Ahmad Sholeh (Foto: PWMU.CO)
Ahmad Soleh – Penulis Buku ‘IMM Autentik’
PWMU.CO – Pembahasan mengenai IMM dan pragmatisme politik sepertinya sudah sangat banyak ditemui di berbagai diskusi. Pun, kader tidak kurang referensi mengenai hal ini. Bahwa keberadaan IMM dalam gelanggang politik seharusnya bisa dimaknai dan dilakoni degan menjunjung nilai, etika, dan marwah Persyarikatan.
Beberapa waktu belakangan ini, publik ramai dengan rombongan “Assalamualakum Kaesang”, yakni fenomena politik di mana IMM dikomandoi Riyan Betra Delza dan Ari Aprian Harahap didampingi sejumlah kader mengantarkan eks ketua umum DPP IMM Abdul Musawir Yahya dan eks ketua bidang hikmah DPP IMM Baiquni Alsafa ke kantor PSI untuk bertemu Kaesang dan login. Catatan kedua demosioner DPP IMM ini akan saya ulas di akhir tulisan.
Ketua Umum DPP IMM Riyan dan rombongannya bersorak gembira sambil membawa spanduk dan diiringi yelyel “Assalamualaikum, Kaesang” yang dilantunkan pasukan beralmamater merah lengkap dengan panji-panji Ikatan. Dilihat dari video yang beredar, tampaknya kader-kader ini tengah “cari sensasi” atau “cari perhatian” dari publik. Pasalnya, menonjolkan simbol-simbol dalam kegiatan yang “tidak esensial” bagi IMM itu jelas menunjukkan bahwa mereka butuh pengakuan.
Setidaknya, fenomena ini menunjukkan dua gejala: Pertama, mereka membawa kepentingan Ikatan untuk mendorong Abdul dan Alsa sebagaimana pengakuan yang diungkapkan di berbagai media. Kedua, mereka justru membajak simbol Ikatan untuk kepentingan masing-masing. Mengapa ada anggapan kedua ini? Sebab, sebagian besar kader murka dan tidak terima simbol Ikatan digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Pragmatisme politik sudah sejak lama menjangkiti tubuh IMM. Kehendak untuk terjun ke dunia politik praktis, cukup tegas ditampilkan sebagian kader. Terutama yang berada di pucuk pimpinan DPP. Keinginan untuk aktif berperan dalam politik tentu bukan sebuah kesalahan. Sebab, hal itu mesti kembali pada kebutuhan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral IMM sebagai wadah perkaderan kaum muda dan tempat lahirnya kader-kader bangsa.
Namun, alasan ini bukan berarti membuat pimpinan IMM bebas melakukan apa pun untuk mencapai tujuan pragmatis yang cenderung sesaat semacam itu. Mencari posisi, jabatan, atau proyek yang sejatinya adalah demi kepentingan pribadi. Apalagi, dicapai dengan cara-cara yang, mohon maaf, “norak”. Kehendak dan kesadaran untuk berperan dan terlibat dalam politik praktis harus dilandasi etika dan moralitas, cita-cita luhur, bukan semata pragmatisme sempit dengan hanya melihat 1-2 tahun ke depan. Mentalitas kader harus dibangun dengan landasan kokoh. Pimpinan IMM di pusat sejatinya mampu menempatkan diri sebagai uswah, bukan malah sebaliknya. Ingat, masa kepengurusan di IMM pun hanya sesaat. Jangan sampai apa yang dilakukan justru meninggalkan coreng di wajah Ikatan ini.
Menjaga Marwah Persyarikatan
Tentu, topik ini juga bukan hal baru. Bahkan, mungkin sudah menjadi repetisi yang cukup “membosankan” di setiap pelaksanaan darul arqam. Bahwa peran dan kehadiran kader IMM adalah sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerak dakwah Persyarikatan merupakan tanggung jawab moral yang besar. Perlu disadari betul bahwa marwah gerakan Persyarikatan tidak berafiliasi partai politik. Kepentingan lebih besar yang harus dibela seorang kader adalah mampu berperan tanpa harus “terjerat” dalam satu partai politik. Kepentingan besar itu konsekuensinya adalah menjaga jarak dengan semua parpol. Bukan malah menjalin kedekatan dengan satu partai, sehingga terkesan terafiliasi, terkoneksi, yang dalam bahasa tegasnya, “tersandera” oleh kepentingan partai.
