereka, terpilihnya Halimah harus menjadi inspirasi dan ditiru oleh Indonesia, di mana etnis minoritas Melayu yang hanya 15% dan Muslim bisa terpilih sebagai presiden.
Dalam teori perbandingan politik, membandingkan sesuatu itu harus apple to apple. Tak boleh membandingkan apple to banana. Membandingkan Singapore dengan Indonesia dalam konteks sistem politik tentu tidak tepat. Sederhana saja, mau apapun, kalau yang paham Singapore, negara ini sebenarnya secara politik masuk kategori tipe negara otoriter.
Partai-partai memang ada, tapi tetap saja direkayasa sedemikian rupa agar yang menang dalam setiap pemilu itu partainya Lee Kuan Yew Poeple’s Action Party (PAP). Bandingkan dengan Indonesia yang praktek demokrasinya begitu bebas dan bahkan sangat liar. Partai pemenang pemilu juga hampir setiap pemilu berganti-ganti.
(Baca juga: Kagum pada Gus Dur, Tokoh Muda Muhammadiyah Ini Bilang: Sulit Mencari Penggantinya)
Dari sistem pemerintahan juga berbeda. Singapore menganut sistem parlementer, di mana kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri dengan Presiden sebagai kepala negara, yang fungsinya sebatas ceremony dan secara politik nyaris tak punya kuasa politik yang berarti. Sementara Indonesia menganut sistem presidensial, di mana kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh presiden. Dari dua hal ini saja sungguh tidak tepat membandingkan Singapore dengan Indonesia.
Kemudian, kurang tepat dan bahkan terkesan berlebihan, seakan dengan terpilihnya Halimah Yacob lalu sertamerta menganggap Singapore sebagai negara yang secara politik menghargai dan menjunjung tinggi kebhinnekaan dan toleransi.
Kurang tepat juga menjadikan kemusliman Halimah sehingga terpilih menjadi Presiden Singapore sebagai alat ukur untuk menyebut Singapore demokratis dan menghargai Islam. Halimah terpilih itu lebih karena representasi etnis Melayu (yang identik Muslim), BUKAN KARENA REPRESENTASI MUSLIM. Mana ada dalam sejarah kebijakan politik Singapore bersahabat atau pro dengan Islam.
(Baca juga: Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (6): Dari Tudingan Memakzulkan Gus Dur hingga Diremehkan SBY)
Untuk diketahui, yang “boleh” menjadi Presiden Singapore itu hanya dari etnis China, Melayu dan India. Dalam sejarah berdirinya Singapore (selepas pisah dari Malaysia), tercatat etnis China pernah 3 kali menjabat sebagai Presiden: Wee Kim Wee (1985-1993), Ong Teng Cheong (1993-1999), Tony Tan Keng Yam (2011-2017), Inggris 1 kali Benjamin Sheares (1971-1981), India yang populasinya saat ini hanya 9% pernah 2 kali menjabat Presiden, yaitu C.V. Devan Nair (1981-1985) dan Sellapan Ramanathan (1999-2011). Sementara etnis Melayu yang berjumlah 15% baru 2 kali menjadi Presiden, yaitu Yusof Ishak (1965-1970) dan Halimah Yacob. Jadi kalau sekarang Melayu menjadi Presiden Singapore sangat wajar dan sama sekali tak istimewa. Tak perlu dibesar-besarkan, apalagi mengaitkan dengan toleransi dan kebhinnekaan. Terlalu berlebihan.
Kalau mau dikritisi lebih jauh, terpilihnya Melayu dan Muslim sebagai Presiden, saya melihat lebih dominan nuansa politisnya, tentu politis terkait kepentingan rezim Lee Kuan Yew (Lee Hsien Loong) wa alihi wa ashabihi, ketimbang ansich mengakomodir kepentingan Melayu dan apalagi Muslim di Singapore.
Saya tidak mempunyai data terkait populasi penduduk Singapore saat awal-awal Singapore memisahkan diri dari Malaysia, yang pastinya pada awal abad ke-19, penduduk mayoritas Singapore berasal dari Melayu (90% dari Indonesia). Kalau melihat latar sejarah ini, wajar Melayu dan Muslim menjabat sebagai Presiden. Begitu pun kalau sekarang Halimah menjabat sebagai presiden sangat wajar. Apalagi terpilihnya Halimah “direkayasa” sedemikian rupa oleh rezim Loong dengan menjadi calon tunggal, bukan murni pilihan rakyat Singapore.
(Baca juga: “NKRI Harga Mati”: Jargon yang Absurd? dan Pembubaran Pengajian Khalid Basalamah: Benarkah Ceramah yang Mengolok-olok Monopoli Kelompok Ini?)
Terpilihnya Halimah yang notabene pernah menjadi pengurus PAP dikritik dan direaksi oleh kalangan oposisi. Muncul pula penolakan dari masyarakat. Tagar #NoMyPresident menghiasi media sosial di Singapore. Saya yakin, kalau tidak direkayasa menjadi calon tunggal, maka dengan rumus demokrasi (suara terbanyak), orang Melayu dan Muslim seperti Halimah tak akan pernah menjadi Presiden Singapore, negara yang dihuni mayoritas etnis China.
Menurut saya, Singapore akan disebut demokratis dan menghargai kebhinnekaan kalau yang terpilih sebagai Perdana Menteri itu dari Melayu dan Muslim. Seperti di Indonesia, orang seperti Ahok direkayasa oleh elit negeri ini untuk menjadi Gubermur DKI, maka saya baru akan menyebut Singapore demokratis, menghargai kebhinnekaan dan toleran kalau ada Melayu dan Muslim atau bahkan India direkayasa oleh rezim Loong atau setidaknya diberi kesempatan yang sama untuk menjadi Perdana Menteri. Selagi yang terpilih dan terpilih lagi menjadi Perdana Menteri itu dari etnis China tak usahlah mengagung-agungkan Singapore. Apalagi dibanding-bandingkan dengan Indonesia, tak level.
Berkaca dari kasus Singapore, maka keliru mereka yang menyuruh kita meniru Singapore hanya karena Halimah yang Melayu dan Muslim terpilih sebagai presiden. Sekali lagi, Halimah terpilih sebagai Presiden Singapore bukan karena Muslim, tapi karena representasi Melayu.
(Baca juga: Akan Masuk Singapura, Rombongan Pimpinan Muhammadiyah Itu Jalani Pemeriksaan Khusus 1,5 Jam di Imigrasi)
Justru kalau mau belajar dari Singapore dan meniru gaya politik Singapore, maka semestinya jangan memberikan kesempatan pada orang atau etnis minoritas seperti Ahok untuk –jangankan– menjadi Presiden, menjadi gubernur pun tak pantas dan tak boleh.
Terakhir, jangan sok pluralis, sok toleran, sok bhinneka, kalau kelakuannya jauh dari pluralis, tidak toleran dan tak menghargai perbedaan. Jangan pula karena nafsu yang tak toleran dan tak bhinneka untuk mendudukan etnis minoritas menduduki jabatan politik di Indonesia, sampai lupa membandingkan sesuatu yang tak apple to apple. Memaksakan membandingkan sistem politik Indonesia dengan Singapore. Apalagi dalam membandingkan ini selalu terselip agenda Islamophobia yang berusaha dengan berbagai cara untuk menyudutkan Islam. Sekian
Kolom ini ditulis oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Doktor Politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta.