PWMU.CO – Beberapa jamah haji, Jumat (15/9/2017) usai shalat Ashar mengunjungi Maktabah atau Perpustakaan Mekah Mukaramah, yang terletak sekitar 200 meter dari Pintu Marwah Masjid Al Haram, Mekah, Arab Saudi.
Mereka bukan hendak membaca-baca buku di dalam perpustakaan yang didirikan tahun 1370 H itu. Sebab, perpustakaan itu sedang tutup. Yang terlihat justru antrean para jamaah haji untuk mendapatkan paket buku dan DVD.
(Baca: Kenapa Ustadz Ini Berpesan agar Jamaah Haji Membawa “Ihram” nya ke Tanah Air)
PWMU.CO mencoba ikut mengantre untuk mendapat paket tersebut. Ada tiga buku yang dibagikan, yaitu “Tafsir Al Usry Al Akhir dari Al Quran Al Katim Juz, 28,29, 30”, “Menjaga Tauhid”, dan “Mengungkap Tempat-Tempat di Makkah Al Mukarramah antara Disyariatkan dan Dilarang”. Selain versi Indonesia, ada versi beberapa bahasa lainnya. Adapun dua keping DVD yang dibagikan adalah Al Quran Al Karim dan Al Kitab Al Masmuah.
Yang menarik perhatian PWMU.CO adalah ikut dibagikannya buku “Mengungkap Tempat-Tempat di Makkah Al Mukarramah antara Disyariatkan dan Dilarang” karangan Dr Saad bin Ali bin Muhammad As-Syahry, dosen Jurusan Akidah Universitas Ummul Qura, Mekah. Mengapa?
Ternyata, Perpustakaan Mekah Mukaramah diyakini sebagai rumah Abdul Muthalib, tempat Nabi Muhammad saw dilahirkan. Karena itulah bagi sebagian jamaah haji, tempat itu disakralkan—sesuatu yang dikhawatirkan oleh pemerintah Arab Saudi.
Mereka menjelaskan bahwa tidak ada dalil shahih yang menetukan di mana Nabi Muhammad dilahirkan. Penjelasan seperti itu ditulis besar-besar dalam sebuah papan pengumuman yang diletakkan di depan perpustakaan, dengan 5 bahasa: Arab, Turki, Indonesia, Inggris, dan Urdu.
“Maka mengambil barakah di tempat ini atau mengkhususkannya dengan shalat atau doa adalah perbuatan yang dilarang menurut syariat,” begitu imbauan yang tertulis di papan itu.
Jadi, pembagian buku kecil bersampul biru sepertinya sengaja dilakukan untuk memberikan penjelasan bahwa beribadah di perpustakaan yang diyakini sebagai rumah kelahiran Nabi Muhammad saw itu tidak dibenarnya.
Rupanya sosaialisasi tentang itu masih belum efektif sepenuhnya. Terbukti, di beberapa bagian dinding terlihat coretan-coretan liar dalam berbagai bahasa . Bahkan PWMU.CO sempat menemukan seorang jamaah sedang khusuk berdoa di sebelah kiri banguan yang berukuruan 20×10 m.
Padahal dalam papan peringatan yang lain, jelas-jelas perbuatan itu dilarang, yaitu berdoa, shalat, meratap, dan membuat coretan di tembok. Selain papan peringatan, perpustakaan itu juga dibatasi dengan pagar pengaman temporer.
Tak Hanya di Perpustakaan
Perilaku seperti itu tidak saja dijumpai di Perpustakaan Mekah Mukaramah, melainkan di tempat-tempat lain seperti Tugu Jabal Rahmah di Arafah atau Gua Hira di Jabal Nur. Karena itu pula Kerajaan Arab Saudi seringkali berupaya menghilangkan situs-situs sejarah yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Setidaknya, situs-situs itu kurang mendapat diperhatian serisu kerajaan, seperti tempat persembunyian Nabi Muhammad saw di sebuah bukit saat umat Islam kalah dalam perang Uhud.