Marwah gerakan Muhammadiyah, sejak awal berdirinya hingga detik ini masih sama, yakni berperan sebagai organisasi sosial-keagamaan, organisasi dakwah sosial, organisasi pembaharu di bidang pemikiran. Sehingga, dalam politik praktis Muhammadiyah netral dan tidak mengikat diri pada parpol apa pun. Sikap semacam ini seharusnya mendorong kader dan warga Persyarikatan untuk aktif dan kontributif dalam politik tanpa tersandera oleh kepentingan partai. Justru, Muhammadiyah bisa mewujudkan misinya melalui kader yang tersebar di berbagai parpol tanpa menciderai simbol, almamater, atau menanggalkan idealisme.
Titik tekan dari pembahasan ini adalah bagaimana IMM sebagai anak panah gerakan Muhammadiyah mampu mengejawantahkan pesan-pesan yang dibawa Muhammadiyah ke dalam gerakan nyata. Keberadaan organisasi kader seperti IMM, menitikberatkan pada peran untuk menciptakan generasi muda yang berkepribadian luhur, berkarakter kebangsaan, dan bermental negarawan. Bukan mencetak politikus bermental culas yang mengemis sana-sini untuk kepentingan pribadi, bahkan rela menggadaikan idealismenya untuk ditukar tambah dengan posisi dan jabatan yang sifatnya sesaat.
Memaknai Diaspora Kader
Penulis paham betul, alasan yang dilontarkan mengenai pentingnya diaspora kader di ranah politik. Tentu, hal ini merupakan kebutuhan dan tantangan zaman yang harus dijawab dengan langkah konkret. Namun, apa yang dilakukan kawan-kawan DPP IMM beberapa waktu lalu itu sangat memalukan dan disayangkan sekali. Apa tidak malu dengan organisasi lain yang juga berpolitik tapi tidak “gitu-gitu amat”. Setidaknya ini menjadi pengingat bagi kita semua. Mungkin apa yang dilakukan kawan-kawan itu ada benarnya, tetapi lihatlah kembali, kebenaran itu dilihat dari kacamata apa? Agaknya kawan-kawan harus kembali melihat Deklarasi Setengah Abad IMM yang menyatakan bahwa IMM independen terhadap politik praktis. Dan penulis rasa, bunyi deklarasi inilah yang sejalan dengan kepribadian Muhammadiyah.
Sementara itu, soal diaspora kader, penulis sangat mendukung jika Abdul dan Alsa mau berkhidmat melalui jalur politik, lewat partai apa pun. Pengalaman dan bekal yang mereka miliki, ditambah modal sosial dan jejaring yang luas, agaknya bisa menjadi daya tawar tersendiri. Berdiasporalah dengan sebaik-baiknya. Di manapun berada, seorang kader harus memiliki integritas dan tanggung jawab. Tanggung jawab itu sejatinya tidak hanya kepada diri sendiri dan IMM, tetapi kepada Persyarikatan dan masyarakat. Bagaimana kehadiran kedua tokoh muda ini mampu membawa energi perubahan positif dan gagasan yang gemilang.
Bukannya ingin menggurui. Namun, marilah kita kembalikan peran IMM sebagai organisasi perkaderan yang mampu menjaga marwah Persyarikatan. Bukan mencederainya dengan tindakan-tindakan yang tidak konstruktif. Percayalah, di akar rumput masih ada kader-kader yang memiliki kesadaran dan harapan besar akan pentingnya mengibarkan panji-panji Ikatan untuk kepentingan yang lebih besar.
Editor Teguh Imami