Syafrudin Anhar (Foto: PWMU.CO)
Syafrudin Anhar – Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010 – 2015
PWMU.CO – Pro kontra terkait rencana Pemerintah akan memberikan konsesi Izin Usaha Pertambanga (IUP) kepada Muhammadiyah memiliki argumen masing masing. Beberapa kader yang kontra – tidak sependapat – Muhammadiyah menerima izin IUP berargumen bahwa “Pengusahaan tambang rawan perusakan lingkungan dan konflik sosial, bisnis pertambangan bukan tempat yang tepat untuk menunaikan missi dakwah” dan ada argument lain mengatakan, “Muhammadiyah yang selama ini biasa menjadi guru bagi mengatasi permasalahan bangsa, seketika akan rontok kebanggaan ummat terhadap sikap Muhammadiyah yang mau menerima IUP dari pemerintah.”
Secara aktual dan faktual dua argumen yang kontra ini, dapat dikatakan benar, karena penguasaan dan pengelolaan serta tataniaga pertambangan, bukan saja merusak lingkungan dan konflik sosial, tapi juga melahirkan sikap hedonisme dan oligarki politik dan ekonomi, yang disebut terakhir ini merusak kesejahteraan.
Bagi Sebagian besar kader yang pro Muhammadiyah menerima IUP, justru mendasarkan dua argumen yang kontra tersebut diatas menjadi pijakan argumennya (yang pro) dalam perspektif syariah. Argumennya adalah : Pertama, kerusakan – apapun kerusakannya – mulai dari lingkungan, sosial, budaya, sampai pada kerusakan ekonomi dan kesejahteraan – dalam perspektif syariah adalah karena tangan dan ulah manusia (lihat: Ar-Ruum ayat 41, Surat Yunus ayat 41) dan manusia dilarang melakukan kerusakan (lihat; Al – Baqarah ayat 11, 12,30 dan 60, serta surat surat lain).
Dan dengan syariat (syariah) pulalah kerusakan itu harus diperbaiki oleh manusia, karena syariah menyatakan tugas manusialah untuk memperbaiki kerusakan – apapun kerusakan yang terjadi dalam kehidupan manusia – Mengambil istilah Dr Mukhair Pakkana, “manusialah yang diberi tugas oleh Allah Swt untuk memperbaiki kerusakan dibumi ini. Bukan Malaikat”. Oleh karena itu diutuslah para rosul yang berasal dari kalangan manusia, (lihat al-baqarah ayat 30, al-qalam:41, al-ahzab:21, dll). Fungsi ke Rosulan itu bukan hanya tauhid, tapi juga dakwah.
Dalam kaitan dakwah dibidang ekonomi bisnis, ada hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad: “kaum muslimin bersyarikat dalam tiga perara yaitu; padang rumput, air dan api”. Oleh karena itu, dalam perspektif syariah, menurut hemat penulis, tidaklah haram dan sangat dibolehkan Muhammadiyah membangun dan memiliki satu atau lebih perusahaan yang bergerak disektor pertambangan, sebagaimana Muhammadiyah mampu bergerak disektor Kesehatan dan Pendidikan.
Atau kita biarkan saja kapitalis, oligarki politik dan ekonomi terus menguasai pertambangan, sementara kita (ummat) atau Muhammadiyah merasa lebih mulia dan nyaman tetap berada pada wilayah (posisi) pengkritik (penasehat) serta bersumpah serapah dan melaporkan oligarki pertmbangan, yang justru tidak semakin dapat memperbaiki kerusakan disegala sektor dan bidang ini? Sampai kapan ummat pada posisi seperti ini.
Perlu diingat dan diketahui Muhammadiyah memiliki banyak kader, yang selama ini berkiprah, bergelut dn berkecimpung dalam bidang pertambangan, baik yang berada pada segmen regulator maupun segmen praktisi bisnis pertambangan. Dalam pandangan penulis, saatnya Muhammadiyah kembali tampil sebagai “GURU” bangsa dalam memperbaiki kerusakan. Melalui para kadernya yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang pertambangan implementasikanlah fungsi manusia untuk memperbaiki kerusakan. Letakkanlah Muhammadiyah sebagai GURU, bukan saja sebagi guru dalam dunia Kesehatan dan Pendidikan tapi juga sebagai GURU Politik Ekonomi Kesejahteraan yang sesuai dengan amanat Konstitusi dan Pancasila. Fastabiqul Khairat – Wallahu’alam.
Editor Teguh Imami