Perpustakaan Mekah Mukaramah itu sendiri bukan bangunan aslinya. Dalam catatan, pemerintah Arab Saudi pernah menghancurkan rumah tersebut. Namun atas permintaan Wali Kota Makkah saat itu kepada Raja Abdul Aziz, akhirnya rumah itu dibangun kembali dan dijadikan perpustakaan.
Sebenarnya, di Mekah sendiri banyak tempat-tempat yang kita disyariatkan untuk shalat dan atau berdoa, atau sekadar mengusap, di sana, seperti Masjid Al Haram, Kabah, Hajar Aswad, Rukun Yamani, Hijir Ismail, Multazam, atau Makam Ibrahim, atau Sofa Marwah.
Hanya memang, dalam musim haji dengan jutaan jamaah, tidak mudah untuk mendekati tempat-tempat itu. Dibutuhkan kekuatan dan kesabaran yang ektra—di samping, tentu saja, karunia Allah. Seperti mengusap Rukun Yamani, shalat dan berdoa di Hijir Ismali, atau mencium Hajar Aswad.
Tapi jamaah masih bisa leluasa shalat di Masjid Al Haram, meski harus datang lebih awal. Atau shalat di makam Ibrahim walaupun agak ke belakang. Lebih-labih kalau mau minum air Zamzam: dijamin leluasa.
Dampak Purifikasi
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Dr H Syamsuddin MA yang dihubungi di Mekah menjelaskan bahwa purifikasi ajaran agama yang dijalankan oleh Kerajaan Arab Saudi patut dihargai. “Karena berhasil membersihkan akidah islam dari unsur unsur yang mencemarinya. Sederhananya dari tahayyul, bid’ah, dan khurafat,” katanya , Sabtu (17/9).
Menurut dosen UINSA Surabaya itu, kurangnya pemerintah Arab Saudi dalam hal menjaga warisan budaya Islam, juga dilandasi oleh semangat purifikadi tersebut. Seperti terhadap situs yang diyakini sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw. “Sekarang ini hanyalah bangunan sederhana yang dìfungsikan sebagai perpustakaan mini, ungkapnya.
Syamsuddin yang menjadi PPIHI Kloter 70 SUB itu punya pengalaman menjumpai ada jamaah yang berdoa dan shalat menghadap tempat tersebut dengan membelakangi Kabah. Menurtunya, penghormatan berlebihan pada warisan budaya seringkali manjadi pemicu munculnya penyimpangan ajaran agama atau al ghuluw fiddin (praktik ekstrim beragama).
“Dalam catatan kaki Fathul Bari, Syaikh bin Baz, ‘mengkritik’ tindakan ibnu Umar yang shalat di tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh Nabi Muhammad saw dalam safarnya dan dipakai shalat oleh beliau. Karena hal tersebut bukan bagian dari ajaran agama,” ungkapnya.
Meski begitu Syamsuddin menjelaskan, purifikasi tidak harus identik dengan penghilangan warisan budaya islam. “Pasti ada jalan di mana purifikasi bisa berjalan seiring dengan pemeliharaan warisan budaya. Hal ini penting karena terkait dengan rajutan tonggak-tonggak yang menandai perkembangan dakwah agama Islam,” papar dia.
Terkait dengan otentisitas perpustakaan sederhana tersebut sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw, Syamsuddin sempat bertanya pada salah seorang petugasnya. Apa jawabnya? “Ya barangkali benar bahwa area ini adalah tempat kelahiran nabi kita, karena beliau lahir dan tumbuh dewasa di Kota Mekah. Dan barangkali tempat kelahiran Abu Jahal juga tidak jauh dari area ini karena dia juga orang Mekah.”
Mendengar jawaban tersebut, seorang jamaah Indonesia yang ada di samping Syamsuddin pun nyeletuk, “Eah jawabannya tidak enak. Ngunu yo ngunu ning ojo ngunu lah.” (Mohammad Nurfatoni)